Rabu, 28 Januari 2015

BAB I
MANUSIA HUJAN


Ayat – Ayat November

Sesederhana waktu
Aku menyediakan ruang bagi angin yang menyusur suram
Setelah pecah gelisah dibasuh penghujan
Di mataku pun ada sosok yang menjamah senja
Di permukaan tubuhku
Dan bayangannya tajam mengukir diam

Pada rimbun belukar, gerimis menyeka wajahnya yang basah
Di rahim tanah
Dan petang memanjang kala sayup guntur
Mengendap di puting awan
Di sela kedinginan yang merisalah
Kau tak mungkin membaca burung – burung terbang mencabik langit

Karena air hujan mampu melukis kesedihan di wajah kita
Namun air mata kita tak bisa sebaliknya


Cara Meramal Hujan

Apakah kau dengar gerimis yang menyalakan keluh kesah
Pada tubuhmu ? Dari isak yang bermuara pada cahaya,
Aku tak lupa menyembunyikan matahari dalam bayang – bayangmu

Kau masih bimbang pada kegelapan. Namun bila asap yang kau himpun
Itu mengokang di ketinggian, kau tak akan lagi menghirup jejakku pada
Bunga – bunga di halamanmu. Karena aku tak bisa membasahi
Keberadaanmu dengan bias angin dan samar janji – janji kebahagiaan


Hilal

Hari – hariku penuh lumpur dosa yang mengendap di sumur khilaf, sampai senja
Menanggalkan dedaunan dari pucuk jati menjelang perjamuan bulan 
Pemberangus nafsu

Di pelataran malam, angin membukakan pintu taubat dan menyisakan dingin
Tubuhku yang tercebur kolam air mata, desis nafasku jadi api dan menyulut
Mercon yang meledak di muka – muka kampung

Aku masih ingat kala orang – orang memukul kentongan di jalanan, bukan sekedar
Menggusur kesepian, hanya sekedar mengingatkan kewajiban dalam remang dini
Hari, dan masjid – masjid dipenuhi saf yang melukiskan kesetiaan padaNya dalam
Sebentang sajadah dan gema tarawih

Entah kenapa mimpi – mimpiku menguap dari buku harian, penyesalan tumbuh
Dari tempurung dada, ada sesuatu yang mengirimkan sepintal cahaya pada
Tubuhku, cahaya yang turun dari menara – menara masjid lewat lengking tadarus

Aku melihat waktu yang merayap di kalender, sang bulan pun mengukur jarak
Dengan tatap mataku, semua yang ada di langit bertasbih menuju satu Ramadan
Angin yang mendesis dari liang berrukyat dalam ketegangan, seperti aku yang
Memendam bimbang,
Seperti aku yang menakar posisi sang bulan


Kerinduan

Kepada siapakah jejak yang kurangkum dari benih – benih desah
Ini kukirimkan lewat kesunyian malam ? selain padamu
Setelah gerimis mendawai irama yang membasahi
Janji pertemuan
Dan malam mengendap di batas awan
Menjadi warna putih kerinduan

Kepada siapakah gema yang mengayuh pusaran mimpi
Ini kukirimkan lewat percikan gumam ? selain padamu
Tepian luka – luka pada namaku menerjemahkan terbit bulan
Yang kemudian meleleh di puncak runcing nafasmu
Dan badai menyibakkan rambutmu kemudian
Menjadi warna hitam angkasa

Kopi Pagi Hari

Selalu kuhela nafas pagi yang menyayat batang lembayung, di antara debur
Angin yang membahasakan beban di urat pikiran
Tak apalah, sekali ini ku ingin bermandi ketenangan yang merasai sayup kokok 
Ayam sembari melihat setiap kehidupan yang merayap di kedalaman belukar

Sedikit – sedikit kuhirup kenikmatan yang membasahi kerongkongan, sembari
Mengingat mimpi yang bergerak dari arah malam menuju ketidaksadaran,
Hingga gelepar waktu tergeletak di ujung jalan tempatku tersesat dan haus oleh
Terbit pagi

Angin yang menghela nafas pepohonan memicingkan isyarat untuk menghabiskan
Waktuku seharian, jarum jam bersiap membuat jalur kesibukan di tatih langkahku

Aku hanya gontai menyisakan serbuk hitam yang mengendap pada kedalaman
Gelas di hadapan


Menulis Puisi

Adalah sakral yang menyisir embun di hatiku
Dan menahkodai gelombang di batas perenungan
Lalu kudekap samudera kata yang menopang warna cakrawala
Dalam diam, tubuhku meneteskan denting gelisah

Meredakan helai – helai getar segala cuaca
Bait demi bait melukis jarak tubuhnya sendiri
Dengan beku daun – daun, sedekat air mata


Musim

Segaris kemarau bersajak pada kuning dedaunan
Padi selesai dipanen, sawah dan telaga gemertak
Retak, dan gabah* dihampar sepanjang pandangan

Hingga waktu memberi isyarat kepunahan hujan


Pagi

Terlalu rimbun untuk menyebut matahari hutan
Namun terang telah mendirikan lebat bayang – bayang

Yang masih memanjang ke barat


Penghujan

Ia datang sebagai musim
Dan bukan menjadi cerita yang membujang di kefanaan waktu
Ketika angin mewarisi kesepian di tegak bebatuan
Yang merindu awan

Ia datang sebagai jejak yang menyejukkan jeda
Juga petang yang berrendam di nafas sungai
Dan air pun tumpah perlahan membaca tanah
Serta seksama mengisi sudut yang kerontang di semua bagian kata

Ia datang sebagai suara
Yang dengan sederhana mengupas kenangan di himpitan dahaga
Aku lega. Ranting tak lagi memintaku menemaninya sebagai malam
Karena datang gerimis membebat rembulan


Percakapan

Seribu satu matahari
Hadir lewat celah kata – katamu, namun
Tak jua menguapkan dingin di lantai hatiku



Potret Sebuah Rumah Kosong, Di Ujung Desa

Di halaman yang using itu, tak ada lagi yang ditumbuhkan
Selain tanah cadas yang senantiasa mengepulkan matahari
Apalagi bebunga, panas telah menjarah dahan pepohonan
Sampai ke ruh – ruhnya,
Bebatuan tengadah ke awan. Di sebuah siang yang diam

Kehidupan telah diangkut ke luar sana, dan
Atap yang berdebu itu sampai pada puncak kebisuan
Tak ada yang bergerak, kecuali angin
Yang mengirimkan lanskap dedaunan pada selusur jendela
Di beranda itu. Aroma kenangan semakin menyeruak di antara
Dinding kayu yang mengingat tubuh – tubuh yang pernah singgah kepadanya

Tak ada yang berani membuka pintu, karena di dalamnya
Tak akan ada lagi waktu


Sajak Kanak – Kanak

Maka terbukalah pintu musim, waktu yang
Rebah di lipatan kalender
Sungai – sungai telah lama memendam belukar
Membuat burung menjadi purba di geliat pohon
Dan kurap menjadi asing di tubuh kita, aroma
Yang melupakan masa
Tawa kita telah mengelakar di paras zaman
Melagukan bunga – bunga yang kehilangan mahkota
Didera buas hujan
Dan asin awan
Kita adalah kawanan yang menenggak
Riwayat air
Yang waktu itu memandikan usia kita
Begitupun rerumput yang mengajak
Denyut tubuh menelikung arah
Bayang menuju tanah berlumpur
“Bukankah sudah kita hafal semboyan – semboyan pedesaan ?”
Tak ada yang habis mengeja nama – nama pertemuan kita
Dan kelak kita akan tahu
Jejak peluh mencatat semua yang sudah
Merupa nafas
Seonggok lading bermain
Yang selama ini disamarkan dengan
Langit dan tanah
Oleh bahasa bukit ilalang
Pun sesekali kita ditakdirkan renung angin
Menjadi pelabuh masa
Dengan dengus mengibas
Sorga yang pernah kita larung
Di jauh nasib
Dan burung – burung itu sejenak mendekap matahari
Yang berhenti menghela dongeng kita yang usai


Senja Di Kota Purwodadi

Di antara kepak burung walet yang suram, ada sebersit debar
Yang tak dirasakan pepohonan, dan kegamangan
Tetap terdekap, desa – desa menyaksian kelengangan di luar peradaban
Sungai – sungai pun menanjak rasa haus dari gunung tandus
Sebelum malam. Aku sudah melihat yang berkejaran
Di kolong jembatan, rel kereta api, dan saluran – saluran drainase
Panjang membilang duka tanah lapang yang tetap kosong
Tanpa tanda tanya, senyap anak – anak
Hanya jatuh di jalanan yang jauh
Deretan pegunungan di utara, bukit – bukit yang diam di timur
Dengan lambat menumbuhkan waktu di selangkangan para pekerja bangunan
Jam lima sore. Sebelum gelisah dipulangkan ke pintu – pintu rumah
Dan pasar yang lugu, kata – kata diperjualbelikan
Dari bibir kalimat, asap kendaraan
Semakin hening, seperti malam yang berjaga di bawah lampu jalan
Hanya kenangan yang terjual di pertokoan, tanpa rincing uang logam
Yang lebih kilau dari sunyi sungai
Tak ada, tak ada gedung yang bisa diceritakan
Di sini, dan taman – taman tak lebih bermakna
Dari apa yang bisa dikirimkan kepada malam


Serangga Musim Hujan

Tanah pun menyelami malam dengan sederhana
Ketika tangan – tangan musim meraba keluh kesah
Sedangkan lembaran hari kian berayun ke lain bentuk
Yang tak pernah dipahat waktu sebelumnya

Sembab yang mengerikan kian kering di sumbu mata
Menyalakan perasaan yang terbuang di arus angin
Sayap pun terpaksa  berkumandang di tengah malam
Sekedar menjerat sepi dengan butir suara yang berpendar

Suara – suara kian menetas di lubang telinga
Dan semerbak dingin mengembun di bau tubuh

Setelah Menulis Puisi

Setelah menulis puisi, tentang senja
Dan sapa bebunga, wangi udara membasuh
Angan – angan yang terpaksakan, serta
Burung – burung yang telanjang
Kebisuan dengan jumawa
Melenyap ke dalam akrab
Gembala pada bahasa rerumputan

Siang

Aku mendasari setiap diam pada sajak
Hening…….. di saat matahari terburai kelopak angin
Genap semua kejang, kaku senyum memberat di sunyi hati

Panas di sekitar, mungkin waktu adalah puncak duka
Yang buntu, dan mengatakan riang
Hanya sepanjang benang layang – layang


Simfoni Usia Ke 17

Lalu ku pandangi anak tangga kuyup yang menatar di lembran langit
Di balik tafsir awan, sebarisan angin berteduh pada lusuh lamunan
Membaca selarik misal, do’a lelumpur menuntunku ke tirakat subuh
Yang pintunya masih menyapa air mata

Bahkan aku lupa kenangan cuaca, yang embunnya mengabur bayangan pohon
Sewaktu teratai membuka rahasia renungan paling ujung
Mungkin aku tak peduli kata – kata hujan yang bergetah dan menetesi
Pori akar tempat kabut melafalkan gunjingan matahari

Dan waktu terpelihara dalam nama, sepanjang rantai yang mengakar di kaku tubuh
Ada yang tersengal menyulam masa kanak, menunggu senja lapuk dalam lembah usia
Ialah angan bebatuan yang menyeka peluh sungai

Kawan – kawan menyapaku sebagai romansa, dengan tapa yang semakin dewasa
Di wajahku, dengan gurat yang mengabin di ubunku, dengan tanah yang semakin
Mencium dahagaku
Hari – hari pun jauh melupakan jazirah rindu pada gelak tawa masa bocah

Dari ragu ke ragu yang lain, kata – kata hanyalah bahasa paling sunyi
Yang menggelantungkan wajahku pada gelut nasib
Ternganga sudah alasan yang mekar di antara kuncup bebunga, bahwa
Tak perlu lagi menyesali semua yang sudah

Dengan jiwa yang tengah bimbang,
Nyanyi serangga pun menyadari bahwa masa lalu tak lagi merupa
Pekik bayi pada hari kelahiran
Karena waktu adalah bayang yang tersingkap di tengah semua keluguan musim

Aku kembali menyelami pias kebimbangan
Yang tengah mengayuh berbagai arah kehidupan

Suatu Malam Di Jalan Diponegoro, Purwodadi

Sudah sekelam pula ini hari, tanpa remang lampu bohlam
Dan fasih percakapan, hanya nafas
Yang membercak pada air – air kubangan

Lalu tiang – tiang yang menjulang, meredakan desau
Langkah hari yang tenggelam, tubir angin, sepoi udara,
Dan riak dahan ketapang yang perlahan menyajikan aroma wajahmu
Yang terlupakan

Beberapa langkah lagi menuju simpangan, setelah memadamkan kelam
Malam bergegas menuju sisa guyur hujan pada rerumputan
Dan jejak semak di tepian. Dingin kembali mengatupkan kelopak bunga tanjung
Pada taman, menyirak hasrat sampai tiba di tujuan


Terompet Tahun Baru

Jarum jam kian memucat di sumbu petasan
Yang siap dinyalakan, raung serombongan kelelawar
Berdebar di atas lampu kota
Satu yang abadi : harapan yang membahasa di sulur keramaian
Pekat asap menjajah kegelapan langit, wajah kota
Mengisyaratkan tak ada duka disemayamkan
Lalu seperti api, bara membayangi wajah – wajah bahagia
Para penjual mainan dan terompet yang menyudut di trotoar

Sangkakala belum ditiup, ada jarak beberapa menit
Sebelum pergantian hari, tahun yang lain telah berjaga di hadapan
Dan tak ada yang menangis, kecuali jerit anak – anak yang kehilangan mainannya
Atau terinjak kakinya di jejalan orang – orang

Do’a selesai dirangkai, dongeng baru akan lahir dari rahim
Kehidupan, lonceng berdentang kemudian
Sorai gempita meledak di kejauhan
Dan pekik suara menyasar dari sekeliling, “Bunyikan…!!!”


Kala Matahari Sepenggalah Naik

Dzikir dan tahlil yang dipanjatkan semalam, demi menggenapi jam – jam keruh
kini menyibak rerumputan bernanah
Akulah yang bercakap dengan pagi, sekedar menyusun reranting menjadi
menara yang menaungi kekosonganku
Dan pada mulanya adalah jeritan tak berujung
Ditanah yang sempit, tempat kabut meneteskan cairan embun yang nyata
melafalkan qira’ah
Menjelma ruang bagi genap reka’at dan sujud yang tak jua buatku penat

Ada jarak dengan sang pencipta
Seperti gumpalan waktu yang memanjang dalam do’a
: dinamai dhuha


Pada Sebuah Perpustakaan

Seperti awan yang menafsir kepalsuan, kau bercerita tentang hari demi hari
Yang menetaskan debu dalam tubuhmu
Karena sembab masih menjajah mata aksara, anak-anak pun lebih faham
mengeja birahi, meninggalkan kursi-kursi dan rak yang melumat kesepian
dalam mulutmu

Kini sejarah hanyalah dongeng yang mengabur di udara, dan
Pengetahuan seakan tak ingin mengepak kenangan akan buku-buku tua
Kami tak lagi merunut cuaca dibalik pintumu, sebab
Hujan membasahi narasi meja-meja
Dan pada kesunyianmulah ilmu membenam dalam muasal


Mencari Rumput

Dengan sisa panas pada akar – akar kehidupan
Sabit – sabit melata dari pintu lalu pekarangan
Menuju ladang, menyapa tanaman dari bawah bayang kepodang
Setelah terik rebah pada batang – batang yang awam

Senja merasuk desa, dan peluh menggeliat di pelupuk
Dihabiskannya urat – urat yang tertanam dengan keletihan itu
Sampai selesai, saat caping mengibaskan aroma kelegaan
Untuk berpulang pada kehidupan kandang

Dan punggung pun memikul keranjang yang memuat rasa lapar
Serta rindu hewan - hewan


Hujan pagi

Meski tak kau kenal muara-muara
Seperti embun pada rumput yang terbangun
Seperti cap tangan pada kertas, ia masih bersuara

Mungkin terdengar sebagai lembab, yang mungkin tak juga kau kenal
Di jalur pejalan kaki yang asing
Sebelum menjumpai udara

Tapi, gemercik itu pun
Selalu memandang kita dalam siaga
Meski kata tak memahatnya


Semarang - Purwodadi

Kuterka gerimis yang berpasangan pada petak-petak kerikil itu
pada goresan baru yang basah, telungkup jalan menghiba
dan semakin luas, perasaan menguak ufuk yang jingga, tua
serta semakin membiasakan diri pada januari
di jendela bus-bus yang usang, tersengal agaknya
desah aspal yang berat
menjadikan kata-kata pucat, mengalir
jalur-jalur yang tak kumengerti
meski tiba-tiba, tubuh menuju pula
kepada sanak pertemuan.

(8/1/2014)


Dongeng Pagi yang Baka

Kau mungkin kepingan salju-salju itu
Dengan suara riuh-rendah itu, mungkin
Yang sempat menulis wajah pertapa
Di gigir cemara
Bahkan anak panah yang terlepas itu pun
Hanya fana sajak sayap burung-burung
Malam yang beranjak sebelum sempat mengucap do’a
Mengirimkan jejak nama tak bertanggal
Sebelum waktu tertinggal


Sajak Usia Ke 18

Seorang anak sedang mengamati lebat sawah di depannya
Seorang wanita tua sedang berdiri dengan bayangannya yang renta
Agak di belakangnya. Delapan tahun yang lalu.

Kemudian dari parit tercium bau lumpur. Hanya ada semanggi
Yang menyirak kulit kaki. Serangga pun tak berbunyi, atau mungkin
Dia tak peduli
Lalu pada menit-menit yang terik itu terdengar percakapan
Yang tak terlalu mengganggu. Semuanya mengalir dalam keniscayaan
Dan panas telah memberikan waktu berfikir apa yang semestinya diperdengarkan.

“Apakah padi yang mulai menguning itu siap untuk dipanen, nek ?.”
“Belum nak.”
“Mengapa ?.”
“Mereka masih belum begitu mengerti nak, tentang realita-realita yang terjadi
di dunia ini. Mereka belum pernah mengalami tragedi atau pengasingan
atau hal buruk lainnya. Kita biarkan mereka disini beberapa hari lagi,
untuk melihat dan memahami sendiri tentang dunia ini.”
“Apakah nanti burung-burung yang akan memakan habis mereka ?.”
“Mungkin.”

Sang anak pun terdiam. Delapan tahun sesudah itu ia nyaris terlupa
Tentang percakapan di sawah terbuka itu. Ia tak terlalu pandai mengingat. Mungkin
Memang ada sudut-sudut yang harus direnungkan pada percakapan itu.
Namun dibalik itu selalu ada kecemasan yang berpihak pada kenyataan. Dongeng pun
Tak mesti lagi diceritakan setiap malam. Ada banyak hal yang mulai terlupakan.
Waktu berputar dengan menyisakan guguran pertanyaan. Dan berfikir hanya akan
Menumbuhkan perdebatan usang.

Ia pun sadar. Ada banyak peristiwa yang terjadi didunia luar sana, juga interaksi
Pada wajah-wajah yang tak diacuhkannya. Selama ini ia hanya peduli bagaimana
Membuat titik-titik melankolis pada hidupnya. Matahari telah asing baginya.
Hanya rembulan yang membangun mimpi untuknya, dengan angan-angan
Yang tampan dan menghanyutkan. Maka pada senja yang hujan itu ia menulis kata
Pada tetesan air yang menyibak bulu matanya, “Sudah Saatnya.”


Malam Yang Biasa Bagi Seorang Penyair

Aku masih belum mengerti mengapa kertas-kertas itu masih membiarkanku menerawang.
Entah karena lipatan kusam itu tak pernah menanyakan perihal jendela, yang selalu terbuka bagi suara serangga. Ataukah.....
Ini bukan hari yang buruk, namun diujung pintu detak jam nyaris terasa senyap, bulan menghilang
Dan tak ada yang datang, menjawab sapa yang ditawarkan
Oleh beberapa sayup bunyi di kedalaman gang. Tapi siapa peduli hiruk pikuk itu ?

Aku hanya belum ingin tidur, dan coretan pada paras tembok itu pun
Mungkin memang harus dilupakan



Seorang Anak Dalam Senja

Seorang anak berjalan di waktu senja
Di kiri-kanan rerumputan berdetak memanjangkan langkahnya
Di tubuhnya mengandung pesan :
Segumpal semak,serta arah yang terpancang
Pada jalan berbatu, haruskah menyapa ?
Matanya pun mengisyaratkan, bahwa di bibir kanal itu ada tawa dan permainan
Yang terapung menuju samudera lepas; aku akan selalu kesana
Dengan berberapa teman, yang beberapa menit sebelumnya,
Wajahnya diingatnya diam-diam

Satu-persatu, semua tampak begitu sederhana, bahkan disaat kembali pun tiba
Sampai ia tak menduga
Sebuah pintu, dan sesosok ibu yang cemas
Selalu bersedia terbuka untuknya

(23/2/2014)


Gapura

Terpakulah di sekitar dedaunan itu : sebuah motif
Pada tugu yang menampung segala cucur kata
Dari angin kemarau yang datang lebih awal
Debu pun memahatnya sedemikian rupa
Hingga seorang gembala bersandar dengan udara senja

Deru demi deru berseling, dan orang-orang mulai membangun mimpi
Di garis depan, semua pintu terbuka bagi perjalanan

Pada relief yang tak ingin kukenal, anak-anak tak lagi melambaikan tangan
Sejarah hanya disangkutpautkan dengan luka dan pertentangan
Banyak waktu disembunyikan dengan sungkan
Atau wajahkah yang harus membayang bebatuan ?

Terpakulah di sekitar dedaunan itu : sebuah alasan
Mengapa sapaan sedikit asing untuk dibicarakan
di ruang terbuka; dalam warna riuh manusia
banyak yang tak disukai akan kembali lagi

bayang-bayang meluap ke padang ilalang, serombongan kepodang
menetap pada tiang-tiang pancang di kejauhan
yang lirih membaca setiap macam raut di permukaannya
adalah sebuah kota

(08/03/2014)


Saatnya Menulis

Saatnya menulis. Kita telah tiba pada seremah celah di tembok basah itu
Gerimis tengah turun, tapi bisa saja jarum jam bergoyang
Saat kau memungut selongsong waktu. Kau sama sekali bergegas

Sederhana saja ketika kau menutup mata diatas ranjang, dari keyakinan
Yang sepakat tak menyeduh sapaan di ruangan berkabut ini
Segelintir mawar terlepas dari mimpimu, hingga malam memadamkan
Lampu kamarmu

Serangga berbunyi, namun selimut yang baru saja mencuat itu
Terus menyembunyikan tubuhmu

26/04/2014. 00:35


Membaca Malam

Berpuluh wajahmu menyembul di kristal musim
mengingatkan pada bulan-bulan liar di kantung mata
kalimat tengah mengatup
ke bawah, tembok menikam
dari bunyi angin seberang

Seraup bunga mengisah pada sepenggalah subuh
dan selaksa membayang naik-turun, namun
kata bukanlah kerangka cerita
......................................................

(13/5/2014. 03:05)


Angsana

Tunas-tunas mimpiku berguguran
Hingga matahari yang luka menapak, memadamkan kata
Pada raut awan, kau lihat ?
Mungkin sekaligus dapat kau ingat ketika
Kau teguk kemarau dalam gelasku

Ada angin menusuk rongga kusam itu
Saat kau bersandar, mengabadikan
Helai-helai daun pada kakimu, apabila akar perlahan memahat waktu
Langit kembali mencerabut getar rinduku

(13/5/2014. 13:43)


Pagi, di sebuah Kota

Lampu-lampu menyala dan terbakar
dari runtuhan jembatan, aku dan halusinasi
yang lekat di jalanan
mendengar nada sengal kehidupan

Angin meluruhkan sinar
jendela menjadi asin payau
yang diterbangkan suara
pada gema asing perbukitan

............................................
Mataku menikam kecurigaan di kelam diam
............................................

Sungguh aku kehilangan kata
dan makna yang karam di gedung itu pula

Oh, kita mesti terbiasa
dengan taring gumam di kulit dongeng
samar, dengan puing pengembaraan, menyusur
sepi yang mati rasa
dan mengasah kegelisahan

(Semarang, 15/5/2014. 09:20)


Kembang Api

Seperti wangi kahyangan cahaya purnama membaur di dekap halaman, debur sulur yang hadir
Dan terbuka menopang senyum rahasia anak anak, menyeret jejak yang gempita di lembab rumput,
Sebuah percakapan di beranda rumah itu pun tak letih memahaminya, “biarkan mereka mengenal
tarian dan canda” , sekejap bunyi bunyi api merambat di pucuk yang terbakar itu, menanggalkan
titik bara yang melubangi udara, tawa pun semakin berulang dan membesar.  Adakah yang bisa
membayar kenangan ini ?

(22/6/2014, 03:45)


Simphoni Para Pekerja

Dalam pangkal ruang besi ini
Panas memekakkan mata, setia beranjak pada warna
Tangan-kaki kelabu, tawa tak termampat pada keinginan
Yang memenuhi selubung ingatan, semakin perawan

Tak banyak yang mesti dikatakan
Pada matahari, dengan hari-hari yang dikayuhnya

(5/7/2014. 09:04)


Kau Rajutkah Hujan ?

“Kau rajutkah hujan” ? karena aku melihat
butir tanah menyumbat rupa suara, ketika
kau melepas kabut dari tubuhmu
hingga larut hari-hari di musim yang sama
tak ada lagi kata dan tegur sapa

“Setidaknya kau mulai mengerti”
aku hanya ingin menyentuh sisa gigil di seberkas rambutmu
namun udara yang tumbuh di baris air
kembali menutup pintu bahasamu

Sangat sederhana. Di sela kubur ingatanku
kau memeluk langkah tua pada gurat jarak
yang memperdengarkan gerimis
sebagaimana dongeng harian

Aku membasuh denyut burung-burung malam
dan meskipun kau tak begitu yakin pada warna rahasia
yang bergegas dari gugur daun-daun
aku percaya kemarau masa silam
kembali membuka bunga kata

Minggu-minggu yang membeku di riuh jendela
mencatat paras waktu dan bayangan yang kekal
meski wajahmu mulai sirna dari nyanyi yang berganti
dari asap subuh yang mati

(Pwd, 27/7/2014. 05:48)


Di Akhir Pertemuan

Rabu malam itu adalah seutas pembicaraan
Yang menemukan sunyi dari bisik pejalan kaki
Dan kau selalu berkata
Pada titik di gurat aspal itu

Gerimis di atas kita masih melipat wajahnya
Begitu kita membincangkan beberapa hal
Mungkin langit akan lebih dekat
Memberangkatkan malam dari sejuk pepohonan

Aku tersenyum (setelah beberapa menit), membaca garis katamu
Didalam bunyi jangkerik, dan gaduh birahi katak
Dan pada asap kopi di gelas itu pun terbayang hari-hari mendatang
Yang tak ingin dilahirkan

Hingga raut dedaunan itu berhenti bergoyang, sesekali
Aku tak ingin terlalu mengerti akan kepergian
Meski aku tahu, waktu akan selalu terbuka
Dan jarum jam mencair, meninggalkan bangku ini

“Tapi aku selalu ingin pergi”, ujarmu,
 “Tapi mungkin aku akan kembali lagi pada
Gerimis berikutnya, atau mungkin tidak”,
Seperti kepinis yang bergegas meninggalkan siang

Dan kabut naik
Ruang ini pun akan segera usai
Saat terdengar langkah kaki yang remang, menjauh
Seperti bayang hujan di sisa cuaca

“hari ini akan menjadi sepi, kawan”
Sejak kau tak terbiasa mengunjungi halaman ini


Sajak Petani (1)

Secara langsung kita sendiri membayangkan
Apa yang legam di perkampungan,
Dengan melihat belantara
Pada hijau angin

Dan yang sudah, kembali ditakdirkan
Sepanjang senja, langkah yang disimpannya
Menuju kemarau, suara yang lekat
Di teduh mahoni

Meskipun ada yang menghibur
Di antara bulir padi
Akan ada yang terulang
Pada kibasan layu dedaunan

“Semua telah disadarkan oleh bayang persawahan”,
Ujar seseorang,
“Namun pagi selalu mencintai kita,
Dengan akar yang kita miliki,
Dan lumpur yang begitu kita yakini”

“Dan desa akan selalu mengerti”, katamu.
“Apa yang terjadi,
Apa yang kelak terjadi”


(1/9/2014. 10:35)


Pada Sebuah Malam, Pada Sebuah Halaman

Di halaman ini akan selalu
kukenal pertemuan,
Kau pernah setengah berkata,
akan muncul waktu di belakang dedaunan itu
tapi mungkin tak lagi ditemukan pagi,
hari-hari sepi yang lain,
pada ketapang yang menaungi kita
dan tak begitu saja kulepas wajahmu,
setidaknya pada bangku ini

Menit-menit menjadi teramat panjang
dari apa yang pernah kita dengar
dan sekejap menjadi
kata yang begitu
menyimpan kematian
saat malam tak pernah keluar
dari bising semak

Keraguan akan kembali pada halaman ini
membuka rasi bintang di langit selatan, dengan
pikiran yang tak pernah selesai

4/10/2014. 01:08


Penyapu Jalan

Disini : kalender pun berbau
Dari asal jalan yang menghirup nafas mentah
Pagi
Dikatakannya pada semerbak, longsor dedaunan,
Getir ufuk tanah
Yang membiasakan gores selokan

Hari masih belum begitu menopang bisik
Selama warna parau aspal
Masih menundukkan jelaga pada iba


Daun – Daun di Sakumu

Daun-daun yang di sakumu belum sirna
Sementara warna hari hanya sekedar sekumpulan
Dahaga pada sumur bahasamu, dan ragu
Kembali membuka awan waktu

Kuhembus lagi : Apa yang kemudian dikenang, sebagai
Sebaris api pada raut kata
Dan menjadi belantara nafasmu
Menjarak dalam suara dan sungkan yang asing
Begitulah kau nikmati percik ingatan
Dari pertemuan yang membelukar di bawah lengang
Segala akan kusebut pada rembulan

13-16 November 2014

Asap Musim Gugur

Desember menjadi begitu sepi, dan aku mengerti
Ketika kau pergi melepas riak sutera
Tempatmu menepikan benang senja
Bayang-bayang yang gugur bersama kecipak daun
Tak bisa begitu saja
Mengepak jejakmu pada rimbun genangan
Hanya jam-jam menggenapi tanya
Hingga langit berganti suasana,
Dan kau pun masih menjulurkan nafas yang dulu, - pucat pasi -
Gerak asap pada tungku itupun legam, menikam
Kebekuan di pelupuknya, namun
Tubuhku tak digubrisnya. Dan aku masih saja disini.

(Pwd, 24-12-2014. 23:45)


Bandungan, di Sebuah Sore

“Aku selalu berharap ini menjadi hari yang indah”,
Ujarku, “tapi aku tak terlalu berharap diingat”,
Di tempat kau berdiri, aku melihat ada kedalaman
Pada embun wajahmu

Seketika kau menatap ke bawah, ke dalam
Ketika tak ada lagi alasan bicara
Atau burung-burung yang dibicarakan

Di bawah langit
Lembah menggumpal, seperti
Waktu yang meyakinkan
Untuk segera dijauhkan

Lalu betapa kukira, gerak bahasa
Yang tak sampai hati mengerti
Membekukan mata, dalam
Warna rahasia

Kabut pertama turun
Senja itu mulai menyusup ke tanjakan
Bersama sisa matahari pada kata, yang akupun tak tahu
Sejauh mana kau mengenalinya

Karena, kurasa tidak
Saat aku mulai berfikir hutan akan membuka
Percakapan antara kita
Mustahil untuk menyalakan kata
Dalam kelebat ilalang, yang tak berjarak dari tubuhmu

Dan kini kau diam, kembali
aku selalu berharap, kau tak perlu menggumam
pada lembah, disini siapapun tahu
awan rahasiamu

karena ilusi menjadi dibutuhkan
saat perjalanan berkemas
menuju percakapan, yang tak ditulis
pada catatan harian


(Semarang, 25-26 Desember 2014)


Ketika Malam Membayangkan Mimpi

Aku membayangkan seorang gadis
meletakkan kalajengking di rahim langit,
bersama anak panah dan pemburu
yang selalu dikisahkan

“oh, itu gubug penceng”,
Ujar seorang anak, sambil menunjuk langit
Di kejauhan

Lalu sepasang kunang-kunang hinggap di dahan
Seperti mengisyaratkan
Bahwa seseorang akan berarti
Jika ia begitu panjang mengartikan malam
Dalam lagu tidurnya

Dari selokan itu terbentang warna pekat
Mengangkut sepi, yang tak terlihat jauh,
“jika kau mulai mencium mimpi, maka bernyanyilah
Sampai paras subuh menyentuh jalanan”

Atau mungkin angin tak akan pernah datang
Meskipun suara serangga terasa lembab
Dari jejak tinta pada meja itu, ada yang mengatakan
Aku tak terlalu menyukai terang

Seperti sayap peri
Dalam mimpi kanak-kanak
Kau tak pernah begitu mati


Kamar

Notasi itu masih ada
pada sebaris mata yang lelah
mengayun aroma lampu
dalam lamunan jemari

Dan biarkan cermin itu
membuka derit pintu
seperti memanjangkan waktu


(Smg, 7-1-2015. 16:25)


Dimanakah Tuan-Tuan ?

Dimana caci maki dan urat perut ini mendera ?
dari mana saputan purnama memekik pada tiang-tiang bendera ?
lalu panas berebut dengan lubang batuan
namun terlalu sempit, untuk seketika disebut sebagai gurauan

Baiklah, sewajarnya kami hanya membicarakan
hal kecil pada gemuruh derap televisi dan radio
baiklah, selama angin belum genap membakar gelisah
kami tak menyembunyikan kata pada kabut selokan

Dan, Kota menjadi tetes sunyi di sudut koran pagi
percik kelopak padi di persawahan tak lagi menghitung minggu
setiap detik adalah tabu untuk memejamkan nafas
yang terserak antara ampas dan rinai jalanan

Hujan masih menyamar di warung-warung
sebagai kelebat asap rokok dan anyir lalu-lintas
harga dan angka-angka merobek awang-awang
menjelma rabun nyawa di genangan peluh

Dimanakah tuan-tuan ?
yang menyeret moral ke akar hutan
yang mengiblat kemakmuran pada kantong jas
yang melelapkan waktu dalam uap janji

Pasar pun telah memindahkan senja ke mata orang-orang tua
sementara tawa masih membekas di tiang pendopo*
yang sempurna membelai tanya


(9-10-2015. 16:00)

*Pendopo : Kantor Bupati


Dari Ingatanku yang Datar

Dari ingatanku yang datar
aku tak tahu di keping manakah
mimpi membanting muka di lempeng tanganmu
tak seperti isyarat
yang mengharuskan tawa
mengukur garis sungai

Dan umur malam
membalut gerak kunang-kunang

Bagai tameng perang
yang mengirimimu keyakinan
hanya pohon-pohon bergerak
melihat pilar nafasmu menyentuh sepenggal nama
yang tak pernah ada
dari biru halamanmu
dari gaduh khayalanku, seperti dasar jurang
menghimpun hitam mayat
dan luka waktu

Kata tak lagi berhembus
dari ultimatum burung-burung
untuk sekedar mencabut jejakmu


(Smg, 21/01/2015. 13:54)


Kedung Ombo

Paras yang kosong, kaku
Langit yang berrenang, berkejaran
Di kejauhan
Memanggul dongeng dalam temali
Dan detak perahu memberatkan arus

“Siapa yang tak lagi menggagas “?
Tentang kemarau, yang turun tiba-tiba
Sementara waktu merasa tua
Dengan pohon-pohon, di ujung kakinya

Nelayan pun
Sibuk membaca riak
Sejauh malam
Pelupuk desa menumbuhkan
Gaung tasbih, dan jembatan
Yang menyeka desis pedati

“Hanya kanal yang kau lihat, kan” ?
Selain bebatuan, dan bunyi sungai,
dan semua yang mulai mengosongkannya

Sebelum sempat, aku sebenarnya
Ingin bergumam
Dari asap kedai itu
Dari boulevard itu, namun
Burung-burung menahan suaranya

Dan aku tak pernah yakin
Tentang hujan, insang, atau nafas
yang ingin berhenti


(Pwd, 2014-2015)