BAB I
MANUSIA HUJAN
Ayat – Ayat November
MANUSIA HUJAN
Ayat – Ayat November
Sesederhana waktu
Aku menyediakan ruang bagi angin
yang menyusur suram
Setelah pecah gelisah dibasuh
penghujan
Di mataku pun ada sosok yang
menjamah senja
Di permukaan tubuhku
Dan bayangannya tajam mengukir
diam
Pada rimbun belukar, gerimis
menyeka wajahnya yang basah
Di rahim tanah
Dan petang memanjang kala sayup
guntur
Mengendap di puting awan
Di sela kedinginan yang merisalah
Kau tak mungkin membaca burung –
burung terbang mencabik langit
Karena air hujan mampu melukis
kesedihan di wajah kita
Namun air mata kita tak bisa
sebaliknya
Cara
Meramal Hujan
Apakah kau dengar gerimis yang
menyalakan keluh kesah
Pada tubuhmu ? Dari isak yang
bermuara pada cahaya,
Aku tak lupa menyembunyikan
matahari dalam bayang – bayangmu
Kau masih bimbang pada kegelapan.
Namun bila asap yang kau himpun
Itu mengokang di ketinggian, kau
tak akan lagi menghirup jejakku pada
Bunga – bunga di halamanmu.
Karena aku tak bisa membasahi
Keberadaanmu dengan bias angin
dan samar janji – janji kebahagiaan
Hilal
Hari – hariku penuh lumpur dosa
yang mengendap di sumur khilaf, sampai senja
Menanggalkan dedaunan dari pucuk
jati menjelang perjamuan bulan
Pemberangus nafsu
Di pelataran malam, angin
membukakan pintu taubat dan menyisakan dingin
Tubuhku yang tercebur kolam air
mata, desis nafasku jadi api dan menyulut
Mercon yang meledak di muka –
muka kampung
Aku masih ingat kala orang –
orang memukul kentongan di jalanan, bukan sekedar
Menggusur kesepian, hanya sekedar
mengingatkan kewajiban dalam remang dini
Hari, dan masjid – masjid
dipenuhi saf yang melukiskan kesetiaan padaNya dalam
Sebentang sajadah dan gema
tarawih
Entah kenapa mimpi – mimpiku
menguap dari buku harian, penyesalan tumbuh
Dari tempurung dada, ada sesuatu
yang mengirimkan sepintal cahaya pada
Tubuhku, cahaya yang turun dari
menara – menara masjid lewat lengking tadarus
Aku melihat waktu yang merayap di
kalender, sang bulan pun mengukur jarak
Dengan tatap mataku, semua yang
ada di langit bertasbih menuju satu Ramadan
Angin yang mendesis dari liang
berrukyat dalam ketegangan, seperti aku yang
Memendam bimbang,
Seperti aku yang menakar posisi
sang bulan
Kerinduan
Kepada siapakah jejak yang
kurangkum dari benih – benih desah
Ini kukirimkan lewat kesunyian
malam ? selain padamu
Setelah gerimis mendawai irama
yang membasahi
Janji pertemuan
Dan malam mengendap di batas awan
Menjadi warna putih kerinduan
Kepada siapakah gema yang
mengayuh pusaran mimpi
Ini kukirimkan lewat percikan
gumam ? selain padamu
Tepian luka – luka pada namaku
menerjemahkan terbit bulan
Yang kemudian meleleh di puncak
runcing nafasmu
Dan badai menyibakkan rambutmu
kemudian
Menjadi warna hitam angkasa
Kopi
Pagi Hari
Selalu kuhela nafas pagi yang
menyayat batang lembayung, di antara debur
Angin yang membahasakan beban di
urat pikiran
Tak apalah, sekali ini ku ingin
bermandi ketenangan yang merasai sayup kokok
Ayam sembari melihat setiap
kehidupan yang merayap di kedalaman belukar
Sedikit – sedikit kuhirup
kenikmatan yang membasahi kerongkongan, sembari
Mengingat mimpi yang bergerak
dari arah malam menuju ketidaksadaran,
Hingga gelepar waktu tergeletak
di ujung jalan tempatku tersesat dan haus oleh
Terbit pagi
Angin yang menghela nafas
pepohonan memicingkan isyarat untuk menghabiskan
Waktuku seharian, jarum jam
bersiap membuat jalur kesibukan di tatih langkahku
Aku hanya gontai menyisakan
serbuk hitam yang mengendap pada kedalaman
Gelas di hadapan
Menulis
Puisi
Adalah sakral yang menyisir embun
di hatiku
Dan menahkodai gelombang di batas
perenungan
Lalu kudekap samudera kata yang
menopang warna cakrawala
Dalam diam, tubuhku meneteskan
denting gelisah
Meredakan helai – helai getar
segala cuaca
Bait demi bait melukis jarak
tubuhnya sendiri
Dengan beku daun – daun, sedekat
air mata
Musim
Segaris kemarau bersajak pada
kuning dedaunan
Padi selesai dipanen, sawah dan
telaga gemertak
Retak,
dan gabah* dihampar sepanjang pandangan
Hingga waktu memberi isyarat
kepunahan hujan
Pagi
Terlalu rimbun untuk menyebut
matahari hutan
Namun terang telah mendirikan
lebat bayang – bayang
Yang masih memanjang ke barat
Penghujan
Ia datang sebagai musim
Dan bukan menjadi cerita yang
membujang di kefanaan waktu
Ketika angin mewarisi kesepian di
tegak bebatuan
Yang merindu awan
Ia datang sebagai jejak yang
menyejukkan jeda
Juga petang yang berrendam di
nafas sungai
Dan air pun tumpah perlahan
membaca tanah
Serta seksama mengisi sudut yang
kerontang di semua bagian kata
Ia datang sebagai suara
Yang dengan sederhana mengupas
kenangan di himpitan dahaga
Aku lega. Ranting tak lagi memintaku
menemaninya sebagai malam
Karena datang gerimis membebat
rembulan
Percakapan
Seribu satu matahari
Hadir lewat celah kata – katamu,
namun
Tak jua menguapkan dingin di
lantai hatiku
Potret
Sebuah Rumah Kosong, Di Ujung Desa
Di halaman yang using itu, tak
ada lagi yang ditumbuhkan
Selain tanah cadas yang
senantiasa mengepulkan matahari
Apalagi bebunga, panas telah
menjarah dahan pepohonan
Sampai ke ruh – ruhnya,
Bebatuan tengadah ke awan. Di
sebuah siang yang diam
Kehidupan telah diangkut ke luar
sana, dan
Atap yang berdebu itu sampai pada
puncak kebisuan
Tak ada yang bergerak, kecuali
angin
Yang mengirimkan lanskap dedaunan
pada selusur jendela
Di beranda itu. Aroma kenangan
semakin menyeruak di antara
Dinding kayu yang mengingat tubuh
– tubuh yang pernah singgah kepadanya
Tak ada yang berani membuka
pintu, karena di dalamnya
Tak akan ada lagi waktu
Sajak
Kanak – Kanak
Maka terbukalah pintu musim,
waktu yang
Rebah di lipatan kalender
Sungai – sungai telah lama
memendam belukar
Membuat burung menjadi purba di
geliat pohon
Dan kurap menjadi asing di tubuh
kita, aroma
Yang melupakan masa
Tawa kita telah mengelakar di
paras zaman
Melagukan bunga – bunga yang
kehilangan mahkota
Didera buas hujan
Dan asin awan
Kita adalah kawanan yang menenggak
Riwayat air
Yang waktu itu memandikan usia
kita
Begitupun rerumput yang mengajak
Denyut tubuh menelikung arah
Bayang menuju tanah berlumpur
“Bukankah sudah kita hafal
semboyan – semboyan pedesaan ?”
Tak ada yang habis mengeja nama –
nama pertemuan kita
Dan kelak kita akan tahu
Jejak peluh mencatat semua yang
sudah
Merupa nafas
Seonggok lading bermain
Yang selama ini disamarkan dengan
Langit dan tanah
Oleh bahasa bukit ilalang
Pun sesekali kita ditakdirkan
renung angin
Menjadi pelabuh masa
Dengan dengus mengibas
Sorga yang pernah kita larung
Di jauh nasib
Dan burung – burung itu sejenak
mendekap matahari
Yang berhenti menghela dongeng
kita yang usai
Senja Di
Kota Purwodadi
Di antara kepak burung walet yang
suram, ada sebersit debar
Yang tak dirasakan pepohonan, dan
kegamangan
Tetap terdekap, desa – desa
menyaksian kelengangan di luar peradaban
Sungai – sungai pun menanjak rasa
haus dari gunung tandus
Sebelum malam. Aku sudah melihat
yang berkejaran
Di kolong jembatan, rel kereta
api, dan saluran – saluran drainase
Panjang membilang duka tanah
lapang yang tetap kosong
Tanpa tanda tanya, senyap anak –
anak
Hanya jatuh di jalanan yang jauh
Deretan pegunungan di utara,
bukit – bukit yang diam di timur
Dengan lambat menumbuhkan waktu
di selangkangan para pekerja bangunan
Jam lima sore. Sebelum gelisah
dipulangkan ke pintu – pintu rumah
Dan pasar yang lugu, kata – kata
diperjualbelikan
Dari bibir kalimat, asap
kendaraan
Semakin hening, seperti malam
yang berjaga di bawah lampu jalan
Hanya kenangan yang terjual di
pertokoan, tanpa rincing uang logam
Yang lebih kilau dari sunyi
sungai
Tak ada, tak ada gedung yang bisa
diceritakan
Di sini, dan taman – taman tak
lebih bermakna
Dari apa yang bisa dikirimkan
kepada malam
Serangga
Musim Hujan
Tanah pun menyelami malam dengan
sederhana
Ketika tangan – tangan musim
meraba keluh kesah
Sedangkan lembaran hari kian
berayun ke lain bentuk
Yang tak pernah dipahat waktu
sebelumnya
Sembab yang mengerikan kian
kering di sumbu mata
Menyalakan perasaan yang terbuang
di arus angin
Sayap pun terpaksa
berkumandang di tengah malam
Sekedar menjerat sepi dengan
butir suara yang berpendar
Suara – suara kian menetas di
lubang telinga
Dan semerbak dingin mengembun di
bau tubuh
Setelah
Menulis Puisi
Setelah menulis puisi, tentang senja
Dan sapa bebunga, wangi udara
membasuh
Angan – angan yang terpaksakan,
serta
Burung – burung yang telanjang
Kebisuan dengan jumawa
Melenyap ke dalam akrab
Gembala pada bahasa rerumputan
Siang
Aku mendasari setiap diam pada
sajak
Hening…….. di saat matahari
terburai kelopak angin
Genap semua kejang, kaku senyum
memberat di sunyi hati
Panas di sekitar, mungkin waktu
adalah puncak duka
Yang buntu, dan mengatakan riang
Hanya sepanjang benang layang –
layang
Simfoni
Usia Ke 17
Lalu ku pandangi anak tangga
kuyup yang menatar di lembran langit
Di balik tafsir awan, sebarisan
angin berteduh pada lusuh lamunan
Membaca selarik misal, do’a
lelumpur menuntunku ke tirakat subuh
Yang pintunya masih menyapa air
mata
Bahkan aku lupa kenangan cuaca,
yang embunnya mengabur bayangan pohon
Sewaktu teratai membuka rahasia
renungan paling ujung
Mungkin aku tak peduli kata –
kata hujan yang bergetah dan menetesi
Pori akar tempat kabut melafalkan
gunjingan matahari
Dan waktu terpelihara dalam nama,
sepanjang rantai yang mengakar di kaku tubuh
Ada yang tersengal menyulam masa
kanak, menunggu senja lapuk dalam lembah usia
Ialah angan bebatuan yang menyeka
peluh sungai
Kawan – kawan menyapaku sebagai
romansa, dengan tapa yang semakin dewasa
Di wajahku, dengan gurat yang
mengabin di ubunku, dengan tanah yang semakin
Mencium dahagaku
Hari – hari pun jauh melupakan
jazirah rindu pada gelak tawa masa bocah
Dari ragu ke ragu yang lain, kata
– kata hanyalah bahasa paling sunyi
Yang menggelantungkan wajahku
pada gelut nasib
Ternganga sudah alasan yang mekar
di antara kuncup bebunga, bahwa
Tak perlu lagi menyesali semua
yang sudah
Dengan jiwa yang tengah bimbang,
Nyanyi serangga pun menyadari
bahwa masa lalu tak lagi merupa
Pekik bayi pada hari kelahiran
Karena waktu adalah bayang yang
tersingkap di tengah semua keluguan musim
Aku kembali menyelami pias
kebimbangan
Yang tengah mengayuh berbagai
arah kehidupan
Suatu
Malam Di Jalan Diponegoro, Purwodadi
Sudah sekelam pula ini hari,
tanpa remang lampu bohlam
Dan fasih percakapan, hanya nafas
Yang membercak pada air – air
kubangan
Lalu tiang – tiang yang
menjulang, meredakan desau
Langkah hari yang tenggelam,
tubir angin, sepoi udara,
Dan riak dahan ketapang yang
perlahan menyajikan aroma wajahmu
Yang terlupakan
Beberapa langkah lagi menuju
simpangan, setelah memadamkan kelam
Malam bergegas menuju sisa guyur
hujan pada rerumputan
Dan jejak semak di tepian. Dingin
kembali mengatupkan kelopak bunga tanjung
Pada taman, menyirak hasrat
sampai tiba di tujuan
Terompet
Tahun Baru
Jarum jam kian memucat di sumbu
petasan
Yang siap dinyalakan, raung
serombongan kelelawar
Berdebar di atas lampu kota
Satu yang abadi : harapan yang
membahasa di sulur keramaian
Pekat asap menjajah kegelapan
langit, wajah kota
Mengisyaratkan tak ada duka
disemayamkan
Lalu seperti api, bara membayangi
wajah – wajah bahagia
Para penjual mainan dan terompet
yang menyudut di trotoar
Sangkakala belum ditiup, ada
jarak beberapa menit
Sebelum pergantian hari, tahun
yang lain telah berjaga di hadapan
Dan tak ada yang menangis,
kecuali jerit anak – anak yang kehilangan mainannya
Atau terinjak kakinya di jejalan
orang – orang
Do’a selesai dirangkai, dongeng
baru akan lahir dari rahim
Kehidupan, lonceng berdentang
kemudian
Sorai gempita meledak di kejauhan
Dan pekik suara menyasar dari
sekeliling, “Bunyikan…!!!”
Kala
Matahari Sepenggalah Naik
Dzikir dan tahlil yang
dipanjatkan semalam, demi menggenapi jam – jam keruh
kini menyibak rerumputan bernanah
Akulah yang bercakap dengan pagi,
sekedar menyusun reranting menjadi
menara yang menaungi kekosonganku
Dan pada mulanya adalah jeritan
tak berujung
Ditanah yang sempit, tempat kabut
meneteskan cairan embun yang nyata
melafalkan qira’ah
Menjelma ruang bagi genap reka’at
dan sujud yang tak jua buatku penat
Ada jarak dengan sang pencipta
Seperti gumpalan waktu yang
memanjang dalam do’a
: dinamai dhuha
Pada
Sebuah Perpustakaan
Seperti awan yang menafsir
kepalsuan, kau bercerita tentang hari demi hari
Yang menetaskan debu dalam
tubuhmu
Karena sembab masih menjajah mata
aksara, anak-anak pun lebih faham
mengeja birahi, meninggalkan
kursi-kursi dan rak yang melumat kesepian
dalam mulutmu
Kini sejarah hanyalah dongeng
yang mengabur di udara, dan
Pengetahuan seakan tak ingin
mengepak kenangan akan buku-buku tua
Kami tak lagi merunut cuaca
dibalik pintumu, sebab
Hujan membasahi narasi meja-meja
Dan pada kesunyianmulah ilmu
membenam dalam muasal
Mencari
Rumput
Dengan sisa panas pada akar –
akar kehidupan
Sabit – sabit melata dari pintu
lalu pekarangan
Menuju ladang, menyapa tanaman
dari bawah bayang kepodang
Setelah terik rebah pada batang –
batang yang awam
Senja merasuk desa, dan peluh
menggeliat di pelupuk
Dihabiskannya urat – urat yang
tertanam dengan keletihan itu
Sampai selesai, saat caping
mengibaskan aroma kelegaan
Untuk berpulang pada kehidupan
kandang
Dan punggung pun memikul
keranjang yang memuat rasa lapar
Serta rindu hewan - hewan
Hujan
pagi
Meski tak kau kenal muara-muara
Seperti embun pada rumput yang
terbangun
Seperti cap tangan pada kertas,
ia masih bersuara
Mungkin terdengar sebagai lembab,
yang mungkin tak juga kau kenal
Di jalur pejalan kaki yang asing
Sebelum menjumpai udara
Tapi, gemercik itu pun
Selalu memandang kita dalam siaga
Meski kata tak memahatnya
Semarang
- Purwodadi
Kuterka gerimis yang berpasangan
pada petak-petak kerikil itu
pada goresan baru yang basah, telungkup jalan menghiba
dan semakin luas, perasaan menguak ufuk yang jingga, tua
serta semakin membiasakan diri pada januari
di jendela bus-bus yang usang, tersengal agaknya
desah aspal yang berat
menjadikan kata-kata pucat, mengalir
jalur-jalur yang tak kumengerti
meski tiba-tiba, tubuh menuju pula
kepada sanak pertemuan.
(8/1/2014)
pada goresan baru yang basah, telungkup jalan menghiba
dan semakin luas, perasaan menguak ufuk yang jingga, tua
serta semakin membiasakan diri pada januari
di jendela bus-bus yang usang, tersengal agaknya
desah aspal yang berat
menjadikan kata-kata pucat, mengalir
jalur-jalur yang tak kumengerti
meski tiba-tiba, tubuh menuju pula
kepada sanak pertemuan.
(8/1/2014)
Dongeng
Pagi yang Baka
Kau mungkin kepingan salju-salju
itu
Dengan suara riuh-rendah itu,
mungkin
Yang sempat menulis wajah pertapa
Di gigir cemara
Bahkan anak panah yang terlepas
itu pun
Hanya fana sajak sayap
burung-burung
Malam yang beranjak sebelum
sempat mengucap do’a
Mengirimkan jejak nama tak
bertanggal
Sebelum waktu tertinggal
Sajak
Usia Ke 18
Seorang anak sedang mengamati
lebat sawah di depannya
Seorang wanita tua sedang berdiri
dengan bayangannya yang renta
Agak di belakangnya. Delapan
tahun yang lalu.
Kemudian dari parit tercium bau
lumpur. Hanya ada semanggi
Yang menyirak kulit kaki.
Serangga pun tak berbunyi, atau mungkin
Dia tak peduli
Lalu pada menit-menit yang terik
itu terdengar percakapan
Yang tak terlalu mengganggu.
Semuanya mengalir dalam keniscayaan
Dan panas telah memberikan waktu
berfikir apa yang semestinya diperdengarkan.
“Apakah padi yang mulai menguning
itu siap untuk dipanen, nek ?.”
“Belum nak.”
“Mengapa ?.”
“Mereka masih belum begitu
mengerti nak, tentang realita-realita yang terjadi
di dunia ini. Mereka belum pernah
mengalami tragedi atau pengasingan
atau hal buruk lainnya. Kita
biarkan mereka disini beberapa hari lagi,
untuk melihat dan memahami
sendiri tentang dunia ini.”
“Apakah nanti burung-burung yang
akan memakan habis mereka ?.”
“Mungkin.”
Sang anak pun terdiam. Delapan
tahun sesudah itu ia nyaris terlupa
Tentang percakapan di sawah
terbuka itu. Ia tak terlalu pandai mengingat. Mungkin
Memang ada sudut-sudut yang harus
direnungkan pada percakapan itu.
Namun dibalik itu selalu ada
kecemasan yang berpihak pada kenyataan. Dongeng pun
Tak mesti lagi diceritakan setiap
malam. Ada banyak hal yang mulai terlupakan.
Waktu berputar dengan menyisakan
guguran pertanyaan. Dan berfikir hanya akan
Menumbuhkan perdebatan usang.
Ia pun sadar. Ada banyak
peristiwa yang terjadi didunia luar sana, juga interaksi
Pada wajah-wajah yang tak
diacuhkannya. Selama ini ia hanya peduli bagaimana
Membuat titik-titik melankolis
pada hidupnya. Matahari telah asing baginya.
Hanya rembulan yang membangun
mimpi untuknya, dengan angan-angan
Yang tampan dan menghanyutkan.
Maka pada senja yang hujan itu ia menulis kata
Pada tetesan air yang menyibak
bulu matanya, “Sudah Saatnya.”
Malam
Yang Biasa Bagi Seorang Penyair
Aku masih belum mengerti mengapa
kertas-kertas itu masih membiarkanku menerawang.
Entah karena lipatan kusam itu
tak pernah menanyakan perihal jendela, yang selalu terbuka bagi suara serangga.
Ataukah.....
Ini bukan hari yang buruk, namun
diujung pintu detak jam nyaris terasa senyap, bulan menghilang
Dan tak ada yang datang, menjawab
sapa yang ditawarkan
Oleh beberapa sayup bunyi di
kedalaman gang. Tapi siapa peduli hiruk pikuk itu ?
Aku hanya belum ingin tidur, dan
coretan pada paras tembok itu pun
Mungkin memang harus dilupakan
Seorang
Anak Dalam Senja
Seorang anak berjalan di waktu
senja
Di kiri-kanan rerumputan berdetak
memanjangkan langkahnya
Di tubuhnya mengandung pesan :
Segumpal semak,serta arah yang
terpancang
Pada jalan berbatu, haruskah
menyapa ?
Matanya pun mengisyaratkan, bahwa
di bibir kanal itu ada tawa dan permainan
Yang terapung menuju samudera
lepas; aku akan selalu kesana
Dengan berberapa teman, yang
beberapa menit sebelumnya,
Wajahnya diingatnya diam-diam
Satu-persatu, semua tampak begitu
sederhana, bahkan disaat kembali pun tiba
Sampai ia tak menduga
Sebuah pintu, dan sesosok ibu
yang cemas
Selalu bersedia terbuka untuknya
(23/2/2014)
Gapura
Terpakulah di sekitar dedaunan
itu : sebuah motif
Pada tugu yang menampung segala
cucur kata
Dari angin kemarau yang datang
lebih awal
Debu pun memahatnya sedemikian
rupa
Hingga seorang gembala bersandar
dengan udara senja
Deru demi deru berseling, dan
orang-orang mulai membangun mimpi
Di garis depan, semua pintu
terbuka bagi perjalanan
Pada relief yang tak ingin
kukenal, anak-anak tak lagi melambaikan tangan
Sejarah hanya disangkutpautkan
dengan luka dan pertentangan
Banyak waktu disembunyikan dengan
sungkan
Atau wajahkah yang harus
membayang bebatuan ?
Terpakulah di sekitar dedaunan
itu : sebuah alasan
Mengapa sapaan sedikit asing
untuk dibicarakan
di ruang terbuka; dalam warna
riuh manusia
banyak yang tak disukai akan
kembali lagi
bayang-bayang meluap ke padang
ilalang, serombongan kepodang
menetap pada tiang-tiang pancang
di kejauhan
yang lirih membaca setiap macam
raut di permukaannya
adalah sebuah kota
(08/03/2014)
Saatnya Menulis
Saatnya menulis. Kita telah tiba
pada seremah celah di tembok basah itu
Gerimis tengah turun, tapi bisa
saja jarum jam bergoyang
Saat kau memungut selongsong
waktu. Kau sama sekali bergegas
Sederhana saja ketika kau menutup
mata diatas ranjang, dari keyakinan
Yang sepakat tak menyeduh sapaan
di ruangan berkabut ini
Segelintir mawar terlepas dari
mimpimu, hingga malam memadamkan
Lampu kamarmu
Serangga berbunyi, namun selimut
yang baru saja mencuat itu
Terus menyembunyikan tubuhmu
26/04/2014. 00:35
Membaca
Malam
Berpuluh wajahmu menyembul di kristal musim
mengingatkan pada bulan-bulan liar di kantung mata
kalimat tengah mengatup
ke bawah, tembok menikam
dari bunyi angin seberang
Seraup bunga mengisah pada sepenggalah subuh
dan selaksa membayang naik-turun, namun
kata bukanlah kerangka cerita
......................................................
(13/5/2014. 03:05)
Angsana
Tunas-tunas mimpiku berguguran
Hingga matahari yang luka
menapak, memadamkan kata
Pada raut awan, kau lihat ?
Mungkin sekaligus dapat kau ingat
ketika
Kau teguk kemarau dalam gelasku
Ada angin menusuk rongga kusam
itu
Saat kau bersandar, mengabadikan
Helai-helai daun pada kakimu,
apabila akar perlahan memahat waktu
Langit kembali mencerabut getar
rinduku
(13/5/2014. 13:43)
Pagi, di
sebuah Kota
Lampu-lampu menyala dan terbakar
dari runtuhan jembatan, aku dan halusinasi
yang lekat di jalanan
mendengar nada sengal kehidupan
Angin meluruhkan sinar
jendela menjadi asin payau
yang diterbangkan suara
pada gema asing perbukitan
............................................
Mataku menikam kecurigaan di kelam diam
............................................
Sungguh aku kehilangan kata
dan makna yang karam di gedung itu pula
Oh, kita mesti terbiasa
dengan taring gumam di kulit dongeng
samar, dengan puing pengembaraan, menyusur
sepi yang mati rasa
dan mengasah kegelisahan
(Semarang, 15/5/2014. 09:20)
dari runtuhan jembatan, aku dan halusinasi
yang lekat di jalanan
mendengar nada sengal kehidupan
Angin meluruhkan sinar
jendela menjadi asin payau
yang diterbangkan suara
pada gema asing perbukitan
............................................
Mataku menikam kecurigaan di kelam diam
............................................
Sungguh aku kehilangan kata
dan makna yang karam di gedung itu pula
Oh, kita mesti terbiasa
dengan taring gumam di kulit dongeng
samar, dengan puing pengembaraan, menyusur
sepi yang mati rasa
dan mengasah kegelisahan
(Semarang, 15/5/2014. 09:20)
Kembang
Api
Seperti wangi kahyangan cahaya
purnama membaur di dekap halaman, debur sulur yang hadir
Dan terbuka menopang senyum
rahasia anak anak, menyeret jejak yang gempita di lembab rumput,
Sebuah percakapan di beranda
rumah itu pun tak letih memahaminya, “biarkan mereka mengenal
tarian dan canda” , sekejap bunyi
bunyi api merambat di pucuk yang terbakar itu, menanggalkan
titik bara yang melubangi udara,
tawa pun semakin berulang dan membesar.
Adakah yang bisa
membayar kenangan ini ?
(22/6/2014, 03:45)
Simphoni
Para Pekerja
Dalam pangkal ruang besi ini
Panas memekakkan mata, setia
beranjak pada warna
Tangan-kaki kelabu, tawa tak
termampat pada keinginan
Yang memenuhi selubung ingatan,
semakin perawan
Tak banyak yang mesti dikatakan
Pada matahari, dengan hari-hari
yang dikayuhnya
(5/7/2014. 09:04)
Kau
Rajutkah Hujan ?
“Kau rajutkah hujan” ? karena aku melihat
butir tanah menyumbat rupa suara, ketika
kau melepas kabut dari tubuhmu
hingga larut hari-hari di musim yang sama
tak ada lagi kata dan tegur sapa
“Setidaknya kau mulai mengerti”
aku hanya ingin menyentuh sisa gigil di seberkas rambutmu
namun udara yang tumbuh di baris air
kembali menutup pintu bahasamu
Sangat sederhana. Di sela kubur ingatanku
kau memeluk langkah tua pada gurat jarak
yang memperdengarkan gerimis
sebagaimana dongeng harian
Aku membasuh denyut burung-burung malam
dan meskipun kau tak begitu yakin pada warna rahasia
yang bergegas dari gugur daun-daun
aku percaya kemarau masa silam
kembali membuka bunga kata
Minggu-minggu yang membeku di riuh jendela
mencatat paras waktu dan bayangan yang kekal
meski wajahmu mulai sirna dari nyanyi yang berganti
dari asap subuh yang mati
(Pwd, 27/7/2014. 05:48)
Di Akhir
Pertemuan
Rabu malam itu adalah seutas
pembicaraan
Yang menemukan sunyi dari bisik
pejalan kaki
Dan kau selalu berkata
Pada titik di gurat aspal itu
Gerimis di atas kita masih
melipat wajahnya
Begitu kita membincangkan
beberapa hal
Mungkin langit akan lebih dekat
Memberangkatkan malam dari sejuk
pepohonan
Aku tersenyum (setelah beberapa
menit), membaca garis katamu
Didalam bunyi jangkerik, dan
gaduh birahi katak
Dan pada asap kopi di gelas itu
pun terbayang hari-hari mendatang
Yang tak ingin dilahirkan
Hingga raut dedaunan itu berhenti
bergoyang, sesekali
Aku tak ingin terlalu mengerti
akan kepergian
Meski aku tahu, waktu akan selalu
terbuka
Dan jarum jam mencair,
meninggalkan bangku ini
“Tapi aku selalu ingin pergi”,
ujarmu,
“Tapi mungkin aku akan kembali lagi pada
Gerimis berikutnya, atau mungkin
tidak”,
Seperti kepinis yang bergegas
meninggalkan siang
Dan kabut naik
Ruang ini pun akan segera usai
Saat terdengar langkah kaki yang
remang, menjauh
Seperti bayang hujan di sisa
cuaca
“hari ini akan menjadi sepi,
kawan”
Sejak kau tak terbiasa
mengunjungi halaman ini
Sajak
Petani (1)
Secara langsung kita sendiri
membayangkan
Apa yang legam di perkampungan,
Dengan melihat belantara
Pada hijau angin
Dan yang sudah, kembali
ditakdirkan
Sepanjang senja, langkah yang
disimpannya
Menuju kemarau, suara yang lekat
Di teduh mahoni
Meskipun ada yang menghibur
Di antara bulir padi
Akan ada yang terulang
Pada kibasan layu dedaunan
“Semua telah disadarkan oleh
bayang persawahan”,
Ujar seseorang,
“Namun pagi selalu mencintai kita,
Dengan akar yang kita miliki,
Dan lumpur yang begitu kita
yakini”
“Dan desa akan selalu mengerti”,
katamu.
“Apa yang terjadi,
Apa yang kelak terjadi”
(1/9/2014. 10:35)
Pada
Sebuah Malam, Pada Sebuah Halaman
Di halaman ini akan selalu
kukenal pertemuan,
Kau pernah setengah berkata,
akan muncul waktu di belakang
dedaunan itu
tapi mungkin tak lagi ditemukan
pagi,
hari-hari sepi yang lain,
pada ketapang yang menaungi kita
dan tak begitu saja kulepas
wajahmu,
setidaknya pada
bangku ini
Menit-menit menjadi teramat
panjang
dari apa yang pernah kita dengar
dan sekejap menjadi
kata yang begitu
menyimpan kematian
saat malam tak pernah keluar
dari bising semak
Keraguan akan kembali pada
halaman ini
membuka rasi bintang di langit
selatan, dengan
pikiran yang tak pernah selesai
4/10/2014. 01:08
Penyapu
Jalan
Disini : kalender pun berbau
Dari asal jalan yang menghirup
nafas mentah
Pagi
Dikatakannya pada semerbak, longsor
dedaunan,
Getir ufuk tanah
Yang membiasakan gores selokan
Hari masih belum begitu menopang
bisik
Selama warna parau aspal
Masih menundukkan jelaga pada iba
Daun –
Daun di Sakumu
Daun-daun yang di sakumu belum
sirna
Sementara warna hari hanya sekedar
sekumpulan
Dahaga pada sumur bahasamu, dan
ragu
Kembali membuka awan waktu
Kuhembus lagi : Apa yang kemudian
dikenang, sebagai
Sebaris api pada raut kata
Dan menjadi belantara nafasmu
Menjarak dalam suara dan sungkan
yang asing
Begitulah kau nikmati percik
ingatan
Dari pertemuan yang membelukar di
bawah lengang
Segala akan kusebut pada rembulan
13-16 November 2014
Asap Musim
Gugur
Desember menjadi begitu sepi, dan
aku mengerti
Ketika kau pergi melepas riak
sutera
Tempatmu menepikan benang senja
Bayang-bayang yang gugur bersama
kecipak daun
Tak bisa begitu saja
Mengepak jejakmu pada rimbun
genangan
Hanya jam-jam menggenapi tanya
Hingga langit berganti suasana,
Dan kau pun masih menjulurkan
nafas yang dulu, - pucat pasi -
Gerak asap pada tungku itupun
legam, menikam
Kebekuan di pelupuknya, namun
Tubuhku tak digubrisnya. Dan aku
masih saja disini.
(Pwd, 24-12-2014. 23:45)
Bandungan,
di Sebuah Sore
“Aku
selalu berharap ini menjadi hari yang indah”,
Ujarku, “tapi aku tak terlalu berharap diingat”,
Di tempat kau berdiri, aku
melihat ada kedalaman
Pada embun wajahmu
Seketika kau menatap ke bawah, ke
dalam
Ketika tak ada lagi alasan bicara
Atau burung-burung yang
dibicarakan
Di bawah langit
Lembah menggumpal, seperti
Waktu yang meyakinkan
Untuk segera dijauhkan
Lalu betapa kukira, gerak bahasa
Yang tak sampai hati mengerti
Membekukan mata, dalam
Warna rahasia
Kabut pertama turun
Senja itu mulai menyusup ke
tanjakan
Bersama sisa matahari pada kata,
yang akupun tak tahu
Sejauh mana kau mengenalinya
Karena, kurasa tidak
Saat aku mulai berfikir hutan
akan membuka
Percakapan antara kita
Mustahil untuk menyalakan kata
Dalam kelebat ilalang, yang tak
berjarak dari tubuhmu
Dan kini kau diam, kembali
aku selalu berharap, kau tak
perlu menggumam
pada lembah, disini siapapun tahu
awan rahasiamu
karena ilusi menjadi dibutuhkan
saat perjalanan berkemas
menuju percakapan, yang tak
ditulis
pada catatan harian
(Semarang, 25-26 Desember 2014)
Ketika
Malam Membayangkan Mimpi
Aku membayangkan seorang gadis
meletakkan kalajengking di rahim langit,
bersama anak panah dan pemburu
yang selalu dikisahkan
“oh, itu gubug penceng”,
Ujar seorang anak, sambil
menunjuk langit
Di kejauhan
Lalu sepasang kunang-kunang
hinggap di dahan
Seperti mengisyaratkan
Bahwa seseorang akan berarti
Jika ia begitu panjang
mengartikan malam
Dalam lagu tidurnya
Dari selokan itu terbentang warna
pekat
Mengangkut sepi, yang tak
terlihat jauh,
“jika
kau mulai mencium mimpi, maka bernyanyilah
Sampai
paras subuh menyentuh jalanan”
Atau mungkin angin tak akan
pernah datang
Meskipun suara serangga terasa
lembab
Dari jejak tinta pada meja itu,
ada yang mengatakan
Aku tak terlalu menyukai terang
Seperti sayap peri
Dalam mimpi kanak-kanak
Kau tak pernah begitu mati
Kamar
Notasi itu masih ada
pada sebaris mata yang lelah
mengayun aroma lampu
dalam lamunan jemari
Dan biarkan cermin itu
membuka derit pintu
seperti memanjangkan waktu
(Smg, 7-1-2015. 16:25)
Dimanakah
Tuan-Tuan ?
Dimana caci maki dan urat perut
ini mendera ?
dari mana saputan purnama memekik
pada tiang-tiang bendera ?
lalu panas berebut dengan lubang
batuan
namun terlalu sempit, untuk
seketika disebut sebagai gurauan
Baiklah, sewajarnya kami hanya
membicarakan
hal kecil pada gemuruh derap
televisi dan radio
baiklah, selama angin belum genap
membakar gelisah
kami tak menyembunyikan kata pada
kabut selokan
Dan, Kota menjadi tetes sunyi di
sudut koran pagi
percik kelopak padi di persawahan
tak lagi menghitung minggu
setiap detik adalah tabu untuk
memejamkan nafas
yang terserak antara ampas dan
rinai jalanan
Hujan masih menyamar di
warung-warung
sebagai kelebat asap rokok dan
anyir lalu-lintas
harga dan angka-angka merobek
awang-awang
menjelma rabun nyawa di genangan
peluh
Dimanakah tuan-tuan ?
yang menyeret moral ke akar hutan
yang mengiblat kemakmuran pada
kantong jas
yang melelapkan waktu dalam uap
janji
Pasar pun telah memindahkan senja
ke mata orang-orang tua
sementara tawa masih membekas di
tiang pendopo*
yang sempurna membelai tanya
(9-10-2015. 16:00)
*Pendopo
: Kantor Bupati
Dari Ingatanku yang Datar
Dari ingatanku yang datar
aku tak tahu di keping manakah
mimpi membanting muka di lempeng
tanganmu
tak seperti isyarat
yang mengharuskan tawa
mengukur garis sungai
Dan umur malam
membalut gerak kunang-kunang
Bagai tameng perang
yang mengirimimu keyakinan
hanya pohon-pohon bergerak
melihat pilar nafasmu menyentuh sepenggal
nama
yang tak pernah ada
dari biru halamanmu
dari gaduh khayalanku, seperti
dasar jurang
menghimpun hitam mayat
dan luka waktu
Kata tak lagi berhembus
dari ultimatum burung-burung
untuk sekedar mencabut jejakmu
(Smg, 21/01/2015. 13:54)
Kedung
Ombo
Paras yang kosong, kaku
Langit yang berrenang, berkejaran
Di kejauhan
Memanggul dongeng dalam temali
Dan detak perahu memberatkan arus
“Siapa
yang tak lagi menggagas “?
Tentang kemarau, yang turun
tiba-tiba
Sementara waktu merasa tua
Dengan pohon-pohon, di ujung
kakinya
Nelayan pun
Sibuk membaca riak
Sejauh malam
Pelupuk desa menumbuhkan
Gaung tasbih, dan jembatan
Yang menyeka desis pedati
“Hanya
kanal yang kau lihat, kan” ?
Selain bebatuan, dan bunyi
sungai,
dan semua yang mulai
mengosongkannya
Sebelum sempat, aku sebenarnya
Ingin bergumam
Dari asap kedai itu
Dari boulevard itu, namun
Burung-burung menahan suaranya
Dan aku tak pernah yakin
Tentang hujan, insang, atau nafas
yang ingin berhenti
(Pwd, 2014-2015)