Selasa, 02 Agustus 2016

BAB III
SEPERTI JUM'AT PAGI


Seperti Jum’at Pagi

Seperti jum’at pagi
yang terlindung dari luka
dan suara

Barangkali masasilam itu
masih mengucap peta dan lambaian
dari butir waktu
serta arus parit
yang mendarat di sudut kamar

Sebuah dingin, sebuah depresi
telah mengangkat tafsir
dari kegaduhan yang datang
setelah lelah


(Semarang, 18/3/2016)


Cuaca

Sebentar lagi kita akan mengenal
senyap yang membentang
di ketinggian, adalah burung-burung
yang melebur dalam gema, sebelum
langit nampak terbuka

Sebentar lagi kita akan mengenal
berita yang lenyap usai diterjemahkan
oleh hujan, sekelebat kabar muncul
di perbincangan, kemudian, mendung pun hinggap
di sela musim, dan suhu mematahkan kata
yang terakhir diingat sebelum gelap


(Semarang, 18/3/2016)


Meditasi

Di ruas ini aku menerbitkan metafora
dimulai dari rasa getir yang gemetar
mengendap ke ratap, ke tubuh
yang mengangakan wajah

Adalah sebuah kesalahan, ataukah kebetulan
ketika gaung menyusul
ke buku catatan, seperti sisa
isyarat pada raut dan bunyi malam

Kudengar angin menunduk
udara terlepas ke sudut, namun
tak ada ketakjuban lain sebelum jam
membunyikan bel tidur

tapi sekarang aku tak ingin tidur


(Semarang, 19/3/2016)


Bola Plastik

Hari mulai landai. Pohon turun-temurun
menaungi rumput yang membebaskan
dari lembab dan basah. Mereka mendengarkan
ketika jerit dan kemelut mengembalikan debu
dari kesepian

“Gol...!!”
“1-0....!!”

Di bawah kepak panjang burung-burung senja
tak terdengar peluh menikam, ataupun utas keluhan

Mereka kembali mendengar gemuruh perang yang meletus
bersamaan. Saat kaki dan nafsu melintas. Kesana-kemari,
saat sore mengendap, di setengah jam permainan

Seperti detik dan bunyi walet
yang tak diingat lagi,
seperti dongeng yang terkoyak. Semua berhenti.

“Gol...!!”
“1-1....!!”

Pada setengah jam terakhir
siluet merah memantul di kedap tanah
dan perang menjadi potongan-potongan gerak
yang menyilaukan

Panas dan serak berhimitan
dalam paras empat belas orang, sebentang lapangan
akan memberikan ruang
untuk selalu diceritakan

Dan tendangan terakhir terhempas,
teriakan terlepas

“Gol...!!”
“1-2....!!”

Semua langkah berpamitan
namun tak ada tangis, tak ada pesta-pora
yang ranum, seperti warna senja
yang menembus sumsum.

Tak ada kekalahan
di wajah-wajah mereka


(20-21 Maret 2016)


Kepada Wanita Pengemis Itu

Kepada wanita pengemis itu
siang berangkat ke masa depan
lewat perangai dan raut, yang mengenal
suara berisik dari perut

Lalu ia mendengar riuh
setiap langkah kaki lain, yang jauh
hampir membentuk kehidupan

Tapi kehidupan, baginya, adalah seperti
kilap kaca-kaca mobil, emperan yang lembab
dan etalase yang tak menjawab

Karena ia yakin
langit tak menanggalkan lazuardi
dari karamaian, siang yang telah berangkat
akan menjemput setiap ratap
dan kalimat yang berharap


(Semarang, 21-22 Maret 2016)


Para Pengepul Sampah

Malam berpeluk di lintasan waktu
dingin menyisir kelopak, pelan,
seperti sebuah prosesi, semua raut tertutup
pada semak belukar, di dekat jalan

Hidup adalah deret kosakata yang berkemas
dalam tanda tanya, dari ruang dengan selembar tikar tua itu,
tak ada ingatan yang tak mati,
dan tak ada yang bisa menyanyi

Hidup adalah jengkal demi jengkal jam
yang melupakan refleksi, hanya kata,
plastik-plastik tua, sebuntal kardus,
dan bayangan-bayangan tubuh dengan ritual yang samar itu
yang hampir bisa memberikan jawaban

Tak ada waktu untuk selesai
“Tapi hidup bukanlah hari ini,
Bukan juga bungkusan sisa sarapan kemarin”,
lalu pada formasi bintang-bintang di mimpi langit
Ia benar-benar meninggalkan sepucuk kalimat
yang tak terdengar :
“Besok mungkin aku akan kembali lagi,
jam 2 dini hari”.


(Semarang, 25/3/2016)


Lembah Kreo (1)

Setapak nyanyian
singgah dari ujung-ujung
kampung

Mereka melihat
apa yang ingin kita lihat
sebagai bercak sejarah
dari lereng selatan

Ketika ketakjuban itu
datang pertama kali
bersama arus sungai
yang berkerumun

Tapi, dari apa yang kita saksikan
pada seutas gema
yang terdengar sebentar

Akan selalu terlontar pertanyaan
tentang asap dan kecemasan
oleh baris pepohonan, yang memucat,
yang tak bergerak


(Semarang, 31 Maret 2016)


Di Pasar Johar

“Akan kukirimkan pesananmu,
sekarang duduklah”

Siang pun jadi panjang
membentuk semua paras
yang menunjukkan ruang
dimana bau lumpur dan wangi parfum
saling bersahutan

Dan bayangan-bayangan bergerak
dari celah waktu di bait pertama, menuju hidup
yang mengguyur paving jalanan

Kau akan melihat, mencerna
semua yang tercatat dalam
percakapan yang berserakan
seperti semula, sebelum kau datang,
sebelum kita datang

Tak ada yang menawarkan akhir
ataupun mencoba mengusir

“Jangan Khawatir, akan kukirimkan pesananmu,
Sekarang duduklah”


(Semarang, 31 Maret 2016)


Berangkat Ke Sawah

Sebuah pagi yang panas. Seseorang berlengan panjang
memberikan isyarat ketidaktahuan yang enggan menyelinap
ke dalam pertanyaan. Ke dalam cemas yang membenturkan dirinya
pada bebatuan

Tak ada yang sengaja menghantui
dari cuaca yang tak terjamah
meski tak ada lagi yang mengharapkan

Tapi kita tak pernah berfikir, seperti waktu
yang hanya berjalan di tepian pematang
dengan bayangannya yang lebat

Ya, seperti dulu
kita hanya mencoba menyukai kehidupan, dan sebuah pagi
yang terlepas dari hujan


(3/4/2016)


Upacara Bendera

Ia membayangkan sebuah pertempuran
di bawah matahari, ketika para prajurit gerilya
muncul di tengah-tengah asap
dan wangi mesiu, ketika peluru-peluru dilontarkan
ke delapan penjuru

Ia mendengar suara detak sepatu dari semua arah,
saat warna langit mendekat, ketika tak ada yang dibicarakan
dari masa depan

Ia melihat semua api dinyalakan, di sudut itu
semua seperti bergerak, seperti menitipkan
sejarah sebagai jejak yang mendebarkan

Tapi ia ingin segera melupakan, menyelesaikan
apa yang disimpulkan di lapangan luas itu, sebelum
debu kembali memecah bisik dan hening yang saling bergantian

Namun, di barisan pertama, ia merasa
fantasi tak bisa dikalahkan, dan panas
bukan lagi menjadi sesuatu yang menakutkan


(3/4/2016)


Hari Ini Aku Menulis Puisi

Hari ini aku menulis puisi
saat panas tumbuh di lantai kamar, dengan sisa sebuah tempat,
sebuah titik, dimana aku adalah kehendak yang tak dibaca

Malam meronta, diluar cahaya, ketika ronda menutup memori
dengan engsel besi dan sedikit langkah kaki, seseorang pernah berkata
bahwa langit akan kembali ke depan pintu, saat semua kalimat selesai

Aku tahu dingin membaur di antara sisa makanan yang tumpah tadi petang,
sebelum mimpi muncul dalam percakapan yang lain, namun tak ada celah
di kolong meja yang memaksa kecemasan menyergapku keluar

hari ini aku telah menulis puisi


(14/4/2016)


Daun Pintu

Tak ada yang sengaja mendatangkan hujan
seperti suara bel yang muncul
di awal kemarau, dari deret pohon-pohon usang
pada sebuah masa silam

“Jangan berdiri disana..”

Aku bertanya, apakah ada tamu
dari luar sana ? adakah sambutan lain
pada ruang yang terpencil ini ?
saat pengalaman-pengalaman membujuk
kegembiraan yang busuk

“Jangan berdiri saja disana, keluarlah”

Tapi sudahlah, tak ada lagi perayaan
dalam nyanyian kanak-kanak yang berpercikan
atau mungkin ini mitos terakhir
tentang ingatan yang mengembalikan pagi
dan hujan di balik serambi

Dan disana, tubuhku
adalah petunjuk tak dikenal
di sebuah ruang, dimana dongeng pun
tak ada yang memperkenalkan

“Jangan berdiri saja disana, keluar dan bermainlah..”


(14/4/2016)

Sarapan

Maaf, aku tak sedang tak berlindung sekarang
dari lipatan pertama koran pagi
dimana mimpi takluk, oleh opini-opini
yang membangunkan

Apa yang dapat dijawab, apa yang dapat dibenamkan,
dari riuh jeritan yang pucat ? dari suara berita
yang bergerak lambat ? terkadang aku
mencoba menemukan lupa dari korden jendela
yang segan memperlihatkan luka

Di atas meja, bisakah kantuk mendaratkan
mimpi ke tempat asalnya ? karena tak ada yang terlihat
selain paras kerangka, pada tubuh
yang tak bersuara


(Semarang, 15/4/2016)


Sepercik Kota Lama

Aku akan merasa sunyi kali ini begitu terperinci
ada suara yang membangun hal lain
di luar benteng dan barisan gedung-gedung. Adakah yang menyampaikannya
pelan-pelan ?

Aku tak terbiasa. Dengan bangunan terbuka, udara melumur
sisa waktu pada bagian tembok luar, terlihat seperti
warna nasib yang bergoyang. Aku tak terbiasa
dengan dongeng-dongeng laut yang berusaha menenteramkan

Jalan dan malam begitu berlainan, dan ini terjadi
sebelum semua berlindung dari mimpi


(Semarang, 19/4/2016)


Potret Seorang Bocah SD

Pada lembar pigura itu,
di meja ruang tamu, masih terlihat
pucuk-pucuk cuaca menyeberang
pada gurat yang lain,
lewat bekas sebuah wajah

Namun tak seperti hantu yang berkelebat
di pintu malam, tak hanya suhu yang
begitu membekukan, tak ada rahasia
yang menggenang di kubangan, dan
kenangan pun tak pernah mencekam

Aku menemukan warna kulit yang sedikit asing
dan bayangan jendela yang setengah terbuka
dan di ujung bawah bingkai, di dekat dinding
tersemat angka “2003”


(19/4/2016)


Di Sudut Kota Ini

Di sudut kota ini, gelap bukanlah apa-apa
rumput bertiup, tak tentu arah
dan tak ada lagi perintah. Sama seperti
bulu wajahmu yang berdiri
menunggu seseorang, memberikan ekspresi yang sama
di jam yang sama, hening yang sama

Maka keluh kesah ini pun kembali ke telinga
setelah hujan, suara air, dan dengung badai
tak pernah lagi mengingatkan

Di sudut kota ini, ada sajak yang bersandar
pada sebuah bangku taman, ada alamat tersisa
dan ingatan yang tak dihilangkan, atau..

mungkin sebaiknya, gelap tak pernah hinggap di sini


(19/4/2016)


Sebuah Kunjungan Ziarah

Dimana aku..... ?

Tak sedikitpun kata yang bisa lenyap
sebelum fatamorgana, di atas seakan
gerak daun dan nafas membaur
perlahan-lahan, dalam cengkrama yang ditahan

Papan kayu, bentuk tanah,
persilahkan sepucuk kenangan menggugat
warna langit yang lebih pucat

Lalu dengarkan
ketika doa-doa panjang mereka
membuka sukma, seperti suara kelelawar
yang menangis

Papan kayu, bentuk tanah,
(atau seutas bayangan berjubah)
persilahkan wajahku mengingat
magma dan kantung mata yang habis
setelah membidik arah bertempat tinggal
dengan tanda tanya sepenggal

Tapi, dimana aku.. ?
Kemanakah Wajahku.. ?


(21/4/2016)


Sebelum Tamasya

Kau tahu, kita akan pergi jauh
lupakan pintu itu, kita tak akan mencantumkannya
pada narasi yang berbeda

Sejak kudengar keluhan itu, aku mengetahui
setiap hitungan mundur yang menyebalkan,
dan metafor yang tengah menikam

Lambat laun, ada yang membujukku
untuk tak bertanya, untuk apa kota-kota itu tergetar
saat aku kembali menyebutnya di tempat kedua

Sebelumnya, jangan kau perkenalkan lagi
gusar yang ingin kau sampaikan
di awal perbincangan, hanya nampak aspal berdiri di kejauhan

Sebelum kita berangkat, tak ada yang menanyakan
sejauh mana kegaduhan itu pergi, atau kemana lagi
kita akan berhenti


(Semarang, 23/4/2016)

Di Ujung Gang

Seseorang menatap layang-layang
yang berserakan di langit
dengan riuh-rendah bahasa tubuh

Dan seringkali
tak ada jarak yang menuntun
untuk menawarkan celah
ataupun pintu keluar

Lalu, apakah ini sebenarnya ?
hanya kelebat anak-anak yang bermain
di jalanan buntu
sebelum angin menggusur suntuk
ke arah beranda yang mabuk

Memang, sunyi yang tak begitu menyekat
akan selalu menyembunyikan riwayat


(23/4/2016)


Tidur Siang

Semuanya begitu singkat
saat kubuat bentuk waktu apa adanya
dari sisa lekuk nasib, tak ada pesan
yang mengejutkan

Di ornamen cuaca, terasa gerak awan mengepung
jendela, dan di arah belakang
deret alfabet yang mengambang
sesaat memberhentikan mimpi
yang usang


(Semarang, 23/4/2016)


Menanam Palawija

Tak semua suara menjadi nyaring
di kebun belakang
begitu juga degup
dan baris taksonomi, yang baru terbuka

Maka, pagar selesai dihimpun
saat sebuah janji menyahut
dalam do’a subuh
untuk menyalami benih dan tubuh

Tapi tak ada air melintas
di antara lubang
tapi siapa peduli dengan iklim
dengan arah yang menggelisahkan ?

Hari akan habis
tanpa sisa tandan
dan bagian yang tersiram

Adakah berkas rerumputan itu
terus membiarkan gusar mengapung
dalam trenyuh, saat langit menjadi gugusan
yang tak terduga

Di segmen awal penantian
tak semua suara menjadi nyaring
di kebun belakang


(30/4/2016)


May Day

Orang-orang keluar
dari gedung pertemuan
dari ruang rapat umum
dengan membopong sungkan

Hanya selapis, baris jalan raya
dirasuk, kehidupan tak masuk
tanpa bau dahak, ataupun
tengadah langkah berdiri
seperti serak

Sepertinya, hanya kita
yang menyisakan khawatir
pada benang topi, namun
tempat ini tetap akan membuka tirai

Siang hari, mimpi-mimpi kering dan terbentur
di kedap kota. Kita tak terlupa : jangan lagi membaca

(mereka melihat tuntutan rangkap
yang tak terbayar, di ujung barisan
yang buyar)

Siapa pula yang berbalik
setelah terik
saat seseorang lari membawakan minuman
ke arah teriakan

Ada sudut yang dimusnahkan
pada melodi dan kalimat berita
pesuruh dengan penutup kepala itu
kembali memperingatkan : Hari ini tetap milik kita

Kemudian semakin terdengar bunyi berseru
seperti bersatu
seperti bisik yang klise
di dasar sepatu

Kita akan mulai melelang
pertemuan, tanpa penggalan berharga
kata-kata yang mabuk, ataupun diskusi suntuk

Dan hari mulai menghitung
langkah tubuh yang ke-200
saat spanduk-spanduk merah
naik dari tanah
(karena tak akan ada yang dijual
dari mesin pemintal, cerobong pabrik,
dan proyek yang menyedot malam)

Kita ingat, ketika lupa menggusur
pesan kosong yang muntah
dan siluet makna yang dipekerjakan, oleh sumpah

Akan terbentuk luka yang meleleh
di kedalaman, dan sejak pagi tak terdengar
janji-janji dibacakan

Di setitik tanggal, tahun akan berputar
pada poros yang sama
dan mungkin masih ada teka-teki memanggil
dari kerumunan

Kota masih tergambar
dengan garis bengis, ketika siang nampak
seperti debu panjang, yang terkikis


(1/5/2016)


Korban

Masih ada letih disimpan
di pintu gang, dan halaman-halaman rumah
berhenti menukar dingin
dengan pucuk cahaya yang membangunkan

Seperti paras kaku
tubuh seorang perempuan
seperti senyap pagi
di awal bulan

Pada celah selokan itu
tak ada yang ingat
malam-malam berwajah rapi, masih begitu segan
menyembunyikan mayat


(1/5/2016)


Radio

Terdapat sinopsis yang mengelupas
dari kabar. Dimana aku ingin duduk,
dimana aku berusaha percaya, setiap yang terdengar
dan hilang di pergantian frekuensi, adalah gesekan peristiwa
yang bertukar ejaan, di meja ruangan

Selalu ada risalah yang menggemparkan
saat selokan itu memperlihatkan
topan yang terapung, disusul keluhan-keluhan
di bawah mendung

Seakan-akan kematian tersimpan
dalam lumut, bulan yang raib di tiap akhir malam
tak bisa mengundang suara kembali
ke antara jalinan kabel, parade musim panas mengisahkan kembali
imajinasi yang tandas


(7/5/2016)


Pasar Malam (1)

Beberapa tahun yang lalu aku pernah merasa disini
sebagai bagian kecil lalu lintas
yang tak terkejut oleh kerlip
warna-warni keramik, saat warung yang baru terbuka
memberikan nyala

Pada hari ini malam tak menciptakan lelucon
tapi sebenarnya, tak ada jarak tersisa
dari hangat dan parade, permainan adalah
narasi yang memperlihatkan patung-patung replika
kincir angin berputar dan riuh mengendap
di antara kilau lampu reklame

Kau tahu, dik, tempat ini tak mengusir remang
yang gagah menemani, hingga putaran terakhir
anak-anak dan orang tua membiarkan
raut waktu terpasang pada lekuk diorama
yang tak terjangkau, di sisa festival itu

Beberapa tahun yang lalu kita pernah merasa disini


(7/5/2016)


Menonton Televisi

Sudahlah, hal terakhir yang bisa dimengerti
dari kecamuk, adalah semacam warna
pada diafragma, dan benarkah harap dan wangi
masih bertanya-tanya akan cemas
di makan malam selanjutnya

Tak ada lagi perkenalan. Segmen yang menyingsing
membuka paras yang tak dinamai. Tapi marilah bersulang,
untuk nyanyian sepintas yang terlihat seperti rintih
di pedalaman

Dan hasrat yang tetap, muncul beriringan dengan
gambar-gambar berita, kemiskinan, pembunuhan, pemerkosaan,
drama, iklan, lelucon, atau jerit yang tak disampaikan

Di ruang keluarga, tinggal sisa genangan
pada riuh yang pergi
seperti rentang cerita yang sibuk
merubah pintu, sendiri-sendiri


(9/6/2016)


Obor

Aku tiba-tiba menyelipkan kenang
dan perasaan saat tanda yang terlewat
membuat perjalanan mengumpulkan paham
yang serupa

Sejarah adalah beku yang terbentuk
setelah percakapan, setelah kita lelah mengingat
jarak tahun-tahun yang mengepul
dalam ampas dan manifestasi

Kulihat sisa tubuhmu, sebagai bongkahan
yang menirukan nyala, ke arah belulang,
ada bagian masa silam yang pergi

Bukan untuk membersihkan diri


(Mrapen, Grobogan, Juni 2016)


Lembur

Aku menyusun kata sebelum tengah malam
di atas lantai, tak ada yang mirip dengan takdir
yang merapatkan pikiran, sebentang jingga, masih mengalir
dalam regang ketika tetesan air di sukmaku
masih terguncang, serupa festival kamar
yang menghimpun bunyi-bunyian

Catatan dan ingatan berserakan,
buku dan hymne berserakan
pada meja kerja, begitulah
tak ada yang bisa dihilangkan
dari temaram, tangan-tangan
yang bergadang sedemikian pelan, memahat
kikisan waktu yang terjulur
pada sisa pekerjaan

Biarkan pagi meneguk sisa kopi
yang tersisih di samping kegusaran


(13/6/2016)


Halte

Alir, alur, atau jalan air
ataukah hal lain
yang senantiasa membiarkanku
terperangkap, oleh aroma angka-angka
yang mati rasa

menuju cemas pada
ujung lidah yang renyah

Kau tak lagi memperkenalkan,
tempat duduk dan seikat pertemuan
dingin yang menjulur ke bawah
menukar semua keluh kesah

Dan di pundakmu, kudengar gelisah
dalam rajutan kain, juga riwayat
yang basah, masih mengitari dingin

Di bawah atap ini
cuaca semakin aneh
seperti klimaks novel
yang kacau

Dan terkadang seperti
rasa canggung yang menipu
dari celah bangku


(Semarang, 17 Juni 2016)


Reuni (1)

Semua yang pernah kutemui
telah mengingatkan, bahwa apapun
yang tersisa pada tempat ini
tak akan merubah rahasia
pada ujung cerita, yang sama-sama meruncing
di punggung kita

Setelah kita duduk lama
ada bait nyanyian yang tak berhenti
bahkan ketika waktu tergesa
menawarkan skenario yang belum dinamai

kawan, maukah kau menukar tempat duduk itu
dengan tawa yang terbungkus
dengan warna salju, di belakangku ?


(17 Juni 2016)


Dinding

Sampai kapankah
kita berdiri tanpa sebab dan muasal
seperti dinding yang percaya akan tanda
dan sayup langkah kaki, dingin, berribu kali
memaksa malam mengembalikan pagi

Hanya terlihat
batu-batu menyamar
di dalam gelap, juga takdir
yang sementara mengikat

Disini, kita mengeja sesuatu yang begitu sama
ketika hidup meletakkan sisa riwayat
di antara pilar-pilar kenihilan


(Semarang, 22 Juni 2016)


Tas Pinggang

Aku melihatmu dengan pupil
dan metafor yang sedikit terbuka :
sebuah tas pinggang, dan tak ada lagi
catatan terpapar di dalamnya

Tapi aku paham, aku ingat
dalam piknik dan sibuk yang biasa
huruf-huruf bergerak pelan
di buku catatan dan menerjemahkannya sendirian

Tak ada sejarah di wajahmu
dan sebuah resleting, beberapa jahitan
adalah tempat beberapa ingatan
disemayamkan

Tapi hal yang tak berarti lagi ini
pernah membawa pengalaman
kepada ilusi, yang menenteramkan
selagi kutemui


(23/6/2016)


Untuk Sebuah Judul

Akan ada sebuah sajak yang terlempar
dari tangan, yang melambai
ke akhir suara

Akan ada yang pelan-pelan mengintip resah
pada rautmu, atau angan
yang sengaja mendengar langkah
seperti yang biasa kau jumpai

Akan ada suatu hal yang terpencil
dari hingar bingar
di ujung kertas ini

dimana aku sama sekali belum mengenalnya


(24/6/2016)


Di Perempatan Jalan

Di perempatan jalan itu semua lampu tertunduk
pada secerah senja yang memanjangkan bayangan
seperti hujan lalu lintas yang runyam

Seakan banyak yang akan disisakan
oleh artefak dan kobar yang menyibak bangunan
di tiap perbincangan

Dan pada semua tiupan nafas, tak ada semerbak sama
yang datang, situasi tetap berjalan
dalam warna, gerak, kecepatan, dan gemuruh
 jalan raya

Di perempatan jalan itu semua menampung beban dan rasa bosan
seperti ketika senja belum sempurna diciptakan


(25 Juni 2016)


Lupa

Kini hanya sekedar ikatan yang mengantarmu pada senyap
sebelum malam menampakkan gerimis dari dalam cuaca

Doa-doa berujar dan menyendiri
meminta penutup malam yang asing, menyisipkan lupa

Selain semua itu, aku hanya pernah melihat angan yang lewat
dan menyusun lipatan-lipatan bekas di dalamnya


(27 Juni 2016)


Lapangan (1)

Ia membawaku pada sinopsis itu,
sebuah lanskap, yang mengubur wajahnya
pada hari-hari kemarau

Setiap tahun. Sebelum musim menyiapkan angin
ada suara yang redup setelah menemui rumputan
dengan laju yang memenuhi asap
pedesaan. Ada rumah-rumah yang lelah
saat senja memberangkatkan birahi ke urat nadinya

Mungkin hanya cerita anak
yang sekedar mengingatkan, pada semua ihwal itu

Atau mungkin hanya angan
yang sedikit dipaksakan


(28 Juni 2016)


Kolam

Musim panas berlayar di permukaan
mengusir jejak daun yang menyeka kering
pada sandal. Kita sama-sama membayangkan
sebentar saja tentang suara lumpur
dan sunyi yang melepaskannya ke tengah

Kita menambatkan ikan-ikan di tiap kunjungan
selagi tak ada khayal yang meluap
ataupun disamarkan

Akankan hal ini dapat kembali lagi ?
kapankah hal ini dapat kembali lagi ?
saat aku melihat awan terpantul di air dan
nama seseorang berjemur di bawah bayangan

Karena terkadang gersang dapat juga menenangkan


(1 Juli 2016)


Hari Untuk Seorang Petani

Telah ditandai sebagian besar riwayat
potongan-potongan rumput

Dan hidup akan menjauh
dari kristal yang meleleh
di kantung mata

Disini tak ada badai yang mengigau
dan menemui seseorang
dengan karung jerami di pinggangnya

Ada tahun-tahun terakhir
dimana suluk tak dinyanyikan
bersama parade musim

Abu silih berganti
mendekat, emprit dan camar
bertukar bahasa, seperti desah
suara seorang tua yang dalam

Tapi, ia tak menunggu malam
menuntaskan pekerjaan
pada siklus dan arus sungai
yang redam

Pada bongkahan tanah itu
semua berjalin, sesuai dugaan
ada tali-temali yang tergeletak
dan air yang mendekap

Ia tak ingin mengerti tentang hal lain
di bawahnya


(2 Juli 2016)


Petasan

Ketika kabar beranjak dari pintu-pintu bangunan yang tertutup
banyak sekali yang bisa ditemukan sebelum gelap selesai,
sebelum surya mengejar dari arah sungai

Kita temukan gema tadarus yang melengkung, dari gang kampung
saat mulai tercium asap yang kemudian musnah di lubang hidung
mari kita berlari, ya, lari saja. Mulailah suka dengan lembab nafasmu sendiri

Sebenarnya, bulan yang khidmat pun kemudian terbakar, di ujung sumbu
dan tangan algojo yang gugup. Tapi bukan malaikat dengan seikat bunga di pergelangannya
yang akan muncul dari jalan desa itu, hanya teriakan yang kerdil untuk perayaan
awal hari ini, seperti jasad transparan yang berayun kesana-kemari

Degup mengejutkan rahang. Langit seperti terpal yang ingin menyembunyikan dingin
pelan-pelan. Tapi, siapa tahu aku masih akan disini dengan anomali, yang memahat
mimpi tentang serbuk udara dan kertas koran.

Ledakan ke-20 menggumpal di depanku
setelah itu, kita bersama melupakan suhu

Ya, memang ini menyenangkan


(3 Juli 2016)


Sebelum Sore, Di Sebuah Hari Di Bulan Juli

Kucium angin pasat yang berubah
di batas sebuah dusun, ada doa
yang telungkup tadi malam, setelah menjemput hujan
yang tak dibayar

Kucium wangi sawah, dan beberapa titik matahari
yang berjalan, ke bongkahan tanah
hingga jejak daun yang tersimpan dalam tidur, membuatku menyadari
tak ada musim panas disini


(4 Juli 2016)


Ruko

Pagi kembali bekerja
seperti falsafah, yang tak berhenti
membuka pintu dan membersihkan meja
dari senyap yang sebenarnya tiba

Ada suasana lain di sekitar sini,
kota seperti jalinan paralel
dan cakrawala masih terbungkus
dalam mantel besi

Dan pelanggan pertama datang
saat kalimat tersusun di rak
dan tanda masuk, mengikuti lekuk
abstrak matahari dan bau kopi

Dan pelanggan kedua datang


(12 Juli 2016)


Langgam

Resapi kembali
bagian-bagian nada
yang luruh menuruni
punggung batu

Sudah sepantasnya
kuharapkan refleksi
juga kepak merpati
dari paras bukit, di sebuah dimensi

Lalu kubawa tanganku
pada tanda jeda
yang saling bertemu
pada instrumen biru


(Purwodadi-Kuwu, Juli 2016)


Pengecor Jalan

Mereka berujar bahwa di bawah panas, para pekerja itu
menyimpan pelupuk remang di balik maskernya

Debu menyusul. Ada gemuruh yang lekang
dalam adukan beton. Tapi ada yang menyimak
kilap tangan dan keringat dari kejauhan,
seperti rehat yang tersisa. Seperti manusia

Mari mengukur luas dan rasa getar
pada cekungan baja. Meskipun nantinya
hanya malam yang melepaskan diri
dari laju pasir dan koral. Coba dengar,
semua ini perihal mimpi dan isyarat harapan
yang tergantung di antara langit dan gumam

Lalu seseorang menawarkan senandung
dan bayangan asing pelintas
pada lelehan batas yang tumpas


(Juli 2016)


Senin Pagi

Sementara ini, kupegang pipa besi
dalam sukmaku, darah memekatkan mimpi
dan lumut memberat pada hijau nafsu

Jam 7 pagi. Dunia akan terdampar
oleh embun dan simfoni yang kasar


(Juli 2016)


Car Free Day

Simbol-simbol berujar,
mencari tempat pada hangat aspal

Lanskap dan permainan terserak
seperti kertas-kertas eksemplar

Kabut beranjak, trotoar lebam
setelah suara knalpot padam

Lalu siapa menyapa siapa ?
siapa menggerakkan siapa ?

Gedung tak terdengar
dari taman kota. Meskipun kita siaga

Dalam jam yang tak lama. Ada bentuk yang kekal
seperti terompet karnaval

Banyak yang menceritakan, tentang lebar jalan
yang tak dirumuskan

Dan di sisi lain, ada kota yang berlindung
di bawah menara

Setelah sarapan pagi, kita belum menghitung
apa yang benar-benar tergambar

dalam ihwal dan kepala kita


(17 Juli 2016)


Bersepeda

Di sini tak ada distrik yang terpejam
sebelum mimpi
menghirup legam pada udara

Di sini tak ada aspal yang menyesatkan
saat asap hinggap
di jalur lambat, roda hanyalah tambahan
yang jatuh dari arah berlawanan

Di sini tak ada yang menghitung jumlah pintu
setelah bangunan menyajikan cahaya
dan sisa pengunjung

Di sini tak ada yang mengingat semua itu


(23 Juli 2016)


Riwayat

Pada jam itu juga, malam berbuih
menyebarkan rintih
hanya sisa jeram
yang menggores batuan

Mungkin ada yang mengubur riak
di kedalaman
sementara wujud cemas, pada sungai
baru sebatas kemungkinan

Hanya bendungan, di selatan, yang jauh
yang menunggu
langit membawakan kemarau
yang fiksi

Sebelumnya, hanya daun teratai
yang membentuk gigil
pada warna hijau
pada aliran yang terlambat

Dan yang lewat selanjutnya
tak akan diindahkan, seperti pertanyaan-pertanyaan
tentang cuaca, dari bawah pusaran

Pada jam itu juga, tak ada jawaban
dari permukiman


(25 Juli 2016)


Akhir Liburan

Biar kusimpan sebagian gemetar dalam ritus
tanpa jalinan atau seremonial, juga gairah
yang berhimpit dalam gugusan camar
dalam perjalanan utara

Dan mungkin desau panjang, yang membiarkan
ruas rangka terlihat dari bentuk tubuh
yang hampir samar, seperti gemertak tulang
pada ranjang, sebelum mimpi malam

Sebuah tempat, atau titik, yang membangunkan
masih enggan menyingkirkan penat
dari kebermulaan


(30 Juli 2016)


Suasana

Kutakutkan, malam adalah benang-benang yang meringkik
di balik semak, mengupas gelap pada dinding luar,
menghitung luas kabut, dimana bunyi jangkrik yang runcing
menyajikan sisa getah dan pucat ruh

Kurasakan, limbah adalah nafas yang tak diceritakan
seperti selokan yang mengalir ke akhir kutipan
tapi ini bukan saat bicara, bukan saat menjemput luka
pada dini hari yang raib ke arah embun


(Semarang, 30 Juli 2016)


Sementara ini

Untuk sementara ini
sepertinya siang masih menjadi satuan
yang bertebar, di luar gatal

Begitu juga dengan syair,
saat jalan setapak, dikepung dedaunan
masih menyumbang melankoli
ke wajah terakhir, di sudut ini

Ada awan terbit dari bukit
dengan kering yang fasih mengikuti
teka-teki, dan terus menghafal
letak keluh-kesah yang berdiri
untuk sementara ini


(30 Juli 2016)