BAB IV
DI KILOMETER NOL
Penjual Sayur
DI KILOMETER NOL
Penjual Sayur
Antara jembatan dan rumah pertama
di bawah langit, mendung
tak terbawa ke kampung
Dengung jadi liar
terjerembab
ke atap
Lalu seseorang terpukau
mendengar langkah pagi
dari kakinya sendiri
yang berangkat, dari serambi
Seseorang yang lain
membawa wangi kopi
dan nurani, bayang yang bergerak
pelan
di selokan
Seperti lembing yang terlempar ke
lapangan,
seperti jalan batu yang sibuk
Akan ada bunyi memanggil dari
teras
seperti terbatuk
Namun juga kulihat sarapan
yang belum usai
Mungkin ada hal lain
yang ingin mempertemukan
dengan hari besok, dengan paras
nurani
yang lain lagi
Hanya tikar panjang, plastik, karung
atau semua kecemasan, atau
transaksi,
atau gelap yang terhapus dari
subuh
yang terbawa ke sini
Lalu dapatkah ?
lalu bahagiakah raut yang tak
membaca koran pagi itu
memberikan ekspresi perempuan,
seperti kabut yang tumpah
dan seolah ramah ?
Kutinggalkan tanda tanya itu
tanpa ada teguran, atau pertemuan
“mungkin
tak ada yang menyelesaikan senyum di kamusmu, bu”
(3/8/2016)
Karena
Aku Takut Bermimpi
Tak kudengar ruang yang jadi es,
dingin seperti berjubah, menembus
darah
bersama sepi yang menikam ke
tanah
Hanya kuingat tubuh dan cahaya
saling terjaga, menghalau petang
pada daun
di hari yang tipis, dalam rupa
dan hipotermia
Saat kemunculanmu yang tak
tersentuh,
yang sementara, seperti getar
lembayung
pada gelap dan liang, masih tak
terbayang
narasimu tentang bulan dan liar
yang mendekat
di suatu malam yang tak tercatat
“Kukira
ini mimpi”,
terlihat kelelawar melintang
pada pelupuk dan mata yang
setengah terpejam
“Karena
aku takut bermimpi”,
gumamku
pada penat dan lampu
(6/8/2016)
Kepada
Sebuah Malam Terang di Alun-Alun Purwodadi, Grobogan
Deru yang pelan menjemputmu di
jalan, melihat warna hitam
pada sukma, dan aku tak akan
bertanya, sebelum kau tunjukkan
perangai yang lenyap dari rautmu
atau wangi yang kekal pada
kerahmu
Aku seperti melihat warna yang
berkeliaran di langit
pada lukisan starry night, meskipun hanya marka dan neon
yang hendak menjauhkan kita dari
lupa
Namun Van Gogh juga akan
merasakan gigil yang sama, dan kenihilan yang sama
pada cahaya. Dan orang-orang akan
menyimpan gurun dan mantera
pada saku celana
“Tidak,
bukan kita”
Taman-taman memberikan kejut
sebelum larut, saat aku enggan
mengalihkan mata
dari remah gedung dan kaca
“Sudahkah
kau tenggelam dalam perjamuan, di antara kios
dan
lampu-lampu motor, dan prolog pada kesimpulan
yang
sedang kau sisipkan ?”
Angin memusat ke utara, terlihat
Ki Ageng Selo, pertapa tua itu,
meletakkan ingatan pada do’a dan
petilasan, di sebuah abad
Sementara itu, di rongga yang
lain, Jaka Linglung sibuk menyusur puing
dengan membawa kobar dan pesan, ke
selatan, pada tahun yang tak dikenal
(Purwodadi, 7 Agustus 2016)
Imaji
Aku melihatmu : lambang yang
kemudian raib
di bimasakti
pada dini hari ke-7
minggu ini
Aku melihatmu : sebagai detak
yang merumuskan kehendak
dan akankah aku berangkat
dari kesementaraan ini ?
Bukan ajal, yang hakiki
yang melecutkan kilau
ke arahmu. Saat aku mulai tak
setuju
dengan waktu
Ada lorong yang tersentak
pada batas. Seperti saat aku
membawamu
pada apapun yang terhimpun
dalam uap dan jarak
(10/8/2016)
Misalkan
Misalkan kau adalah peribahasa
yang tumbuh ke bumi
dapatkah kau mengiyakan
saat kutandai malam dengan renung
dan diksi ?
Misalkan kau adalah bisik
yang enggan menopang jam
di ruang yang tak tembus pandang
dapatkah kutemukan nalar yang
memekik
pada panca indera, seperti
sediakala ?
Misalkan kau adalah elegi
yang mengutarakan adegan
dengan kalimat yang pincang, juga
raung
yang tak masuk akal
dapatkah kusimak lagi sisa unggun
yang terbakar, antara nadi dan
kelenjar ?
(10/8/2016)
Surat
Kecil Untukmu
Bolehkah aku menyebut namamu yang
dingin ini
di kamar mandi ?
jika boleh, kelak kau akan
menemukannya lagi
pada saluran air yang menuju
rumahmu, malam nanti
(Agustus 2016)
Di
Kilometer Nol
Di
kilometer nol aku tak bisa menemukan definisi terbaik
pada
rongga yang majemuk, di awal kalimat percakapan kita.
karena
kupikir kau masuk ke ruang yang tak dipersiapkan,
dan
yang tak membutuhkan persetujuan..
Kemudian, awan malang-melintang
seperti kapas yang tertinggal di
rambutmu,
seperti kota yang ingin kau
hilangkan
di sisa mimpimu
Angin yang menggerus jazirah
akan membekas pada daun murbei
di taman itu
“semua
ini tak mutlak diperlukan”,
katamu, dan aku bertanya :
“meskipun
kita tak akan kembali lagi ?”
Kau tak menyahut, meski pada
bayang jembatan
dan arus pada kanal itu, kau
telah mengembalikan namamu
Kita tak sedang menunggu Godot
kita tak sedang memerankan dialog
Vladimir dan Estragon
kita tak kenal Samuel Beckett
lantas apakah yang menyandarkan
cemas
pada bahumu selagi tak ada bagian
yang diperbincangkan
di sela hiruk pikuk itu ?
Tak ada matahari
dalam bentuk lain
hanya terik yang menjadi penanda
terakhir
di tubuh ini
Kecuali relasi di garis ini
tak ada keganjilan lain
di luar sana
Nyatanya orang-orang pasar masih
berkerumun
dan menyebut gurau serta abjad
yang mudah,
mungkin di hari selanjutnya
akan ada kamus yang tersusun dari
hiruk pikuk dan bangunan
Dan di kota ini
ranting dapat mengubah
hingar-bingar
menjadi sepasang musafir
yang berjalan, ke arah malam
“kau
punya ingatan yang bagus..”
“tidak,
untuk saat ini”
Seperti bau kampas
yang hangus
Tak ada ajal
yang tersimpan
dalam tempurung kepala
Aku tahu itu
Meski semalam masih kau jaga
jari-jarimu
untuk menyimpan semuanya :
nyanyian latin, hikayat, dan
beberapa sajak yang pengap
Di
kilometer nol kita masih mengunci wajah masing-masing
pada
jalan yang tak ditutup, menuju gapura
yang
kita bayangkan ada
2 menit sebelum fajar
kau pernah bercerita tentang
sinar-sinar yang berhembus
dan terlipat, ke sebuah tempat
Aku setengah percaya
Namun melankoli yang pernah pergi
dari lanskap pagi
mungkin tak akan pernah kembali
lagi
Pernah juga kulibatkan anasir
pada teratai, untuk membawamu
pada
epos alam, dan bunyi hutan
Tapi sepertinya itu tak masuk ke
perbincangan kita
termasuk pada argumen pertama
Dan begitulah, aku mendengar
kabar yang tersendat
serta guruh yang mencemaskan,
selama tak ada ikhtisar
tentang nama tempat, atau
kata-kata sepakat
Aku mulai berfikir bahwa tak ada
tujuan
yang ingin menyusup
ke horizon, dan pada fragmen tugu
dan situasi
tak ada yang bisa dilihat lagi
“tak
adakah ?”
Mungkin benar. Kita tak memiliki
prolog
yang leluasa
mengaitkan bayang-bayang kita
pada udara
“tidak,
jangan berharap lagi”
Adakah perjalanan ini menyaksikan
yang sebenarnya
dari jarak dan langit
yang mendesak
Namun, dahan dan pepohonan
seperti tak pernah tua
untuk perlu bertanya : dimana
sebenarnya kita, dan untuk apa ?
Di
kilometer nol kita bayangkan saja ujud senja
yang
terus menampik waktu dan jadwal,
seperti
makna yang skeptis dari pertemuan kecil ini
Tak ada yang menahanmu. Kau
mungkin terkucil
dari kesementaraan yang membentuk
basa-basi
di batas ini. Tapi sejauh ini kau
masih memberikan asumsi
untuk membiarkan huruf-huruf tua
ini pergi
Di bangku ini seolah belum ada
yang menempuh bahasamu
Detik berlumut, menunggu,
seseorang menitipkan fantasi
kepada malam, yang belum singgah
ke penunjuk arah
Mungkin para pejalan itu yang
akan melakukannya
atau pekerja yang keluar di pintu
terminal itu
atau seseorang yang menampik
bising di kedai kopi itu
atau justru kita sendiri ?
Di bangku ini masih belum ada
yang menempuh bahasamu
Pada titik ini, di kota ini
tak ada koordinat
yang terlewat
dan tak ada kesimpulan
yang diterjemahkan
(Semarang, Agustus 2016)
Rak
Sepatu
Di rak sepatu ini kudapati senja
yang dihimpun
dari kicau burung-burung camar
Goresan pintu, warna usang di
keramik,
dan lubang pada dinding,
sebenarnya hanya
mengingatkan pada desau waktu
selama mungkin
Mungkin gadis kecil berpiyama itu
yang menginginkannya
yang juga merangkum tarian pada
selendang
di ruang tengah
Lagipula, sebenarnya telah kutemukan
juga
hiasan cermin dan mainan kembar
dalam kardus di depan kamar
meski bekas kaki pada caravan
masih tercium sejak pagi
Pada karpet itu tak ada lagi
jejak lumpur dan umur. Di
atasnya,
dingin merapat pada pola-pola
rumbai
yang seolah
menegur
Siapapun yang
disini, yang meminta, atau diminta,
jauhkan ingatan
tentang hujan yang lenyap
sebelum becek dan
jalanan di sekolah lama
yang tak lagi
menyeberang ke arah lain
Dan juga lagu
piknik
pada sisa lumut
yang tercecer
di sebuah wadah
Di rak sepatu
(Agustus 2016)
Ngrombo
Sebab hanya ini yang tersisa
pada peron dan selusur : sebuah pagi
yang megah, yang memahat dirinya
di ruang tunggu. Sepasang sinyal
berhenti
ketika lokomotif pertama
membuka hari
Jadwal selanjutnya hanya kabut
yang berangkat dari atas rel,
baut pada bantalan besi itu masih
disana
dengan warna tua. Mungkin ada
bunyi lain
dari perpisahan yang menyelinap
pada jas penumpang, andaikan ada
garis lurus ke palang-pintu itu
Detik seperti berjalan mundur
ke loket antrian
(28/8/2016)
Rasanya
Baru Kemarin
Rasanya baru kemarin kulihat
tangkai waktu yang gugur
ketika luka terbaca dan bulan
mulai memburu,
kubiarkan huruf-huruf pada
selaput itu membekas
pada alinea yang hidup
Biarkan lupa itu menyendiri
karena barangkali sudah tak ada
yang bergeming
soal lugut pada bambu, ataupun
dongeng yang buntu
Juga bagian yang pupus
dari sekam. Seperti dulu, setiap
malam
aku membaca tulisan Hemingway
serta lukisan Picasso pada suatu
sketsa
untuk menawarkan bentuk yang
asing
pada trotoar dan lampu kedai
Untuk terakhir kali, kurindukan
safari, yang terhimpun
dalam teks dan bunyi mimpi
Rasanya baru kemarin kudengar
kalimat menampik lembab
tanpa sebab
seperti yang lenyap
pada pelupuk yang kedap
(Semarang, 30/8/2016)
Repetisi
Mimpi
Di ranjang ini acapkali maut
bersitegang
dengan khayal. Akan kubangunkan
tanganku
dari kabut meski semalam telah
terkirim prolog itu
dalam nyiur pasir dan dahan-dahan
pantai :
gelap, atau debur yang membawakan
buih kembali
pada estuari
Dan kaki-tak-bersepatu ini masih
fasih
memilih arah, ke semenanjung,
dengan
bekas karang yang tak terlihat
di telapak
Aku tak mencatat ketika bulan
berkemas
dan dingin mengecil di tengah
punggung
Di bawah selimut ini
laut seperti sembunyi
Walaupun noktah itu masih tersisa
pada bantal, akan ada bentuk
tubuh yang gaib
dan desir yang ramai di titik
beku : entah apapun itu
(Semarang, 6/9/2016)
Sebenarnya
Sebenarnya dingin terhimpun ke
tepi
ketika aku tak ingin di sini
seperti serenade yang terseret ke
malam
seperti warna pada huruf makam
Sebenarnya hujan tengah
terguncang
dalam epos yang linear
dan hanya ada cermin menerawang
nafas yang tak ingin bertebar
(Semarang, 7/9/2016)
Utopian Mind
: Di
Depan Stasiun Tawang
Kulihat kanal, terbujur
tanpa suhu yang terukur
pada gelombang tak berwarna
angin beberapa kali melintasinya
Dan pada tiang jembatan disana,
ada alasan yang hilang dari
cerita
semenjak terbentuk warna tua pada
gurat
yang menyebabkan pekat
Tak ada perlindungan
oleh malam, sebelum gerimis
memainkan orkestra, yang apatis
Riak yang bernyanyi di polder
persis seperti bentuk pahatan
dinding katedral dan museum
Tak ada trauma
pada kota
dengan ingatan
yang absolut
Juga abad-abad yang berjalan
kekal
tak lagi menawarkan replika ruang
dan fantasi yang sempit
Pada sisa bangunan de spaarbank
ada seseorang yang memanggil laut
dari menara pengawas
Dimana ditemukan besi-besi lawas
pada gerigi
juga bekas lori
atau navigasi ?
Di dalam lorong itu,
bahkan sejak kedatangan Cheng Ho
yang pertama
tak pernah ada kenyataan yang
meyakinkan
Dan suatu kali aku pernah
bermimpi
di tahun 2050
kerak pada batubata itu belum
juga kembali
(Semarang, 8/9/2016)
Aku
Keluar
Aku keluar
menuju desas-desus jalan
ketika frasa pada matahari
menyimak kembali
janji musim semi
Hari akan gatal
di lenganmu, seperti saat taufan
berhenti
pada pucuk-pucuk pinus. Sementara
ilalang
terus melecutkan watak yang
tandus
Kembali kau temukan
harum pada tanjung, entah
darimana
dapat kuterka bentuk semu
dalam ingin dan sayup kata-katamu
:
angin belum melepaskan jatidirimu
Hampir semua telah tertulis
di batu padas, yang menanjak
pada ujud dan gerutu
Aku keluar
dari ketetapan ini :
kerikil akan bebas dari basin
alam
yang meninggalkan sejuk pada
pualam
(9/9/2016)
Fatamorgana
Kubiarkan jejakmu menghapus
lembab
di lingkup ini. Akan kubayangkan
panjang awan
yang lenyap dari gairah dan
kendali
Dan sampailah engkau di taraf
ini, ketika kau bertanya
mengapa rembulan seperti tersiram
gerimis
dalam bentuk yang tak simetris ?
Hujan meninggalkan majas,
menjadi semacam kota dimana
risalah tak berhenti
dan orang-orang saling bersimfoni
Malam terlihat tak masuk akal
saat langit memasang tubuhnya
yang keruh
pada senggang dan rasi bintang
subuh
Kubiarkan jejakmu merangkum gerak
dahan
serta semadi. Setidaknya angin
telah menghantar pasir
yang berjalan dalam muasal, yang
dingin,
sedingin mimpi
(11/9/2016)
23:59
Sudahi
dinginmu disini..,
dekatkan telapak kakimu
pada bentuk lantai yang tergambar
persis
oleh gerimis yang baru saja
berpamitan
Di ruang ini. Keadaan menunggu.
Jam menjadi mungkin
dan asumsi-asumsi tak akan
sebegitu penting
Jika batas selalu rubuh dan
bayangan ganjil terus hadir
dalam koreo panjang, akankan
kuhitung warna besi pada rembulan
dimana kau pernah meminta
sebagian arti
Datanglah kesini. Debu telah
merawat sudut setelah kau terbangun
dan tak mendapati lagi tulisan
tanganmu pada tembok malam
Sudahi
dinginmu disini..
(19-20/9/2016)
Sebelum
Tengah Hari
Sebelum tengah hari, udara
memintas kota
ketika bayangan gugur di pertemuan
dan kita tak pernah ada
dalam zig-zag jalan
Kita saksikan ketika matahari
menorehkan rumitnya
padacelah dan bunyi
karena di plafon-rumah itu
hanya sinar yang tak sampai
Kita biarkan ketika manuskrip
tersimpan
di sebuah liang
dan ketika orang-orang
mempertahankan dialog
di ruang-ruang kaca
Seperti naskah yang luput di
sebuah roman
apakah kau paham hal-hal imajiner
ini ?
dan saat panas bergegas ke sebuah
jawaban
apakah kita akan terus menerus
disini ?
Sebelum tengah hari
kita kemudian ada
dalam nisbi
yang tak lama
(Semarang, 20-22/9/2016)
Rumah
Dari ruang tengah itu
ada gerak lain yang mengarapkan
dongeng menyasar ke arah pintu
tanpa tanda waktu
Seakan masih ada yang tak terbawa
oleh remang. Kucari bentuk
kumbang
juga harum ventilasi dapur
yang larut pada pantulan jendela
Kucari masa lalu
dengan kecemasan singkat
Maka lewat gorden ini
semua kembali ke warna tiang
dan asbes yang gemetar
Lemari dapur, noktah dinding,
juga remah roti di meja makan
membentuk situasi yang pucat pasi
dimana bunyi jam tak lagi
mengelabuhi
Bukan prasasti
yang terpasung di antara balok
dan kaca
namun selalu ada keberangkatan
(atau kepergian)
yang membungkus trauma
Mimpi tak terlihat sungkan
dari halaman depan
dan kamar yang menggigil
saat hari berubah dalam interval yang
ganjil
Seperti balairung
demikian juga kita, yang
terkurung
dalam hegemoni yang tipis
tanpa rupa, ataupun gerimis
Kudengar kita mengeluh
pada mukjizat dan tubuh
setelah itu kita bawa ruh ini
masuk kembali
Kita telah banyak mengenal rangka
dari bentuk cahaya dan geometri
yang mungkin tak biasa
(September 2016)
Siranda
Hanya
sore ini yang, kurasa, agak berdebu
Dalam risau, akan tertera
catatan ulang tentang kehilangan,
atau kenyataan, pada sebuah
awang-awang
yang bersikeras
yang dalam beberapa dekade belum
lepas
Semoga tak ada lekang
pada sejarah dan persoalan
yang terus mengepung bangsal
dengan bekas tandon yang tak lagi
mengawal
Dan hiruplah senyawa di sekitar
kita : seperti ada mesiu
dan asap yang muncul dari truk
militer
di area pertama ketika mortir
meledak
sebelum udara dan peluru saling
menggertak
Kita seperti menunduk
pada rasa cemas yang baru
bahkan saat semua jasad dan
hitungan itu
tak lagi ada dalam ingatan buntu
Semua ditulis
dalam bentuk luka yang usang
lalu hanya arti yang tak mampir
pada kubah berlapis yang
menyembunyikan angka :
sebuah tulisan tahun 1912
Kisah yang raib dari percakapan
akan turut menaklukan tahun
walau jalanan masih menyiratkan
warna yang uzur
seperti senja yang gugur
pada 1945 di bulan oktober ?
Hanya
sore ini yang, kurasa, agak berdebu
Kita memang akan memberikan rona
ini
pada hal-hal tabu yang menentang,
juga yang enggan terbiasa pada
bising
Seperti paragraf yang tak selesai
terbaca
dalam buku-buku lama
akan tersusun partikel yang membentuk
berlembar arti
yang akan lama kita pahami
Saat kaki kita seolah tak
menempuh titik manapun
yang tersedia
Ketahuilah jika di kota pun
mungkin
tak ada goresan seperti bekas
padam
atau kenang-kenangan
pada pilar bangunan
Dimana seolah tak ada yang
menyambut
ketika jasad yang tertembak mati,
perang sipil,
dan sisa hangus
hanya menawarkan maksud yang tak
tertebus
Tak ada tawar-menawar
antara janji dan sepi
yang membiarkan pesan lelap
dalam panji gelap
Atau jika perlu, biarkan corak
berubah
pada pagar itu, dan dengarkan
juga
suara angin yang bergetar
pada kawat berduri itu
Seperti ada hasrat lain. kulihat
bak penampungan itu
menyindir dengan mengirimkan umur
dan semacam angka lainnya
kepada saluran pipa
Mungkin aku terkejut
mungkin juga tidak
Adakah isyarat lain
yang dibawakan selongsong dan
senapan
untuk masa lalu yang tak yakin ?
Di gudang belakang ini
dengan hari kunjungan yang pendek
kita bukan lagi saksi terakhir
meski kita selalu ingin berfikir
(Semarang, September 2016)
Di Meja
Sempit Ini
Di meja sempit ini kita tak
pernah siap
melihat pagi berbenturan dengan
sekat
yang memisahkan cahaya dan
bayang-bayang
Coba saja, tabir adalah sesuatu
yang tetap
di saat kau tandai banyak hal
pada cuaca
dengan rumus yang hidup dan juga
kata-kata
Saat dingin merapat, senantiasa
kau resapi
tiupan angin yang intim di
rambutmu
Lalu seberapa mudah
mengutip namamu di sebuah
kumparan ?
meski awan tengah lelah
dan menyingkapkan putihnya di
ketinggian
Aku masih tak mengenal rautmu
saat dialog yang kau pesan itu
semakin riuh meletakkan bunyinya
di antara ranting dan telinga
kita
(Semarang, 25/9/2016)
Pot
Kembang
Hanya pada halaman itu
ada irisan yang tak kau sampaikan
perihal nyanyian acuh pada sebuah
pagi
yang difermentasi
Seperti nada lebat di sebuah
dahan
dan warna yang mengendap pada
aluvial
kusandarkan tanganku
ketika serbuk berguguran di
kelopak itu
Tanpa rasa ingin tahu
(7/10/2016)
Nisan
Tanpa Nama
Ada saatnya
seseorang menampik lupa
dalam tanda tanya yang terbenam
pada parsial malam
Lalu kau rasakan plasma yang
membeku
di sebuah negeri dingin, yang
mengamati
rintihan di belantara itu
Semua kalimat mesti menemu titik
yang pergi
tak terkendali
Walau kita sadar
kesedihan (dan keanehan) di
belakang kita
adalah hal biasa
“Pesan
bisu, adakah yang ingin kau
gulirkan
pada pesan bisu lainnya” ?
Aku bertanya
tanpa suara
Pada nisan tanpa nama itu
ada hari yang berkedip
di ambang maghrib
sebagai sebuah pelarian yang
wajib
Ketika seolah malaikat tak
melihat
maut yang berhembus ke pintu
makam
entah duka
atau warna kamboja
Rongga puspa telah tersiram
sejak tadi, sejak angin memasang
wajah kusam
Kita terus mendekam dalam aksen
yang hitam
dan tahayul pada jejak lebam
Ada saatnya
kita kembali lupa
(7/10/2016)
Kemukus
Bola api telah terkirim padamu
oleh mimpi dan wajah-wajah peri
dan langit lapar, mengusik beku
yang bersandar di sebuah rasi
Tertulis maklumat pada
daun-daunan :
akan dirindukan sebuah perang dan
pesan
selusin bintang terlontar sepi
ke belakang galaksi
Bising angin yang ritmis
berlari di rumput amis
Gejolak akan tiba
saat bulan terapung
menirukan gerak waktu
yang timbul tenggelam
Lihatlah kabut pada sebuah sumur
lihat, kunang-kunang bercampur
baur
Seberkas bayangan yang tenang
menempelkan bisu pada malam
Dan tak akan kutemui lagi
cahaya yang menetap di antara
lambai
(8/10/2016)
Di Pos Polisi
Hari ini, jam 1 pagi, harmoni
sejak tadi
merangkum beberapa jilid sunyi
di ruang 4 meter persegi
Dingin mungkin tak akan habis
tidak, tanpa gerimis
sinar merkuri seperti lumpuh
terasa kecil. Terasa jauh
Ada banyak angka yang tak
dimengerti :
“Akan
ada berapa orang hari ini” ?
Tak ada yang tahu apa-apa
malam masih segan pada tanda
tanya
ingatan telah mabuk dan bahkan di
pintu masuk
kabut telah menorehkan suntuk
Udara dan cuaca menoleh
dan mengusap-usap gelas teh
sabuk dan topi yang tersemat di
pintu besi
membuka sekelebat infanteri
Ada pertanyaan cemas yang
menyendiri :
“Akan
ada berapa orang hari ini” ?
(8/10/2016)
Seperti
Bermain Puzzle
Hanya doa-doa purba
yang menyala pada jam dinding
dan kita mesti menebak, mencari
jejak yang bertengger
pada sebuah masehi
Apakah itu basa basi, atau
semacam frasa ?
sebelum kita lihat malam memutih
di tengah jendela
Seperti bermain puzzle
musim mulai merancang dirinya
dari potongan-potongan senja
Dan kita masih menebak, mencari
bekas riwayat yang pucat pasi
(8/10/2016)
Tanggul
Itu
Sungai telah membagi batas
yang tak rupawan
kepada hilir
Hujan membawakan kembali
kalimat-kalimat akrobat,
suara datang melompat-lompat
Dan siapa yang menyempatkan diri
hadir mengusik sawah
saat cemas terpapar pada gerah
seperti degup musim
Sebuah rumah terpencil
dan memanggil
Banyak warna yang mengapung
saat arus mulai susut
ke arah kampung
Mungkin hanya tanggul itu
yang menyiapkan keruh
pada bah yang menyelinap
di sebuah minggu
Sunyi akan selesai
ketika malam telah beralih
dari lembah
(Semarang - Gubug, Oktober 2016)
Semarang
- Ambarawa
Aku telah melipat kaku pada
kerongkongan
dan melihat tubuh kayu yang
bergumul
hujan akan 1-2 jam tersimpan
tanpa jarak dan sebuah simpul
Musim semi adalah serumpun pagi
yang terselip di pegunungan
seperti kita, yang mencari-cari
tanda marka pada sebuah tikungan
Bakal kita saksikan juga
pasar yang menimbun malam
kita tetap berangkat di jalur
pertama
dalam fragmen cuaca yang kusam
(19/10/2016)
Seremoni
Seorang
pria kurus berumur 30-35 tahunan keluar dari sebuah warung,
tangan
kanannya memegang gitar kecil dan tangan kirinya menggenggam kaleng,
wajahnya
seperti menangkap asap yang terbang rendah
Jalan raya belum menitipkan
gundah
pada lampu yang baru berdiri
di sini, persis 2 meter sebelum
sungai
Lalu setengah jam yang lalu
kudengar riak yang mendirikan
huruf
ketika udara tak tertembus waktu
bulan menjadi miniatur yang beku
Malam berayun dari sebuah
jembatan
saat gurat baru saja terhimpun
dan pada serambi-serambi yang
terjulur itu
tak akan ada pesan apapun
Seorang
wanita paruh baya terus mengikuti laki-laki itu,
ia
menggendong bayi dengan bulu mata yang kedap,
ia
tetap berjalan kemanapun laki-laki itu pergi
Dan jangan lagi memperdebat sunyi
saat wasiat seolah menghampiri : “ulangi lirik itu... ulangi lagi...”
(21/10/2016)
Di Ruang
Tunggu
Aku tak akan begitu yakin dengan
tempat ini :
wajah-wajah yang bergumul dengan
sebuah ruh
pada sebuah arloji, yang hampir
mati
Mungkin aku ingat beberapa
rangkuman
yang tak berharga. Biarkan lantai
yang anyir itu
menjabarkan jejak yang tak lagi
biru
(dan banyak yang tak bersepatu)
Masih ada panggilan-panggilan
lain
yang menahan waktu ke balkon itu
:
udara yang waswas,
suara angin yang ingkar kepada
kipas,
suara batuk yang kesana-kemari,
hingga semua sebab tentang
lengang
di sekelebat memori
Dan seorang ibu yang meringis di
kursi roda itu berkata :
“Oktober
akan selesai.. oktober akan selesai..”
(Semarang, 28/10/2016)
Klimaks
“Demi
sebuah tujuan”,
ujarku,
“kubiarkan
luka terpahat pada sebuah dekrit”
maka sebuah pohon pun berbisik
dalam sakral
untuk kenyataan yang tak masuk
akal
Meskipun pada awalnya
tak ada lagi remang yang
menggelepar
di depan sebuah malam
Seperti Chaplin yang bermain di
rumput
dengan sebuah kostum tipis dan
sihir yang salah ?
tapi biarkan saja akar-akar
lunglai
dan menyembunyikan detail dari
sukacita
yang pernah ingin kau lenyapkan
Dan pada terakhir kalinya
kulihat sepasang muslihat di
rautmu :
bentukan garis yang kosmis
di antara ranting-ranting itu
(Semarang, 28/10/2016)
Loper
Setiap hari selalu ia bawakan
setengah anggur pada cangkir
dan gerak-gerik kenari, kota yang
berterus terang pada kabut
yang menerpa gedung. Ia lihat
pagi yang tak sewarna
dengan bait-bait ganjil manusia.
Dan bagaimana desas-desus itu
terlontar ?
ia tak terlalu tahu bahwa waktu
akan bekerja pada musim
dan susunan gang yang kembali
bermukim
Sementara ingatan belum
menyematkan jenuh
pada lalu-lintas yang macet
seperti jejak applaus panjang
pada sebuah orkes
dan sorot hujan di sebuah kabar
ketika matahari terlihat seperti
rezim yang samar
Pada akhirnya, ia hanya melihat seorang
pegawai kantor yang terkesima
dengan sebuah majas di halaman
depan
(Semarang, 29/10/2016)
Pigura
Dari celah seng terlihat bulan
terbenam
seperti warna potret yang pudar
di sebuah bingkai. Dengung jam
telah membelah mimpi dalam lumpur
pagi
Rambut yang menanamkan celoteh
di timbunan waktu juga tersungkur
ke arahmu : Sebuah momen yang
membujur
pada rinai ilusi dan lipatan
wajahmu
(29/10/2016)
Rebah
Hari
ini, aku tak ingin pergi
Bulan akan menginap di
langit-langit kamar
yang seperti bekas cakar
dan konon, malam telah melindungi
detik yang pupus, dan aus
jantung yang mengecap arus
Berjam-jam ufuk menyerbu
kebetulan yang tersimpan
dalam keabsahan yang kekal
“dan
masuklah”, kataku
Masuklah, ke pelupuk, ihwal
yang tak terlalu buruk
Aku akan berbaring sebentar lagi
dan akan menggarisbawahi hal ini
:
“Masuklah
lebih dalam lagi, sebuah hari
yang
menyisipkan dengkur di sebuah mimpi”
(Semarang, 6/11/2016)
Pentas
Manganjur
lakuning angin, guntur agraning arga ,
gora gurnita kagiri-giri, horeg bumi prakempita.....
gora gurnita kagiri-giri, horeg bumi prakempita.....
Dan malam berbenah di permukaan
panggung
saat suluk diucapkan
dengan ikrar petuah yang terkabul
pada siluet kain
Gerabah-gerabah persegi
mengepung awam,
ruas kasturi di luar,
dan inisial pada hiasan tirai
Perkara demi perkara
menuju titimangsa
dengan utusan praja
Selalu ada isyarat yang gaib
setelah adegan raib
dalam sayembara,
pukulan-pukulan ganjil
di sesi pembuka
Dan jika ajal pun rubuh
pada tubuh dan peluh
mungkin tak ada lakon yang
berfikir
untuk menghapus darah dari pisau
sejarah
Selebihnya hanya potongan paras
batin yang menakar layar
babak pertama belum akan tuntas
tanpa klimaks yang sebentar
Gelagat warna-warni
di bawah dongeng yang lama
selesai
menawarkan perang, atau kematian
yang sengaja diselenggarakan
Seperti akal yang luhur
malam bercampur di dalam naskah
sebelum Duryodana gugur
pada akhir baratayudha
di dataran kurukshetra
(Semarang, 6/11/2016)
Galeri
Rupanya itulah yang sedikit
menunda keluhmu,
bayangan telah terhimpun di barat
dan kabut menggelar tubuhnya
yang membungkus jam
Rupanya itulah yang agak menahan
bekumu,
nokturnal telah terhapus dari
gelas
dan fajar menyekap suara parit
yang mengecil
pada bisikanmu yang selanjutnya
Tapi sudahlah.. bersihkan saja
wajahmu disana
(Semarang, 12/11/2016)
Mengunjungi
Sekolah Lama
Mungkin akan kuingat alarm yang
memasangkan pucat
pada pintu-pintu kayu. Dan akan
kudengar sesumbar yang tertanam
di dekat ruangan, di depan
gurauan yang tak selesai
Telah kulihat jejak air yang
sembunyi di sini. Kolong-kolong
lembab yang pernah meramalkan
warna senja di atas lapangan
Daun yang pernah mengaduh di
sebuah loteng, masih tak bergerak
ketika pagi menghafal bunyi
lonceng
Dan jam akan menulisnya kembali,
cakrawala yang surut
di sebuah parit setelah
menghimpun orang-orang bertopi
Fatamorgana yang hinggap di
kemudian hari
akan menyuguhkan tirai di sebuah
kedai
Aku menemukanmu, liku yang
mengambil alih
jalan lurus di bawah
ranting-ranting berlubang itu
(16/11/2016)
Hujan
Yang Menepis Jembatan
Hujan yang menepis jembatan
akan ikut serta
membereskan nama
bangsal-bangsal putih
dalam perjamuan
Untuk ini mari simak kembali
altar yang memadamkan lampu
sebelum jam malam
Sabda yang terpatri
pada beton-beton jalan
akan berangkat dari lidahmu
ke sebuah museum
Seperti relief-relief barok
Firenze abad ke-16
gerimis menegakkan beku
di kota yang tanpa penjaga
Bila lembah digerus dan wabah
bercampur
masih adakah yang kau lihat
dari sebuah ornamen bersama
sisa-sisa katedral bertingkat ?
Sementara hujan yang menepis
jembatan
akan ikut serta
menyamarkan dataran
(Kaligawe, Semarang, November
2016)
Sebelum
Kembali Ke Meja
Sebelum kembali ke meja,
kauingatkan lagi
perangai yang tiba kepada malam
dengan 2 gelas minuman
yang tak direncanakan
Sebelum kembali ke meja,
kausarankan lagi
gerak yang dominan dalam
kata-kata
mungkin itu akan berguna
pada gurau yang tak seberapa
Dimana fantasi adalah seberkas
pena
yang menuliskan narasi pertama
tentang lelucon akhir tahun, dan
baris-baris melankolia
pada sisa udara di sekitar kita
(Semarang, November 2016)
Ronda
Jam telah menitahkan hujan
yang berkelebat di luar
Kita telusuri jejak anjing yang
panjang
ke sebuah ingatan, yang mengendus
bau makam
Kita rangkum keluh yang terkunci
pada bangku-bangku besi
Selagi atap masih menahan waktu
yang singgah di antara pion-pion
catur
Dan uap akan habis
di atas gelas ketiga
Senyap yang terlentang di sebuah
beranda
tak akan terbaca, saat kelelawar
tak mengudara
Tapi sudahlah, barangkali tak ada
angka pasti
dalam sinyal dan perintah yang tak
berhenti
(20/11/2016)
Tawa
Dan kita bertemu lagi disini,
saat burung-burung bermain cahaya
di puncak pohon
kita bicara saat waktu bergerak
mendekat
kita bicara dengan batas-batas
yang tak terlihat
Kita menemukan sebab, kita yang
menerima
kata-kata yang datang sederhana
di musim lain. Tapi seperti ada
panggung
yang menampung sirkus
dan warna-warni lotus
di percakapan yang tengah
berhembus
Sejatinya, memang tinggal takjub
yang menyelinap di antara kita
tanpa perlu tercatat. Senja
melepaskan
makna dari huruf yang tak
disengaja
Namun kita akan berusaha untuk
disini,
untuk 5 menit yang didaulat
dalam teater Shakespare
Dan kita hanya menerima,
kita hanya tertawa
(Semarang, 20/11/2016)
Narasi
Akhir Tahun
Sore telah pergi
dalam dingin yang drastis
ketika ilalang tampak
seperti tamasya yang nihil
Dengan demikian
menit akan mendarah-daging
dalam warna sekam
Jadi, mungkin ada yang sementara
dari kedatanganmu, oleh tubir
yang lebih dangkal kali ini
Kendati embun telah tersulam
dalam halusinasi
Aku hanya mulai bernyanyi
untuk anasir malam yang belum
pasti
(Semarang, 26/11/2016)
Kubawa
ke Pelupukmu
Kubawa ke pelupukmu, ingatan yang
janggal
tentang ranting-ranting pekat
sebelum angin mengendap
ke muara yang gelap
Dan akan kubawa ikhtiar
kepada mesin waktu
juga bunyi arus yang menghantam
batu
dari sebuah ruang yang longgar
ketika sebongkah salju
terbersit di ingatan paling
panjang
orang-orang buritan
yang diacuhkan
Hingga tinggal tubuhmu,
yang membawa topi turis
ke sebuah tandan
yang trenyuh
Dan sebilah nasib tak akan
kembali lagi
ke pelabuhan itu, barangkali
(Semarang, 26/11/2016)
Maklumat
Di musim gugur kau lukiskan
tangis
yang akan terkelupas dari kabut
dan kesedihan menipis
seperti bunyi semak yang takut
Dan kau yakin dengan bekas
ranting
yang takluk oleh angin keras
tapi hanya tersisa suara yang
runcing :
huruf-huruf kapital yang pernah
kau lepas
Saat tak ada guruh yang padam
kemana lagi gusar itu kau
singgahkan ?
(Semarang, 26/11/2016)
Untuk
Laki-Laki yang Sedang Mengemis di Persimpangan
Ia melihat tanda hujan di atas
daratan
dengan alamat yang dipesan
pada sebuah nalar yang jauh
Saat itu juga
senja telah membawa sihir
ketakutan
seperti sorak sorai
yang timbul tenggelam
“Beri
aku wadah”,
katanya,
“atau
apapun yang membuat cuaca
tak
membius tangan kananku..”
Ketika cahaya berpencar :
lampu iklan urban
membentuk ornamen
dan warna trotoar
Dan pergilah sebelum desau
terjalin
di antara kedai, dan kau lihat
gerak jam yang mulai dilupakan
Tiap-tiap doa akan berubah
di setiap sudut besi
yang sangsi
Ia pernah mendengar
mimpi berteriak pada seutas ajal
yang tak sampai
Mungkin seperti minggu lalu
retika razia datang mencopot
bajunya
dan menempelkan bekas biru
di pinggangnya
Ia hanya merasakan
sepasang kelopak yang terpejam
kota yang mati rasa
telah menyembunyikan pesannya
Hanya terlihat ruang angkasa yang
hangus
dan lalu lintas yang
terputus-putus
Kenyataan akan berlalu
dalam orbit yang berputar
seperti dongeng yang memar
(Semarang, November 2016)
Tugu
Lalu pada siluet tapal
dan cahaya terjal
kau gambarkan lagi
guruh yang menghindar ke aspal
Lalu pada gerigi yang berputar,
lihatlah percikan itu
berulang-kali,
suara sakral yang masih kau
pancang
seorang diri
Lalu pada bayang-bayang yang
menangis
di perbatasan
seketika kau kenali lagi
debu yang bertengger di lenganmu
Maka biarkan jejak pagi yang
panjang
menjemputmu, klimaks yang tunduk
pada warna kelabu
di sebuah waktu
(7/12/2016)
Insomnia
Ada banyak ingatan
yang ditertawakan
untuk masa lalu yang tak nampak
dari paruh burung-burung malam
Kudengar huruf-huruf menggigil
dalam manifesto yang mustahil
Barangkali mimpi terlipat
pada lindungan birahi
ketika dingin singgah
ke dalam geraham
Kehendak akan sampai
pada bentuk bulan, yang sederhana,
yang mungkin membebaskanku
dari warna baka
(Semarang, 7/12/2016)
Perjalanan
Sebelum malam memekik
kita lihat lalu-lintas asing
surrealis yang menyasar
ke jendela samping
Sajak-sajak yang lenyap
ke depan terminal
akan mulai kau teruskan
pada gerak hujan yang hitam
yang menabrakkan dirinya
ke bahu jalan
Aku mengantarmu, sebelum sisa
musim
terkirim pada kabar yang akan
datang pagi
(Semarang, Desember 2016)
Epilog
Kau ucapkan bait-bait itu
pada ruang hujan yang penuh
dan aku menegurmu
di sebuah batas yang jenuh
Mungkin disini hanya ada lengan
yang terpotret pada suatu tangkai
di bawah embun yang tertahan
kita coba membersihkan pagi
Seperti sunyi yang datang kembali
pada cermin yang keruh
kau disini tanpa wangi yang pasti
untuk merangkum kelopak yang jauh
(Semarang, 20/12/2016)
Epos
Unggun
Kucantumkan tubuhmu
dengan aroma hutan yang samar
ketika terdengar ladang yang
lenyap
ke sebuah lanskap
Tak ada yang tahu-menahu
tentang salju. Termasuk kau
yang tunduk pada mimpi pagi
dan ketakutan musim semi
Setidaknya dingin belum berakhir
dan pohon-pohon masih
menyembunyikan diri
begitu kita catat adegan-adegan
di sebuah dongeng
Barangkali akan ada angin yang
panjang
yang bersandar pada sebuah kayu
bakar
ketika gelap mulai tersimpan di
sini
tak ada yang akan dilakukan lagi
(Semarang, 21/12/2016)
Transaksi
Saya ingat corak yang tertempel
di sebuah los. Hanya ada ruang
mendesak
dan takdir yang tak pernah kosong
Saya ingat suara-suara yang
ditawarkan
dari dalam. sebuah pertemuan,
isyarat sejenak
tentang asas dan jejak yang
ditinggalkan
Mungkin ada kenangan yang
terseret
ke sebuah pagi. Ketika penjual
itu tertawa
dan mulai melepaskan perangai
Dan saya datang bukan dengan
bahasa
yang diam. Pasar telah dihuni
warna-warni
yang singgah dalam rak-rak besi
dan tawar-menawar sejak tadi
(Johar, Semarang, Desember 2016)