BAB II
FESTIVAL KEMARAU
Sebuah Malam, di Halaman Rumah
FESTIVAL KEMARAU
Sebuah Malam, di Halaman Rumah
Bait bait melemah di tenggorokan
Langit seperti ingatan klasik,
membawa butir angin
Dengan suara yang basah, oleh
jalan
Melekatkan wajah di tembok
labirin
Sebuah malam, akan selalu
dipenuhi
Perbincangan mata, yang mendaki
Tiap pecahan pada suasana
serambi, namun
Selalu ada remang yang terbantun
Diluar : Rumput meluap,
melenyapkan jejak
Secercah lumut dan jalan masuk
Diluar : Langit utara masih
bergolak
Dan nafas berbaring, menjulurkan
suntuk
(Pwd, 30/1/2015)
Penulis
Sajak
Uap minggu pagi itupun kembali
bersama degup jantung yang
membawakan
gerbong suara, dari delapan sudut
ruang yang datar
Ketika seorang lelaki berkata di
awal februari
“aku
lelah untuk sesuatu yang menyayatku kembali”
Dari lika-liku yang kudengar
Di fragmen ini, gelap belum
terusir dari lantai
Saat aku menyulam matahari
Dengan variasi
Waktu belum membunuh pucat pasi
(Pwd, 1/2/2015)
Catatan
Usia ke 19
Di luar mataku
langit mereda. Aku memandang
lambaian kawat dan kabel tua yang
sepoi
Seperti dongeng yang menutup diri
geliat akar kembali melepas waktu
dari pembuluh darahku
Hanya igau di pojok cermin
yang kujumpai
dalam warna paru-paru
Kini tak ada lagi
yang riuh menertawakan
kabut di ujung wajahku
Semua beranjak
dari oase dan kenangan
menggerus rasa takjub pepohonan
(3/2/2015)
Malam
Hanya Lewat
Kini aku tak lagi ingin
mengurai langkah yang hanya dibayangkan
oleh gemuruh mobil. Raut para
penikmat kota kembali mengambang
di bahu taman, serasa segan
mengulang malam
“ah..liburan
terasa panjang”
selepas minggu kosong. Malam
hanya lewat
pada ruas kendaraan, di rimbun
dongeng yang tak terdengar itu
bulan mendesah pelan. Tak ada
ujud lalu-lalang
“mungkin,
aku..”
Mungkin aku hanya mencintai udara
yang seperti biasa menumbuhkan lelah
di setiap gaib langit luruh.
Mendekatkan pekat
ketika aku tak lagi mengenal
letak cahaya
malam hanya lewat
dalam lebam dan bunyi jam
(Pwd, 8-9 Februari 2015)
Menulis
Hujan
Sebenarnya aku hanya memikirkan
satu hal. Malam tak lebih dari seutas imajinasi yang mendarat
Dari asal suara, dimana ruang
agak samar untuk dimengerti, atau sekedar melihat sudut
Yang makin bertranformasi.
“haus
adalah perasaan yang selalu sama”,
membawa angin dalam rekaan, kian meniti sungkan
Pada akar tubuhku, kemudian di
luar kilat menyahut, mengasingkan meja dan lazuardi
Yang berserakan di atasnya. Saat
tangan begitu suntuk untuk diterbangkan melalui engsel jendela,
Aku tak mengakui lapar, tapi ada
jurang yang akan selalu dikenal, entah dimana.
Hujan kian memberat di telinga,
namun seakan tahu, entah darimana, ufuk selalu mengirimkan
Kalimat yang baru, dengan gaun
waktu yang perdu.
“Hari
yang sangat panjang”
(2/3/2015)
Matahari,
Lampu, Lilin
Matahari berjalan. Mengapungkan
beban wajah dan bahuku. Jam menebalkan jenuh di muka selokan. Di tetes keringat
hewan. Angin menyala. Seolah kembali memupuk masa lalu. Senja masih berdiri
pada seutas tali. Burung-burung mengaung di batas rumah. Kau tak pernah
bercakap tentang pekarangan, setidaknya sampai warna langit berhenti teranyam.
Mungkin aku rindu sukacita dan gerak bunga. Namun hanya ada seonggok pinus di
depan retina, yang tak pernah menyeka serangga.
Lampu melingkar. Setia menunjuk
gusar pada sempadan. Dalam lidah yang mengecap asam. Aku tak pernah membaca
tenggorokan. Karena di dalamnya tak akan ada celah untuk menari, atau menirukan
cahaya yang pergi terlalu dini. Segala yang terlihat berusaha menguburkan ragu.
Tapi tak ada tempat menitipkan pintu. Tempat mendoakan persinggahan baru. Asap
mengepul dari lubang teras. Namamu belum beranjak dari lelagu, yang pelan
membangunkan ruas waktu.
Lilin berderak. Menyatakan gurat
yang memuncak. Dalam lirih yang memanjang. Debu akhirnya terkirim ke rembulan.
Semoga langit paham, mengapa bintang begitu diasingkan, sementara rumah-rumah
masih terpejam. Memadatkan segala nyanyian atau langgam. Ada beku yang harus
ditemui pada mimpi. Untuk sekedar mengeraskan sunyi. Ada guram yang harus
diakui pada semadi. Untuk selalu menyembunyikan tepi.
(11-13/3/2015)
Penggali
Kubur
Semua telah usai dibacakan
oleh persinggahan; agaknya
dedaunan itu
berhenti menjauhkan perpisahan,
seperti sungkan
menunggu giliran
Lalu beberapa melafalkan do’a,
tanpa melihat
kristal dan air muka
masih menghitung bongkahan yang sama,
gundukan yang mewarnai senja
“Selamat
Tidur”, bisik
seseorang dari pojok liang,
dari ayunan tangan
“Mungkin nasib sudah teramat petang”, seorang lain menyahut
setelah membaca beku papan dan
kain kafan
Dan tikungan terakhir dimulai,
percik keringat sudah jauh menua,
memantulkan
sepasang warna kamboja, dan tak
lagi mengenal
salam dan langkah terakhir yang
bergegas
(16/3/2015)
Batas
Jejak terasa membakar dalam,
tanpa awal
ketika bunyi mengabaikan waktu
sebelum tapal membekas, dan
menerjemahkan semua portal, di
semua mata
tiba-tiba aku tahu, Semua tak
harus dinyatakan dengan sapa
ataupun roda-roda kelana
Karena perlintasan telah tersedia
untuk kata
dan angin tenggara
Namun, pergi adalah alasan yang
memberatkan kaki
pada simpang-siur yang menyesalkan
tak ada yang terbuka untuk
membawakan arah
sejak warna menurunkan
garis-garis jalan
(2015)
Piknik
Ada yang akan memberi arti
dari situs yang ditemui nanti
dari embun dan gerak subuh
cahaya belum begitu jauh, dan
pagi
masih setengah berdiri
Dapur masih kosong, tak ada asap
yang biasanya menyengat
ada yang harus mengakhiri
ketidaktahuan ini, tentang
perbatasan
setelah pintu depan
Dari kamar terdengar suara
bergegas
seperti mengepak waktu, bersama
sisa mimpi yang membujur
di katup mata
kemudian segalanya melambat,
seperti ruas pedati
mengangkut malam
Tapi semuanya menjadi begitu
mudah
ketika kau berhenti mengulang
langkah
di tempat kita kembali
karena jejak dan warna kaki
terlalu sederhana
untuk menandai senyap pada anak
pintu
di belakang kita
(14/5/2015)
Sajak
Hari Minggu
Kali ini pagi datang lebih cepat,
melintasi ranting dan celah dahan
membawa daun terakhir yang jatuh
di halaman itu, seperti beranda
yang basah oleh angin
dengan gerak dan gempita yang
dingin
(17/5/2015)
Wajah
Kulihat beberapa kali : sepenggal
wajah di jendela
seperti menusuk ventilasi,
menunggu pucuk-pucuk jam
menghimpun angin
Dan kadang dinding seperti
berbicara
pada lengang, dalam beberapa
kedip mata
gerak tak lama menunjukkan resah
Kulihat beberapa kali : bekas
cuaca di putih tanah
setelah embun menahan warna
pada lumut, memantulkan cahaya
yang pertama datang
Dan wajah itu pun kemudian
berbaur
di sana, kembali, dari jalur
angin
memintas kerumunan
(16/6/2015)
Tembalang
(1)
Pada warna senja dan sisa parit
Yang datar itu, kerumunan
berjajar
Ke timur, dengan punggung
menutupi
Beberapa kepak jalak
Seperti lelah yang sembunyi
Di beberapa kaku jalan
Seketika
Hanya lubang-lubang artesis
Yang tuntas
Menjaga losmen kehidupan
Tanpa rasa asing
Bayangan dan etalase
Dari bisik yang berpindah
ke beranda asrama
Menginap
Mendadak ruang ini pun menjadi
dingin
saat wajahmu menyaksikan acuh
dari paras tikar
dan buram neon. Aku mengerti,
selalu ada renyah yang kau
sisakan pada kata
untuk gerak terakhir hari ini
meski rasa masam mulut terus
menyamakan diri
Pada samar dan bulu jaketmu itu,
serupa utas lagu
menyebarkan geliat sarung pada
hangat bayangan
yang mulai memejamkan suara
aku merasa tak pernah menemukan
rimba
pada bisik yang kau saksikan di
rahangku, lagi
di ruang ini pun aku melihat
punggungmu yang berbaring
di bawah dengung nyamuk
dalam sudut ini, kuharap, mataku
tak teringat lagi
untuk meniup unggun di
masing-masing tempat kita
(10-11 Juli 2015)
Untuk
sebuah tempat di Semarang
Di sini, kita berawal
ketika seseorang memungut langit
di bawah rambutmu
namun aku lupa sejak kapan kita
merasai
hari-hari pekat yang mengalir
dari bukit
ke utara
membiarkan sebuah tempat
membuntuti lebam
pada tangis yang tak dikeluarkan
“Setidaknya
aku pernah disini”,
ujarku, sendiri
“Dimanakah
perasaan itu selanjutnya ?”
tanya daun-daun pinus
dan seakan jawaban itu membawa
tubuh malam
membiarkan dingin terbuka sebelum
waktunya
tapi daun-daun pinus itulah
yang akan menghapus cemas
di atas rinai dan warna bintang
yang lengang
di sini, kita berawal
dengan noktah yang menyusun batas
gurauan
(Semarang, 11 Juli 2015)
Syawal
Pada hingar bingar itu kubuat
nafas
dari kertas dan warna-warni
kalender
sepanjang sajadah, pada lipatan
kecil mata
ada baris tafakur yang menegur diam
Sesi ini akan selalu berulang :
bujur desa dan petasan, teriakan
menyerbu dari jalanan, sayup
malam pertama menunggu
langit yang lamban membaca hilal
“Ramadan”, ucapmu, “selalu pergi dengan keyakinan”
“Atau
hanya dengan sebuah pendengaran”,
kataku pelan
dan alif itu kembali terbaca dari saf pertama
sejelas putih takbir, hanya ada
sorakan gempita
pada sumbu kembang api, di luar
do’a
(Pwd, 16-17 Juli 2015)
Kerja
Bakti
Barangkali menjadi sebuah tanda
yang mencoba dikembalikan lagi
oleh kemarau, pasir-kerikil di
tepi fondasi itu
telah membungkam semuanya
dan kelak tidak ada lagi
yang mempermainkan huruf
pada beranda-beranda desa
selain kelebat tubuh yang bekerja
Pagi akan menyusun kembali
semua yang lambat laun dipugar
oleh desingan waktu
yang selalu ditinggalkan
Tangan mengekang, menahan pasir
dari tubuh dan suara wajah
jejak-jejak bergerak akan
sendirinya
menulis kerak pada bagian beton
itu
Bayangan pun semakin ramai
di bebatuan, seperti menghitung
mundur
setiap kultur percakapan
pada liang irigasi
Keramaian selalu meninggalkan
raut
dan keringat
yang nampak oleh panas
di udara lepas
Kemudian orang-orang berjalan ke
jembatan
kembali menitipkan gerak tangan
untuk galian dan saluran
dengan ruas sempadan
Ada yang melihat langit
yang seolah mendekat
ada yang menahan siang
dengan warna kaus yang pekat
Lalu angin kecil datang ke
kampung
sebelum bubaran
nafas hanya sebatas mengeras
sebelum menyeka lumpur pada kaki
tak ada yang diam
atau berusaha diam
(Pwd, 28-7-2015)
Pagar
Aku dengar. Udara yang merangkak
di rerumputan
ataukah ular ?
kemudian datang belalang, burung,
sepasang tawon
serta bunyi-bunyian lainnya, yang
mencoba acuh
dan pagi semacam ini, seperti
semadi
yang tak lagi mencegatku di garda
depan
bayangan itu kembali
memperlihatkan sisa dedaunan
dari kisi jendela
setelah merubah nyiur akar
menjadi igau di kedalaman
Tapi aku hanya ingin melihat
pertapa yang menyimpan ilusi
di ruang kepalaku, dengan sikap
tangan
yang mendekap penglihatan
Diam itu seperti..
seperti saat aku mencoba meihat
jejak awan
dari teras rumah, ketika di depan
parit menunggu
semua yang jatuh dari cabang
Aku tak ingat siapa yang muncul
dalam mimpiku semalam
atau apa yang nanti malam ingin
kumimpikan
aku hanya ingin aroma itu terus
datang dari jalan depan
yang memperlihatkan jejak
pendatang di halaman
Bau pasir masih menyengat
dari bawah pagar, yang
memisahkannya
dari cahaya dan butir tanah
Apapun itu, aku selalu merasa
ingin keluar
dari diam, dari batas yang lekang
oleh kehidupan
dan pagar itu mulai terbuka. Perlahan
oleh pertapa yang sebelumnya
mendekam di ruang kepalaku
dan ilusi yang masih dibawanya
ingin sekali kusimpan
dalam bau pasir. Di bawah pagar
Aku kemudian benar-benar keluar
dari diam, dari halaman yang diam
(5/8/2015)
Kata
Di tiap-tiap jari tanganku
kembali kutemukan titik
yang membangun batas kalimat.
Walau sebenarnya
selalu kudapati sungkan pada
pergelangan ini namun
rasanya malam akan terus
menepikan waktu dan
membiarkanku sendiri. Aku akan
menuliskan bayang-bayangku
pada warna kertas itu, menuju
susunan ruang yang mempertemukan
maksud dengan huruf. Menghimpun
sesuatu yang tak akan kuingat
walau mata akan lebih cepat
terpejam daripada pikiran
(5/8/2015)
Festival
Kemarau
Dimana kuletakkan tawa dan teman
dalam sisa siulan ?
sepertinya kusadari, pekerjaan
membasuh siang
seperti menyambut yang hadir
di antara pematang
dan waktu adalah lagu-laguan
yang kusaksikan menuju sawah
dan warna rumput yang hangus
Berjalan di sisi batang-batang
jati
caping melingkarkan tubuh pada
terik
lalu sunyi, hari-hari melambat
jauh di pekarangan
Ada yang dirindukan
dari suara hujan
bersama angin bulan desember
yang pernah dihanyutkan
pada tepian selokan
Setidaknya ada yang masih
bercakap pada bayang panjang
ketapang
dengan kalimat kecil, sepanjang
lekuk sungai
yang tak lagi mengarah pada
tanggul
Adalah bahasa hewan-hewan
yang masih meneriaki sejarah
yang mejajarkan pohon-pohon randu
menyelipkan tahun
Sebelum angin pergi, sepertinya
tak ada yang bisa dijelaskan
dari tepian embung itu, cekungan
kosong itu
hanya mengistirahatkan peternak
yang menunggu angin kedua
dari bukit
Aku masih melihat
jejak air dan bekas sungai
pada lagu terakhirku
(10/8/2015)
Agustus
Lalu dalam beberapa narasi
kausulut ruh yang menyajikan
setiap malam
seperti desing peperangan
dalam komando dan derap tentara
“Bintang-bintang
terlihat menyusun pulau,
dan
zamrud musim”,
katamu
“ya,
aku paham, tapi mungkin benteng itu
hanya
sekedar berdiri, membunuh waktu
di
sepanjang tahun”,
jawabku
Namun di puncaknya ada selembar
bendera
yang menceritakan semuanya
yang ketika menjelang hari ke-17
semakin
merekatkan diri di tiap cuaca
Sudah sepatutnya untuk
mendengarkan
riuh gerilya, peluru yang tumpah
ruah,
gerak kavaleri memikul prajurit,
dan orang-orang mati
dari semua percakapanmu
Wajahmu mengiyakan
musim dan sejarah yang saling
lekang
oleh lubang senapan dan meriam
membawa kata dengan teramat
panjang
Bahkan masih kucium aroma mesiu
dari tempat kita terpaku, dan
setelah
melepas upacara, bendera itu
masih sigap
mendengarkan suaramu
(10/8/2015)
Tiang
Aku akan berhenti untuk beberapa
hal :
imajinasi, gerak, dan percakapan
yang mengering
di lubang sukmaku ini yang menjelaskan
rongga dengan cuaca di kedua kaki
yang tengah mengerdipkan
ingatan akan gelisah dan kelegaan
dari nafas sakral perjuangan
matahari kini serupa dengan
pekik komando dan nyanyian yang
membangkitkan angin
sejauh pandangan
khidmat terbaca di langit
burung-burung terpencil dan lekang oleh suara
dan di lapangan ini
pepohonan telah mengasingkan bayangannya
dan kau menyebut lagi, sepercik gusar
yang terakhir kau temui pada sepatu dan topimu itu
membalut sebuah bendera, dengan sebuah puncak,
serta wajah-wajah
yang kembali berharap padanya
(17/8/2015)
khidmat terbaca di langit
burung-burung terpencil dan lekang oleh suara
dan di lapangan ini
pepohonan telah mengasingkan bayangannya
dan kau menyebut lagi, sepercik gusar
yang terakhir kau temui pada sepatu dan topimu itu
membalut sebuah bendera, dengan sebuah puncak,
serta wajah-wajah
yang kembali berharap padanya
(17/8/2015)
Ruang
Depan
Ruang depan menjadi tempat
dinding
merubah warna pagi
angin meniru gerak pohon
dan serasa mengucap pamit
kepada sudut lanskap itu
tak ada yang berubah
selain ketakutan dan mempertemuan
cemas dari setiap tepi,
dari setiap subyek
diantara debu dan teralis
kemudian aku mencari sunyi
setiap kedatangan embun
dengan sederhana, mengusap rusuk
saat jendela masih setengah
terbuka
memainkan warna
(21-08-2015)
September
Seperti yang tinggal di raut
pepohonan
ketika langit memperingatkan
latar dan warna buta
dari celah kaktus
di sisa musim panas
Sungai, selalu menggali percik
selagi burung-burung berpasangan
membubuhkan udara kering
menyiapkan metamorfosa
Dan, aku sepintas melihat
bagaimana ketakutan disembunyikan
dalam wajah hujan
yang tak turun
Kemarau kembali menetas, seperti
yang dibayangkan
di sela kepak bangau itu
oleh orang-orang yang terpasang
pada ujung halaman
dengan bayangan yang memanjang
(30/8/2015)
Penumpang
Barangkali langkahmu tak
kelihatan
oleh senyap debu dan pemandangan
juga jarak, yang tuntas menyekap
garis kata di jendela
Namun kau seperti tak menggubris
seperti bunyi serak angin
yang tergores engsel
Roda yang gaduh
menepis aspal
makin menyebarkan hangus
di kolong bangku
Dan carilah dirimu kembali
dari suasana ini, pada lupa
yang kutitipkan
di persimpangan tadi
(30/8/2015)
Peta
Sekarang aku tahu, dengung hutan
yang kuyup memeperdengarkan sesuatu
dari baris gunung, garis lintang
adalah ingatan
kembali pada rintik cuaca
Warna kertas mengisut, namun
masih
menghafal raut permainan dan
wajah kanak
yang membaca bebas
Beberapa titik yang kukenal,
hampir
memucatkan ingatan; laut, tebing
dan jalan mencuat, seperti lembar
tangan
yang menginginkan dataran
(2/9/2015)
Kersen
Seusai dengung yang dibawakan
cabang itu
jatuh, aku selalu menghafal letak
harap
yang meruncing, mencoba
mendapatkan hangat
pada buah yang tergeletak itu
Bau musim panas menyela, membuka
sinar
pada sulur yang berupa tanda
bahwa pergi adalah sesuatu
yang menyisakan gersang di
tangkai terakhir
Atau barangkali
di kebun ini, rumput selalu ingin
menjauhkan
udara, setiap pagi selesai
menerbangkan kabut
pada jarak yang tak
dikehendakinya
Di
Terminal Penggaron, Semarang
Aku hanya ingin berfikir.
Mengigau tak membantuku
meredupkan sunyi, cahaya yang
melintas
dari rak-rak toko mungkin akan
membawakan kembali
kelakar dan percakapan pagi
pada gelas teh
Sore yang kembali berbaur di bahu
jalan
memang sedikit berawan, namun aku
tak sedang mencari bayangan
dari wanita-wanita pekerja, di
tepian kota ini
asap masih mengepul keras, di
antara gerak
lelah yang menetapkan mereka
dengan wajah kosong, seperti
garis putih marka
menghimpun jalur pulang
Sepercik siluet sayap,
melonggarkan warna pucat
sekumpulan kuntul, dengan sayup
bunyi yang menjauh
ke utara
Seorang buruh tergesa memalingkan
bahunya dari senja
“ya, tak ada gurauan yang bisa
dipungut dari sini”, suara penjaja
menyadarkanku di trotoar.
Mengambil sinopsis
dari apa yang ingin ia lihat
pada baris-baris bis
dan aku belum mengenal malam
sebelum angkutan terakhir
beranjak
Ketika aku masih bercerita,
dengung klakson
mengingatkan pada waktu
dan warna langit yang wajar
Tapi warna abu yang terbawa dari
nafas
begitu luas, dan cukup untuk
mengantarkanku
ke menit berikutnya
Kota ini pun, tak terlihat
seperti garda
yang menyambut prajurit dari
perang yang memilukan,
jengan jerit yang berserakan.
Namun hanya sepotong imaji
yang akan tinggal, dengan senyum
kisut yang awam,
“dengan batas yang tak ingin
disentuh lalu lintas”, pikirku
Mungkinkan pergi adalah sebuah
akhir ?
munginkah deretan ruko tak
berpagar itu
tak ingin mengibarkan salam ?
aku bertanya. Apa yang membuatku
bertahan
disini dengan gerak isyarat yang
gelisah ?
Mungkin tak lama lagi. Jalanan
hampir tak memekik
namun masih meninggalkan bising
saat aku tak sepenuhnya mengerti,
apa
yang menarik dari pemberhentian
ini
Mungkinkan aku tak akan pergi ?
(Semarang, 6-7 September 2015)
Pekerja
Malam
Kulihat parasmu mendesah. Datar.
Mendekatkan bunyi tulang
ke arah langit. Hujan waktu tak
lagi tiada. Bukan lagi kata
yang berkejaran ke asal
cahaya. Dan pada fondasi itu
angin mengarah ke gerak bayangan
yang berulang
Kalimat-kalimat mati. Raut tak
meminta lelah meregang
lebih lama di pundakmu. Namun,
selagi malam masih memberi ruang
dalam kerangka besi, setidaknya
biarkan sunyi tak menjemputmu
di tempat yang mendirikan tubuhmu
Karena dari senyuman tipis, di
balik sisa perkakas, kau masih membaca
langkah-langkah kaki yang
mengeras. Dan saat kelelawar menurunkan bunyi,
seutas isyarat mengendap di balik
punggungmu, bahwa kau tak perlu lagi
menjabarkan ilusi. Keringat yang
membentuk wajahmu menandakan
bahwa malam mungkin tak akan
selesai, dengan bau nafas yang masih kau jumpai.
(28/9/2015)
Di Tugu Muda
Aku tertegun dalam ilusi yang
sebentar,
barangkali pun, aku tak pernah
merasa
sedekat ini, dengan warna relief,
sebuah alur
batu yang menggambar semuanya
dengan lekukan yang pucat
dan tabir yang mencuat
Menyusun titik, membentuk yang
tak terlihat
dari ingatan,
petang menampilkan awal mula
hiruk pikuk persimpangan, ketika
aku
baru saja menemukan malam
tergeletak. Tak berwajah
Tapi, disini pun
aku tak pernah merasa sendiri
dengan wajah yang tak ingin
memihak
pada keasingan daun-daun, di bahu
jalan
Dan biarkan dingin merangkul
deretan gedung-gedung dan
warna fondasi yang memberat
dan biarkan suara-suara itu
menjulurkan suasananya :
peluru-peluru terbang, dengung
artileri
di sela nafas yang menemukan
pertempuran
Dan potret yang berbekas pada
hitam-putih bangunan ini telah
berbicara dengan sendirinya
Hari-hari akan lewat
ke perbatasan dengan sisa
warna merah darah
sepuluh ribu pemuda
Dan aku yakin, malam-malam
selanjutnya
akan menghadirkan lampu dan
warna-warni taman,
putih dan kuning, seperti bias
yang berpercikan
pada riuh bunyi air mancur
Ketika angin datang, seperti
udara
yang berpindah ke jejak
berikutnya
aku membayangkan sebuah gerilya
dalam riuh hutan, di kejauhan
dengan asap, yang selalu
menyimpan
potongan-potongan kota
Lalu 70 tahun yang lalu
aku ingin hidup dengan menerawang
tahun
dan kata yang mengeras : oktober,
“Oktober, telah membentuk Kota
Dengan macam ejaan dan definisi
yang tak pernah dibayangkan”
(Semarang, Oktober 2015)
Trotoar
Di sudut jalan itu, laki-laki
itu, perempuan itu..
masih menghimpun sayup
yang mempertemukan dingin
dengan kaki-kaki, seperti
mengulang rasa masam
dan keasingan
Kemudian saksikanlah, warna
selaksa
yang berkejaran dalam nafasmu, di
bawah lampu
pada mimpi belukar
di sebuah tanda waktu
Dan ingatan hilang, seperti hujan
di sela nisan, angin mampir dari
keramaian
dimana dunia hanyalah kata-kata
yang seolah berdiri, berjauhan
Angin kembali menghimpit tembok
bangunan
sebelum riak saluran air
memberimu langkah,
memberimu arah
(Semarang, 11-12 November 2015)
Desember
Kulihat hujan menggelayut ke
dalam saraf
setelah beberapa bulan
dan seperti nyanyian, sepotong
matahari
mesti mengangkatku dari serak
dan sebuah jalan di pagi hari
Sejak sekarang, burung-burung itu
akan berhenti hinggap
pada suhu yang menyekap,
mendekatkanku pada hujan
dan wajah semak, beberapa bulan
kemudian
Sebentar lagi, mungkin angin
menggaruk ruh dan pelipisku
dan jumat terlepas, seperti
menunggu
kabar lain yang melintas
(11/12/2015)
Wanita
Pengemis
Dan wanita itu masih menciutkan
wajahnya.
tangan yang mencari hangat
pada bunyi pertigaan, dan liat
yang ditafsir, pada pembatalan
hujan
Dan ia sadar. Ia tak menangis.
di balik lalu-lintas yang datang
menawarkan ketiadaan
Dan wanita itu masih mengulang
segan
untuk membaca badai, hanya gerimis
dan ratapan kata, yang sedikit
mengubah arah angin
pada tempat berdiri, pada suhu
yang sama
seperti kamuflase pagi
(22/12/2015)
Kuliah Sore
Sebenarnya pun, aku hanya ingin
membubuhi
ingatan ini tentang jendela basah
dan meja yang dingin, karena usia
Ketika bunyi jam menyempit, itu
menjadi
sebab pertama kata-kata
menyebarkan suara
ke dalam ruang, meninggalkan
muasal
dan latar belakang yang
dituliskan :
“aku
tak ingin tinggi tanpa berdiri”,
“aku
tak ingin mendengkur tanpa tertidur”
Terkadang aku membuat bangku ini
menjadi sepi karena bunyi yang
tersemat
membuatku berfikir: diam akan
meringkaskan jarak matahari
dengan tengah malam nanti
(Desember 2015)
Aku Tak
Bisa Meniru Malam
Aku tak bisa meniru malam. Ketika
lembar hujan
menyangkalku dalam kalimat. Kata
yang terlepas
membentuk debu dari sisa kabar
dan gerak angin yang pincang
Aku tak bisa meniru malam. Sejak
akar-akar itu
merebahkan suara gerimis, yang
berkerumun
beberapa detik sebelum daun
(30 Desember 2015)
Di
Warung Makan
Kau mungkin masih membayangkan
hal itu;
pada angan yang lambat
dan desing knalpot yang membentak
orang-orang tak akan menyapa
dengan gerak wajah yang ramah
Hanya gumam dan bau asing
yang tersembunyi
dari rak meja
Dan lampu tak menciutkan bayangan
ketika sepasang tangan menjadi
pelayan
bagi jejal yang lalu-lalang
“apa
yang kau pesan, tuan”
? Dalam malam
yang baru datang dari keramaian,
“apa
yang kau pesan”
?
Kau mungkin sudah mengerti
seperti yang diulang setiap
harinya, disini,
senyum tak akan ditawar
di ujung lipatan uang
(30 Desember 2015)
Bangun
Aku ingin menyimpan pagi
dalam laci kamarku
saat atmosfer turun
membekukan gerak
menyampaikan narasi
dari mimpi semalam
(30 Desember 2015)
Deklarasi
Malam
Pada selimut ini malam
berkeringat, dengan bau kulit
serta kesadaran yang masam
dan wajah di catatan itu akan
lenyap
sebelum dingin mengendap
Tak ada kekal dalam perjalanan
atau apa yang mencatat musim
atau apa yang menggubris takdir
yang menuturkan senyap dan letak
bintang
Dimana fantasi ini disisipkan,
pada buram dan tanda tanya
yang tak lazim ?
(3 Januari 2015)
Teras
Di langit-langit, sore menggumpal
pada gurat jam. Aku selalu membayangkan
suasana ini pada waktu yang
menahan gerak
untuk selalu menyembunyikan kata
Awan menjulang, dalam warna pudar
sejak tawa belum ditafsirkan
di setiap ruas jalan. Ini akan
menjadi ruang
dimana orang-orang berpapasan di
luar ingatan
Lama sekali. Setiap kali aku
menunggu
seseorang membentuk malam
dari arah halaman, dimana wajah
tak lagi dapat ditemukan
(15/1/2015)
Mandi
pagi
Ada syahwat yang tegak melekat
bersama cucuran air dan percik
yang tumpah
di sela kelingking, tak ada yang
berharap
pada udara terbuka, selain getar
yang dirasakan
oleh wajah es, di sisa dini hari
Tiba-tiba terlintas
warna purba yang terbangun,
merubah bening
pada kelopak mata
(16/1/2016)
Tribun
Saat kita terduduk, angin akan
datang
dengan irama keras, atau not
atau nada yang terpasang pada
bangku-bangku besi
Tapi itulah yang mereka sebut
cerita
seperti parade yang bernyanyi
setiap musim, tanpa menanggalkan
cahaya
Hingga spanduk-spanduk itu,
tiang-tiang itu
kehilangan sifat asli, sejak
pesta terakhir
selesai mengundang debu, juga
remah pasir
“semua
seakan-akan mati”,
bisik seseorang dari pintu keluar
dan kita hanya mencoba tak
memucat
Setelah nalar enggan menyuguhkan
waktu
saat kita menyebut rumput
sebagai sekumpulan warna yang
usang
kemudian kita hanya menerka,
duduk, berdiri
mengingat romansa yang tak
kembali
pada hembusan riuh rendah itu
pada kerongkongan yang seolah terbuka
di menit-menit akhir itu
(Semarang, 21/1/2016)
Pesta
Tahun Baru
Ada bunyi lain yang diberikan
oleh riuh jalanan. Detak jam saling
kejar mengejar
dalam hitungan mundur
Hari demi hari telah terpintal
dengan sendirinya
oleh masa lalu. Ingatan pun
hanyut
membawa kata dan do’a yang
bertaut
Dan malam kemudian menyala. Kota
melepaskan senyap
dengan hiruk pikuk
dan warna-warni sejenak
Dimana-mana orang berteriak.
Ledakan saling bersahutan
seperti bengis waktu
yang memaksa
pengalaman-pengalaman
menutup pintu
Apa yang dapat membuat kita
merasa begitu yakin dengan
perubahan ?
seperti ilusi yang menawarkan
butir kehidupan
pada pijar kembang api itu
(Semarang, Januari 2016)
Kalender
Pada dinding itu terbingkai
sebuah bunyi waktu, apa yang mesti dinyanyikan
sebelum berangkat, akan menjadi
pertemuan kembali setelah pulang.
Dan sesaat sebelum ada yang
menempelkan perbincangan
pada sesuatu di ujung lipatan
pertama itu, akan tumbuh seberkas angan
yang mungkin memabukkan,
hingga kelak seseorang
memotongnya menjadi serpihan kertas tua,
dengan warna yang tak lagi
didambakan. Namun, diantara deretan angka-angka itu,
ada bagian yang selalu terlintas,
menjadi rangkaian
yang membawa lipatan-lipatan
kedua, dan seterusnya. Dan setiap malam, seperti ada yang melukis kata demi
kata, sepanjang kehidupan. Dan tulah satu-satunya hal yang dapat dilihat dan
dipercakapkan, pada dinding kusam itu.
(27/1/2016)
Jembatan
Apa yang dapat bertahan
dari bising cuaca, seperti kita
yang begitu menghendaki
hujan, seperti ratap yang
menggerakkan riak, di bibir
sungai
Di sela engsel besi ini, aku
sadar
bagaimana warna air yang kasar
menggores tanggul, mengakhiri
setiap pertemuan, pada jam-jam
senja
Ada banyak hal yang terpatri
yang tak sempat meresap
ke sisa bebatuan, namun kita
masih
terguncang di jalur ini,
setidaknya
hingga cuaca memastikan arus
terdengar oleh malam yang menemui
(27/1/2016)
Parit
Kabarnya debu dan denyut yang
mengalir di kehidupanmu dulu,
telah menjadi tamu di hari yang
lain, dan kita hanya menatapnya
dari pintu ke pintu, seperti
sampah yang menahan semak
menuju arah yang ingin kau ikuti
itu
dan sejak air menjadi pasang, senja
yang berjalan
dalam teduh akan memberikan
bentuk yang lain lagi,
seberkas jejak basah yang sabar
menunggu
arus berikutnya, menghanyutkan
wajahmu sekali lagi
sayang sekali
(28/1/2016)
Romansa
Kota Kecil
Kita akan melihat rumah-rumah
menggigil
dalam dongeng, tanpa ada yang
menyangkal
hujan telah berhenti saat pijar
lampu
menyiapkan dunia pada malam hari
Kita akan melihat malam
menciutkan langit
dan petak bangunan. Hanya selokan
yang lelah menjaga kehidupan,
yang menyusup
pada hiruk-pikuk trotoar
Pada jam kesekian, hanya pejalan
kaki
yang memungut asap, ketika musim
dijatuhkan
dari daun-daun ketapang, meskipun
garis aspal
masih menjadi warna yang dijumpai
sebelum pagi
(Purwodadi, 30-31 Januari 2016)
Panen
Beberapa saat yang lalu
angin mengeringkan langit
dan jam menjadi sibuk, ketika
kita menemukan lumpur
pada jejak kaki yang akan
kembali.
Semuanya dipikul. Batang demi
batang tercerabut.
pada kuncup-kuncup tua itu
gurauan menjadi berarti, karena
matahari
akan melapangkan pagi kita,
sekali lagi
dan pada jalan berbatu itu masih
terlihat
bayangan tubuh kita yang tipis
seperti sorak sorai
yang membekas pada celah jerami
(Purwodadi, 31 Januari 2016)
Dialog
Ada sesuatu yang kecil di
bibirku, bergerak
tak teratur seperti musim, seseorang
yang menyajikan
parade terus-menerus itu selalu
ingin mengejutkanku,
dengan rahang yang berhasil
membunuh waktu
Tapi ada hal-hal lain selain
kata, yang keluar
menuju celah pintu, yang tak
sempat tercatat
pada sinopsis ini. Sementara itu,
lewat kata,
akan terhimpun garis yang
mempertemukanmu
dengan sejumlah titik, yang kau
lewati itu.
“Tak ada cahaya yang tertulis di
pertemuan ini”, ujarku
(1 Februari 2016)
Sajak
Tengah Malam
Ada tabu dalam kepalaku
hingga udara yang tak terdengar
masuk ke ruangan ini
dan senyap berjajar, berjalan
menyeret kabut, berulang kali
(1 Februari 2016)
Rel
Siapakah yang akan kutemui
di sepanjang sempadan ini ?
dan setelah terbit angin,
bukit-bukit kosong
akan menjulangkan cahaya
dari hutan, yang cukup jauh,
kabut membentuk kepergian
menjadi samar, kota pun menjauh
dalam gaung nyanyian. Aku tanya
sekali lagi,
Siapa yang akan kutemui
di sepanjang sempadan ini ?
Sesuatu akan selalu pergi,
menggiring batu-batu terjal
naik turun, dan sepasang palang
besi tua
masih terlihat, di antara gerak
asap
Mungkin hewan gembala itu, juga
persawahan itu
akan kembali menawarkan sepi
saat hari-hari melambat
di kejauhan
(Grobogan, 1 Februari 2016)
Di Dalam
Bus
Pada kilometer ketujuh kau lihat pohon-pohon
menari
di balik tikungan, atau siapapun
yang bersedia terlepas
dari gairah, dari jendela yang
bergerak itu.
Dan kau hanya melihat aspal yang
tak mendekat, seakan
menunggu cahaya di balik bukit
itu. Kemudian, dan seterusnya,
hanya angin di kiri-kanan kita
yang tak menyentuhmu
Kulihat kau sedikit gugup, saat
menunjuk sesuatu yang panjang
dan bergegas, dari sisa
perjalanan ini
aku mencium sesuatu yang berbeda
di setiap tapal batas, seperti
sebuah isyarat
untuk mendatangkan kata
Lalu, beberapa menit sebelum
berhenti,
aku mulai terbiasa dengan dengung
mesin
yang diulang, suara kursi yang
gemetar di tanjakan,
dan ilusi yang kembali memintas,
tak mendekat
(3/2/2016)
Pancaroba
Suara hujan yang nyaring
membasahi langit, aku masih
mendengarnya
saat udara menyusun elegi hari
ini
Aroma tanah yang berayun,
semerbak
dari kuncup bunga-bunga, aku
masih menciumnya
saat para petani belum
menanggalkan jejaknya
Kita tak bisa lagi mempercakapkan
iklim
atau membayangkan arah angin
dan badai yang turun
akan membentuk pucat yang melekat
pada horison, di wajah langit
Dan ramalan berita mengatakan,
besok akan selalu sama
dengan rintik dan warna gelap
yang biasa,
karena cuaca akan terus beralih
dari atap ke atap, di setiap
detak jam
(3/2/2016)
20
Terkadang aku mendengar desah
sesuatu yang terlewat
dari pintu-pintu yang sedikit
terbuka
saat pagi beranjak dari kursi
melampiaskan jejak, warna-warni
yang asing di persinggahan
Terkadang aku melihat gerak
matahari yang meloncat
dari kerumunan pohon, seakan
memberi pesan dan petuah
dari dengung serangga, yang
tumpah ruah
ke langit putih
Ini bukan lelucon, mungkin
umur adalah paras yang terlepas
dari wajah
seperti waktu yang berjalan,
berhimpitan
keluar dari warna pagi
(3-4 Februari 2016)
Tran-hui-bets.com: Tran-hui-bets.com.ng 1xbet 1xbet william hill william hill 188bet 188bet dafabet dafabet 카지노 가입 쿠폰 카지노 가입 쿠폰 happyluke happyluke 527 Casino Games - Bokta Casino - Thakasino
BalasHapus