Kamis, 11 Februari 2016

BAB II
FESTIVAL KEMARAU


Sebuah Malam, di Halaman Rumah

Bait bait melemah di tenggorokan
Langit seperti ingatan klasik, membawa butir angin
Dengan suara yang basah, oleh jalan
Melekatkan wajah di tembok labirin

Sebuah malam, akan selalu dipenuhi
Perbincangan mata, yang mendaki
Tiap pecahan pada suasana serambi, namun
Selalu ada remang yang terbantun

Diluar : Rumput meluap, melenyapkan jejak
Secercah lumut dan jalan masuk
Diluar : Langit utara masih bergolak
Dan nafas berbaring, menjulurkan suntuk


(Pwd, 30/1/2015)


Penulis Sajak

Uap minggu pagi itupun kembali
bersama degup jantung yang membawakan
gerbong suara, dari delapan sudut ruang yang datar
Ketika seorang lelaki berkata di awal februari
“aku lelah untuk sesuatu yang menyayatku kembali”
Dari lika-liku yang kudengar
Di fragmen ini, gelap belum terusir dari lantai
Saat aku menyulam matahari
Dengan variasi

Waktu belum membunuh pucat pasi


(Pwd, 1/2/2015)


Catatan Usia ke 19

Di luar mataku
langit mereda. Aku memandang
lambaian kawat dan kabel tua yang sepoi

Seperti dongeng yang menutup diri
geliat akar kembali melepas waktu
dari pembuluh darahku

Hanya igau di pojok cermin
yang kujumpai
dalam warna paru-paru

Kini tak ada lagi
yang riuh menertawakan
kabut di ujung wajahku

Semua beranjak
dari oase dan kenangan
menggerus rasa takjub pepohonan


(3/2/2015)


Malam Hanya Lewat

Kini aku tak lagi ingin
mengurai langkah yang  hanya dibayangkan
oleh gemuruh mobil. Raut para penikmat kota kembali mengambang
di bahu taman, serasa segan mengulang malam

“ah..liburan terasa panjang”
selepas minggu kosong. Malam hanya lewat
pada ruas kendaraan, di rimbun dongeng yang tak terdengar itu
bulan mendesah pelan. Tak ada ujud lalu-lalang

“mungkin, aku..”

Mungkin aku hanya mencintai udara
yang seperti biasa menumbuhkan lelah
di setiap gaib langit luruh. Mendekatkan pekat
ketika aku tak lagi mengenal letak cahaya

malam hanya lewat
dalam lebam dan bunyi jam


(Pwd, 8-9 Februari 2015)


Menulis Hujan

Sebenarnya aku hanya memikirkan satu hal. Malam tak lebih dari seutas imajinasi yang mendarat
Dari asal suara, dimana ruang agak samar untuk dimengerti, atau sekedar melihat sudut
Yang makin bertranformasi.
“haus adalah perasaan yang selalu sama”, membawa angin dalam rekaan, kian meniti sungkan
Pada akar tubuhku, kemudian di luar kilat menyahut, mengasingkan meja dan lazuardi
Yang berserakan di atasnya. Saat tangan begitu suntuk untuk diterbangkan melalui engsel jendela,
Aku tak mengakui lapar, tapi ada jurang yang akan selalu dikenal, entah dimana.

Hujan kian memberat di telinga, namun seakan tahu, entah darimana, ufuk selalu mengirimkan
Kalimat yang baru, dengan gaun waktu yang perdu.

“Hari yang sangat panjang”


(2/3/2015)


Matahari, Lampu, Lilin

Matahari berjalan. Mengapungkan beban wajah dan bahuku. Jam menebalkan jenuh di muka selokan. Di tetes keringat hewan. Angin menyala. Seolah kembali memupuk masa lalu. Senja masih berdiri pada seutas tali. Burung-burung mengaung di batas rumah. Kau tak pernah bercakap tentang pekarangan, setidaknya sampai warna langit berhenti teranyam. Mungkin aku rindu sukacita dan gerak bunga. Namun hanya ada seonggok pinus di depan retina, yang tak pernah menyeka serangga.

Lampu melingkar. Setia menunjuk gusar pada sempadan. Dalam lidah yang mengecap asam. Aku tak pernah membaca tenggorokan. Karena di dalamnya tak akan ada celah untuk menari, atau menirukan cahaya yang pergi terlalu dini. Segala yang terlihat berusaha menguburkan ragu. Tapi tak ada tempat menitipkan pintu. Tempat mendoakan persinggahan baru. Asap mengepul dari lubang teras. Namamu belum beranjak dari lelagu, yang pelan membangunkan ruas waktu.

Lilin berderak. Menyatakan gurat yang memuncak. Dalam lirih yang memanjang. Debu akhirnya terkirim ke rembulan. Semoga langit paham, mengapa bintang begitu diasingkan, sementara rumah-rumah masih terpejam. Memadatkan segala nyanyian atau langgam. Ada beku yang harus ditemui pada mimpi. Untuk sekedar mengeraskan sunyi. Ada guram yang harus diakui pada semadi. Untuk selalu menyembunyikan tepi.


(11-13/3/2015)


Penggali Kubur

Semua telah usai dibacakan
oleh persinggahan; agaknya dedaunan itu
berhenti menjauhkan perpisahan, seperti sungkan
menunggu giliran

Lalu beberapa melafalkan do’a, tanpa melihat
kristal dan air muka
masih menghitung bongkahan yang sama,
gundukan yang mewarnai senja

“Selamat Tidur”, bisik seseorang dari pojok liang,
dari ayunan tangan
Mungkin nasib sudah teramat petang”, seorang lain menyahut
setelah membaca beku papan dan kain kafan

Dan tikungan terakhir dimulai,
percik keringat sudah jauh menua, memantulkan
sepasang warna kamboja, dan tak lagi mengenal
salam dan langkah terakhir yang bergegas


(16/3/2015)


Batas

Jejak terasa membakar dalam, tanpa awal
ketika bunyi mengabaikan waktu
sebelum tapal membekas, dan
menerjemahkan semua portal, di semua mata
tiba-tiba aku tahu, Semua tak harus dinyatakan dengan sapa
ataupun roda-roda kelana

Karena perlintasan telah tersedia untuk kata
dan angin tenggara

Namun, pergi adalah alasan yang memberatkan kaki
pada simpang-siur yang menyesalkan
tak ada yang terbuka untuk membawakan arah
sejak warna menurunkan garis-garis jalan


(2015)


Piknik

Ada yang akan memberi arti
dari situs yang ditemui nanti
dari embun dan gerak subuh
cahaya belum begitu jauh, dan pagi
masih setengah berdiri

Dapur masih kosong, tak ada asap
yang biasanya menyengat
ada yang harus mengakhiri
ketidaktahuan ini, tentang perbatasan
setelah pintu depan

Dari kamar terdengar suara bergegas
seperti mengepak waktu, bersama
sisa mimpi yang membujur
di katup mata
kemudian segalanya melambat, seperti ruas pedati
mengangkut malam

Tapi semuanya menjadi begitu mudah
ketika kau berhenti mengulang langkah
di tempat kita kembali
karena jejak dan warna kaki terlalu sederhana
untuk menandai senyap pada anak pintu
di belakang kita


(14/5/2015)


Sajak Hari Minggu

Kali ini pagi datang lebih cepat, melintasi ranting dan celah dahan
membawa daun terakhir yang jatuh
di halaman itu, seperti beranda yang basah oleh angin
dengan gerak dan gempita yang dingin


(17/5/2015)


Wajah

Kulihat beberapa kali : sepenggal wajah di jendela
seperti menusuk ventilasi, menunggu pucuk-pucuk jam
menghimpun angin

Dan kadang dinding seperti berbicara
pada lengang, dalam beberapa kedip mata
gerak tak lama menunjukkan resah

Kulihat beberapa kali : bekas cuaca di putih tanah
setelah embun menahan warna
pada lumut, memantulkan cahaya yang pertama datang

Dan wajah itu pun kemudian berbaur
di sana, kembali, dari jalur angin
memintas kerumunan


(16/6/2015)


Tembalang (1)

Pada warna senja dan sisa parit
Yang datar itu, kerumunan berjajar
Ke timur, dengan punggung menutupi
Beberapa kepak jalak
Seperti lelah yang sembunyi
Di beberapa kaku jalan
Seketika

Hanya lubang-lubang artesis
Yang tuntas
Menjaga losmen kehidupan
Tanpa rasa asing
Bayangan dan etalase
Dari bisik yang berpindah
ke beranda asrama


Menginap

Mendadak ruang ini pun menjadi dingin
saat wajahmu menyaksikan acuh dari paras tikar
dan buram neon.  Aku mengerti,
selalu ada renyah yang kau sisakan pada kata
untuk gerak terakhir hari ini
meski rasa masam mulut terus menyamakan diri
Pada samar dan bulu jaketmu itu, serupa utas lagu
menyebarkan geliat sarung pada hangat bayangan
yang mulai memejamkan suara
aku merasa tak pernah menemukan rimba
pada bisik yang kau saksikan di rahangku, lagi

di ruang ini pun aku melihat punggungmu yang berbaring
di bawah dengung nyamuk
dalam sudut ini, kuharap, mataku tak teringat lagi
untuk meniup unggun di masing-masing tempat kita


(10-11 Juli 2015)


Untuk sebuah tempat di Semarang

Di sini, kita berawal
ketika seseorang memungut langit
di bawah rambutmu
namun aku lupa sejak kapan kita merasai
hari-hari pekat yang mengalir dari bukit
ke utara
membiarkan sebuah tempat membuntuti lebam
pada tangis yang tak dikeluarkan
“Setidaknya aku pernah disini”, ujarku, sendiri
“Dimanakah perasaan itu selanjutnya ?”
tanya daun-daun pinus
dan seakan jawaban itu membawa tubuh malam
membiarkan dingin terbuka sebelum waktunya
tapi daun-daun pinus itulah
yang akan menghapus cemas
di atas rinai dan warna bintang
yang lengang

di sini, kita berawal
dengan noktah yang menyusun batas gurauan


(Semarang, 11 Juli 2015)


Syawal

Pada hingar bingar itu kubuat nafas
dari kertas dan warna-warni kalender
sepanjang sajadah, pada lipatan kecil mata
ada baris tafakur yang menegur diam

Sesi ini akan selalu berulang :
bujur desa dan petasan, teriakan
menyerbu dari jalanan, sayup malam pertama menunggu
langit yang lamban membaca hilal

“Ramadan”, ucapmu, “selalu pergi dengan keyakinan”
“Atau hanya dengan sebuah pendengaran”, kataku pelan
dan alif itu kembali terbaca dari saf pertama
sejelas putih takbir, hanya ada sorakan gempita
pada sumbu kembang api, di luar do’a


(Pwd, 16-17 Juli 2015)

Kerja Bakti

Barangkali menjadi sebuah tanda
yang mencoba dikembalikan lagi
oleh kemarau, pasir-kerikil di tepi fondasi itu
telah membungkam semuanya

dan kelak tidak ada lagi
yang mempermainkan huruf
pada beranda-beranda desa
selain kelebat tubuh yang bekerja

Pagi akan menyusun kembali
semua yang lambat laun dipugar
oleh desingan waktu
yang selalu ditinggalkan

Tangan mengekang, menahan pasir
dari tubuh dan suara wajah
jejak-jejak bergerak akan sendirinya
menulis kerak pada bagian beton itu

Bayangan pun semakin ramai
di bebatuan, seperti menghitung mundur
setiap kultur percakapan
pada liang irigasi

Keramaian selalu meninggalkan raut
dan keringat
yang nampak oleh panas
di udara lepas

Kemudian orang-orang berjalan ke jembatan
kembali menitipkan gerak tangan
untuk galian dan saluran
dengan ruas sempadan

Ada yang melihat langit
yang seolah mendekat
ada yang menahan siang
dengan warna kaus yang pekat

Lalu angin kecil datang ke kampung
sebelum bubaran
nafas hanya sebatas mengeras
sebelum menyeka lumpur pada kaki

tak ada yang diam
atau berusaha diam


(Pwd, 28-7-2015)


Pagar

Aku dengar. Udara yang merangkak di rerumputan
ataukah ular ?
kemudian datang belalang, burung, sepasang tawon
serta bunyi-bunyian lainnya, yang mencoba acuh
dan pagi semacam ini, seperti semadi
yang tak lagi mencegatku di garda depan
bayangan itu kembali memperlihatkan sisa dedaunan
dari kisi jendela
setelah merubah nyiur akar
menjadi igau di kedalaman

Tapi aku hanya ingin melihat
pertapa yang menyimpan ilusi
di ruang kepalaku, dengan sikap tangan
yang mendekap penglihatan

Diam itu seperti..
seperti saat aku mencoba meihat jejak awan
dari teras rumah, ketika di depan
parit menunggu
semua yang jatuh dari cabang

Aku tak ingat siapa yang muncul dalam mimpiku semalam
atau apa yang nanti malam ingin kumimpikan
aku hanya ingin aroma itu terus datang dari jalan depan
yang memperlihatkan jejak pendatang di halaman

Bau pasir masih menyengat
dari bawah pagar, yang memisahkannya
dari cahaya dan butir tanah

Apapun itu, aku selalu merasa ingin keluar
dari diam, dari batas yang lekang oleh kehidupan
dan pagar itu mulai terbuka. Perlahan
oleh pertapa yang sebelumnya
mendekam di ruang kepalaku
dan ilusi yang masih dibawanya ingin sekali kusimpan
dalam bau pasir. Di bawah pagar

Aku kemudian benar-benar keluar
dari diam, dari halaman yang diam


(5/8/2015)


Kata

Di tiap-tiap jari tanganku kembali kutemukan titik
yang membangun batas kalimat. Walau sebenarnya
selalu kudapati sungkan pada pergelangan ini namun
rasanya malam akan terus menepikan waktu dan
membiarkanku sendiri. Aku akan menuliskan bayang-bayangku
pada warna kertas itu, menuju susunan ruang yang mempertemukan
maksud dengan huruf. Menghimpun sesuatu yang tak akan kuingat
walau mata akan lebih cepat terpejam daripada pikiran


(5/8/2015)


Festival Kemarau

Dimana kuletakkan tawa dan teman
dalam sisa siulan ?
sepertinya kusadari, pekerjaan membasuh siang
seperti menyambut yang hadir
di antara pematang
dan waktu adalah lagu-laguan
yang kusaksikan menuju sawah
dan warna rumput yang hangus

Berjalan di sisi batang-batang jati
caping melingkarkan tubuh pada terik
lalu sunyi, hari-hari melambat
jauh di pekarangan

Ada yang dirindukan
dari suara hujan
bersama angin bulan desember
yang pernah dihanyutkan
pada tepian selokan

Setidaknya ada yang masih
bercakap pada bayang panjang ketapang
dengan kalimat kecil, sepanjang lekuk sungai
yang tak lagi mengarah pada tanggul

Adalah bahasa hewan-hewan
yang masih meneriaki sejarah
yang mejajarkan pohon-pohon randu
menyelipkan tahun

Sebelum angin pergi, sepertinya
tak ada yang bisa dijelaskan
dari tepian embung itu, cekungan kosong itu
hanya mengistirahatkan peternak
yang menunggu angin kedua
dari bukit

Aku masih melihat
jejak air dan bekas sungai
pada lagu terakhirku


(10/8/2015)


Agustus

Lalu dalam beberapa narasi
kausulut ruh yang menyajikan setiap malam
seperti desing peperangan
dalam komando dan derap tentara

“Bintang-bintang terlihat menyusun pulau,
dan zamrud musim”, katamu
“ya, aku paham, tapi mungkin benteng itu
hanya sekedar berdiri, membunuh waktu
di sepanjang tahun”, jawabku

Namun di puncaknya ada selembar bendera
yang menceritakan semuanya
yang ketika menjelang hari ke-17 semakin
merekatkan diri di tiap cuaca

Sudah sepatutnya untuk mendengarkan
riuh gerilya, peluru yang tumpah ruah,
gerak kavaleri memikul prajurit, dan orang-orang mati
dari semua percakapanmu

Wajahmu  mengiyakan
musim dan sejarah yang saling lekang
oleh lubang senapan dan meriam
membawa kata dengan teramat panjang

Bahkan masih kucium aroma mesiu
dari tempat kita terpaku, dan setelah
melepas upacara, bendera itu masih sigap
mendengarkan suaramu


(10/8/2015)


Tiang

Aku akan berhenti untuk beberapa hal :
imajinasi, gerak, dan percakapan yang mengering
di lubang sukmaku ini yang menjelaskan
rongga dengan cuaca di kedua kaki
yang tengah mengerdipkan
ingatan akan gelisah dan kelegaan
dari nafas sakral perjuangan

matahari kini serupa dengan
pekik komando dan nyanyian yang
membangkitkan angin
sejauh pandangan

khidmat terbaca di langit
burung-burung terpencil dan lekang oleh suara
dan di lapangan ini
pepohonan telah mengasingkan bayangannya

dan kau menyebut lagi, sepercik gusar
yang terakhir kau temui pada sepatu dan topimu itu
membalut sebuah bendera, dengan sebuah puncak,
serta wajah-wajah
yang kembali berharap padanya


(17/8/2015)


Ruang Depan

Ruang depan menjadi tempat dinding
merubah warna pagi
angin meniru gerak pohon
dan serasa mengucap pamit
kepada sudut lanskap itu
tak ada yang berubah
selain ketakutan dan mempertemuan
cemas dari setiap tepi,
dari setiap subyek
diantara debu dan teralis

kemudian aku mencari sunyi
setiap kedatangan embun
dengan sederhana, mengusap rusuk
saat jendela masih setengah terbuka
memainkan warna


(21-08-2015)


September

Seperti yang tinggal di raut pepohonan
ketika langit memperingatkan
latar dan warna buta
dari celah kaktus
di sisa musim panas

Sungai, selalu menggali percik
selagi burung-burung berpasangan
membubuhkan udara kering
menyiapkan metamorfosa

Dan, aku sepintas melihat
bagaimana ketakutan disembunyikan
dalam wajah hujan
yang tak turun

Kemarau kembali menetas, seperti yang dibayangkan
di sela kepak bangau itu
oleh orang-orang yang terpasang
pada ujung halaman
dengan bayangan yang memanjang


(30/8/2015)



Penumpang

Barangkali langkahmu tak kelihatan
oleh senyap debu dan pemandangan
juga jarak, yang tuntas menyekap
garis kata di jendela

Namun kau seperti tak menggubris
seperti bunyi serak angin
yang tergores engsel

Roda yang gaduh
menepis aspal
makin menyebarkan hangus
di kolong bangku

Dan carilah dirimu kembali
dari suasana ini, pada lupa
yang kutitipkan
di persimpangan tadi


(30/8/2015)


Peta

Sekarang aku tahu, dengung hutan
yang kuyup memeperdengarkan sesuatu
dari baris gunung, garis lintang adalah ingatan
kembali pada  rintik cuaca

Warna kertas mengisut, namun masih
menghafal raut permainan dan wajah kanak
yang membaca bebas

Beberapa titik yang kukenal, hampir
memucatkan ingatan; laut, tebing
dan jalan mencuat, seperti lembar tangan
yang menginginkan dataran


(2/9/2015)


Kersen

Seusai dengung yang dibawakan cabang itu
jatuh, aku selalu menghafal letak harap
yang meruncing, mencoba mendapatkan hangat
pada buah yang tergeletak itu

Bau musim panas menyela, membuka sinar
pada sulur yang berupa tanda
bahwa pergi adalah sesuatu
yang menyisakan gersang di tangkai terakhir

Atau barangkali
di kebun ini, rumput selalu ingin menjauhkan
udara, setiap pagi selesai menerbangkan kabut
pada jarak yang tak dikehendakinya


Di Terminal Penggaron, Semarang

Aku hanya ingin berfikir. Mengigau tak membantuku
meredupkan sunyi, cahaya yang melintas
dari rak-rak toko mungkin akan membawakan kembali
kelakar dan percakapan pagi
pada gelas teh

Sore yang kembali berbaur di bahu jalan
memang sedikit berawan, namun aku tak sedang mencari bayangan
dari wanita-wanita pekerja, di tepian kota ini
asap masih mengepul keras, di antara gerak
lelah yang menetapkan mereka

dengan wajah kosong, seperti garis putih marka
menghimpun jalur pulang

Sepercik siluet sayap, melonggarkan warna pucat
sekumpulan kuntul, dengan sayup bunyi yang menjauh
ke utara

Seorang buruh tergesa memalingkan bahunya dari senja
“ya, tak ada gurauan yang bisa dipungut dari sini”, suara penjaja
menyadarkanku di trotoar. Mengambil sinopsis
dari apa yang ingin ia lihat
pada baris-baris bis

dan aku belum mengenal malam
sebelum angkutan terakhir beranjak

Ketika aku masih bercerita, dengung klakson
mengingatkan pada waktu
dan warna langit yang wajar

Tapi warna abu yang terbawa dari nafas
begitu luas, dan cukup untuk mengantarkanku
ke menit berikutnya

Kota ini pun, tak terlihat seperti garda
yang menyambut prajurit dari perang yang memilukan,
jengan jerit yang berserakan. Namun hanya sepotong imaji
yang akan tinggal, dengan senyum kisut yang awam,
“dengan batas yang tak ingin disentuh lalu lintas”, pikirku

Mungkinkan pergi adalah sebuah akhir ?
munginkah deretan ruko tak berpagar itu
tak ingin mengibarkan salam ?
aku bertanya. Apa yang membuatku bertahan
disini dengan gerak isyarat yang gelisah ?

Mungkin tak lama lagi. Jalanan hampir tak memekik
namun masih meninggalkan bising
saat aku tak sepenuhnya mengerti, apa
yang menarik dari pemberhentian ini

Mungkinkan aku tak akan pergi ?


(Semarang, 6-7 September 2015)


Pekerja Malam

Kulihat parasmu mendesah. Datar. Mendekatkan bunyi tulang
ke arah langit. Hujan waktu tak lagi tiada. Bukan lagi kata
yang berkejaran ke asal cahaya.  Dan pada fondasi itu
angin mengarah ke gerak bayangan yang berulang

Kalimat-kalimat mati. Raut tak meminta lelah meregang
lebih lama di pundakmu. Namun, selagi malam masih memberi ruang
dalam kerangka besi, setidaknya biarkan sunyi tak menjemputmu
di tempat yang mendirikan tubuhmu

Karena dari senyuman tipis, di balik sisa perkakas, kau masih membaca
langkah-langkah kaki yang mengeras. Dan saat kelelawar menurunkan bunyi,
seutas isyarat mengendap di balik punggungmu, bahwa kau tak perlu lagi
menjabarkan ilusi. Keringat yang membentuk wajahmu menandakan
bahwa malam mungkin tak akan selesai, dengan bau nafas yang masih kau jumpai.


(28/9/2015)


Di Tugu Muda

Aku tertegun dalam ilusi yang sebentar,
barangkali pun, aku tak pernah merasa
sedekat ini, dengan warna relief, sebuah alur
batu yang menggambar semuanya
dengan lekukan yang pucat
dan tabir yang mencuat

Menyusun titik, membentuk yang tak terlihat
dari ingatan,
petang menampilkan awal mula
hiruk pikuk persimpangan, ketika aku
baru saja menemukan malam
tergeletak. Tak berwajah

Tapi, disini pun
aku tak pernah merasa sendiri
dengan wajah yang tak ingin memihak
pada keasingan daun-daun, di bahu jalan

Dan biarkan dingin merangkul
deretan gedung-gedung dan
warna fondasi yang memberat
dan biarkan suara-suara itu
menjulurkan suasananya :
peluru-peluru terbang, dengung artileri
di sela nafas yang menemukan pertempuran

Dan potret yang berbekas pada
hitam-putih bangunan ini telah
berbicara dengan sendirinya

Hari-hari akan lewat
ke perbatasan dengan sisa
warna merah darah
sepuluh ribu pemuda

Dan aku yakin, malam-malam selanjutnya
akan menghadirkan lampu dan warna-warni taman,
putih dan kuning, seperti bias yang berpercikan
pada riuh bunyi air mancur

Ketika angin datang, seperti udara
yang berpindah ke jejak berikutnya
aku membayangkan sebuah gerilya
dalam riuh hutan, di kejauhan
dengan asap, yang selalu menyimpan
potongan-potongan kota

Lalu 70 tahun yang lalu
aku ingin hidup dengan menerawang tahun
dan kata yang mengeras : oktober,
“Oktober, telah membentuk Kota
Dengan macam ejaan dan definisi
yang tak pernah dibayangkan”


(Semarang, Oktober 2015)


Trotoar

Di sudut jalan itu, laki-laki itu, perempuan itu..
masih menghimpun sayup
yang mempertemukan dingin
dengan kaki-kaki, seperti mengulang rasa masam
dan keasingan

Kemudian saksikanlah, warna selaksa
yang berkejaran dalam nafasmu, di bawah lampu
pada mimpi belukar
di sebuah tanda waktu

Dan ingatan hilang, seperti hujan
di sela nisan, angin mampir dari keramaian
dimana dunia hanyalah kata-kata
yang seolah berdiri, berjauhan

Angin kembali menghimpit tembok bangunan
sebelum riak saluran air
memberimu langkah,
memberimu arah


(Semarang, 11-12 November 2015)


Desember

Kulihat hujan menggelayut ke dalam saraf
setelah beberapa bulan
dan seperti nyanyian, sepotong matahari
mesti mengangkatku dari serak
dan sebuah jalan di pagi hari

Sejak sekarang, burung-burung itu akan berhenti hinggap
pada suhu yang menyekap,
mendekatkanku pada hujan
dan wajah semak, beberapa bulan kemudian

Sebentar lagi, mungkin angin menggaruk ruh dan pelipisku
dan jumat terlepas, seperti menunggu
kabar lain yang melintas


(11/12/2015)


Wanita Pengemis

Dan wanita itu masih menciutkan wajahnya.
tangan yang mencari hangat
pada bunyi pertigaan, dan liat
yang ditafsir, pada pembatalan hujan

Dan ia sadar. Ia tak menangis.
di balik lalu-lintas yang datang
menawarkan ketiadaan

Dan wanita itu masih mengulang segan
untuk membaca badai, hanya gerimis
dan ratapan kata, yang sedikit mengubah arah angin
pada tempat berdiri, pada suhu yang sama
seperti kamuflase pagi


(22/12/2015)


Kuliah Sore

Sebenarnya pun, aku hanya ingin membubuhi
ingatan ini tentang jendela basah
dan meja yang dingin, karena usia

Ketika bunyi jam menyempit, itu menjadi
sebab pertama kata-kata menyebarkan suara
ke dalam ruang, meninggalkan muasal
dan latar belakang yang dituliskan :

“aku tak ingin tinggi tanpa berdiri”,
“aku tak ingin mendengkur tanpa tertidur”

Terkadang aku membuat bangku ini
menjadi sepi karena bunyi yang tersemat
membuatku berfikir: diam akan meringkaskan jarak matahari
dengan tengah malam nanti


(Desember 2015)


Aku Tak Bisa Meniru Malam

Aku tak bisa meniru malam. Ketika lembar hujan
menyangkalku dalam kalimat. Kata yang terlepas
membentuk debu dari sisa kabar
dan gerak angin yang pincang

Aku tak bisa meniru malam. Sejak akar-akar itu
merebahkan suara gerimis, yang berkerumun
beberapa detik sebelum daun


(30 Desember 2015)


Di Warung Makan

Kau mungkin masih membayangkan hal itu;
pada angan yang lambat
dan desing knalpot yang membentak
orang-orang tak akan menyapa
dengan gerak wajah yang ramah

Hanya gumam dan bau asing
yang tersembunyi
dari rak meja

Dan lampu tak menciutkan bayangan
ketika sepasang tangan menjadi pelayan
bagi jejal yang lalu-lalang
“apa yang kau pesan, tuan” ? Dalam malam
yang baru datang dari keramaian,
“apa yang kau pesan” ?

Kau mungkin sudah mengerti
seperti yang diulang setiap harinya, disini,
senyum tak akan ditawar
di ujung lipatan uang


(30 Desember 2015)


Bangun

Aku ingin menyimpan pagi
dalam laci kamarku
saat atmosfer turun
membekukan gerak
menyampaikan narasi
dari mimpi semalam


(30 Desember 2015)


Deklarasi Malam

Pada selimut ini malam berkeringat, dengan bau kulit
serta kesadaran yang masam
dan wajah di catatan itu akan lenyap
sebelum dingin mengendap

Tak ada kekal dalam perjalanan
atau apa yang mencatat musim
atau apa yang menggubris takdir
yang menuturkan senyap dan letak bintang

Dimana fantasi ini disisipkan,
pada buram dan tanda tanya
yang tak lazim ?


(3 Januari 2015)



Teras

Di langit-langit, sore menggumpal
 pada gurat jam. Aku selalu membayangkan
suasana ini pada waktu yang menahan gerak
untuk selalu menyembunyikan kata

Awan menjulang, dalam warna pudar
sejak tawa belum ditafsirkan
di setiap ruas jalan. Ini akan menjadi ruang
dimana orang-orang berpapasan di luar ingatan

Lama sekali. Setiap kali aku menunggu
seseorang membentuk malam
dari arah halaman, dimana wajah
tak lagi dapat ditemukan


(15/1/2015)


Mandi pagi

Ada syahwat yang tegak melekat
bersama cucuran air dan percik yang tumpah
di sela kelingking, tak ada yang berharap
pada udara terbuka, selain getar yang dirasakan
oleh wajah es, di sisa dini hari

Tiba-tiba terlintas
warna purba yang terbangun, merubah bening
pada kelopak mata


(16/1/2016)


Tribun

Saat kita terduduk, angin akan datang
dengan irama keras, atau not
atau nada yang terpasang pada bangku-bangku besi

Tapi itulah yang mereka sebut cerita
seperti parade yang bernyanyi
setiap musim, tanpa menanggalkan cahaya

Hingga spanduk-spanduk itu, tiang-tiang itu
kehilangan sifat asli, sejak pesta terakhir
selesai mengundang debu, juga remah pasir

“semua seakan-akan mati”,
bisik seseorang dari pintu keluar
dan kita hanya mencoba tak memucat

Setelah nalar enggan menyuguhkan waktu
saat kita menyebut rumput
sebagai sekumpulan warna yang usang

kemudian kita hanya menerka, duduk, berdiri
mengingat romansa yang tak kembali
pada hembusan riuh rendah itu

pada kerongkongan yang seolah terbuka
di menit-menit akhir itu


(Semarang, 21/1/2016)


Pesta Tahun Baru

Ada bunyi lain yang diberikan
oleh riuh jalanan. Detak jam saling kejar mengejar
dalam hitungan mundur

Hari demi hari telah terpintal dengan sendirinya
oleh masa lalu. Ingatan pun hanyut
membawa kata dan do’a yang bertaut

Dan malam kemudian menyala. Kota melepaskan senyap
dengan hiruk pikuk
dan warna-warni sejenak

Dimana-mana orang berteriak. Ledakan saling bersahutan
seperti bengis waktu
yang memaksa pengalaman-pengalaman
 menutup pintu

Apa yang dapat membuat kita
merasa begitu yakin dengan perubahan ?
seperti ilusi yang menawarkan butir kehidupan
pada pijar kembang api itu


(Semarang, Januari 2016)


Kalender

Pada dinding itu terbingkai sebuah bunyi waktu, apa yang mesti dinyanyikan
sebelum berangkat, akan menjadi pertemuan kembali setelah pulang.
Dan sesaat sebelum ada yang menempelkan perbincangan
pada sesuatu di ujung lipatan pertama itu, akan tumbuh seberkas angan
yang mungkin memabukkan,
hingga kelak seseorang memotongnya menjadi serpihan kertas tua,
dengan warna yang tak lagi didambakan. Namun, diantara deretan angka-angka itu,
ada bagian yang selalu terlintas, menjadi rangkaian
yang membawa lipatan-lipatan kedua, dan seterusnya. Dan setiap malam, seperti ada yang melukis kata demi kata, sepanjang kehidupan. Dan tulah satu-satunya hal yang dapat dilihat dan dipercakapkan, pada dinding kusam itu.


(27/1/2016)


Jembatan

Apa yang dapat bertahan
dari bising cuaca, seperti kita
yang begitu menghendaki
hujan, seperti ratap yang
menggerakkan riak, di bibir sungai

Di sela engsel besi ini, aku sadar
bagaimana warna air yang kasar
menggores tanggul, mengakhiri
setiap pertemuan, pada jam-jam senja

Ada banyak hal yang terpatri
yang tak sempat meresap
ke sisa bebatuan, namun kita masih
terguncang di jalur ini, setidaknya
hingga cuaca memastikan arus
 terdengar oleh malam yang menemui


(27/1/2016)


Parit

Kabarnya debu dan denyut yang mengalir di kehidupanmu dulu,
telah menjadi tamu di hari yang lain, dan kita hanya menatapnya
dari pintu ke pintu, seperti sampah yang menahan semak
menuju arah yang ingin kau ikuti itu
dan sejak air menjadi pasang, senja yang berjalan
dalam teduh akan memberikan bentuk yang lain lagi,
seberkas jejak basah yang sabar menunggu
arus berikutnya, menghanyutkan wajahmu sekali lagi

sayang sekali


(28/1/2016)


Romansa Kota Kecil

Kita akan melihat rumah-rumah menggigil
dalam dongeng, tanpa ada yang menyangkal
hujan telah berhenti saat pijar lampu
menyiapkan dunia pada malam hari

Kita akan melihat malam menciutkan langit
dan petak bangunan. Hanya selokan
yang lelah menjaga kehidupan, yang menyusup
pada hiruk-pikuk trotoar

Pada jam kesekian, hanya pejalan kaki
yang memungut asap, ketika musim dijatuhkan
dari daun-daun ketapang, meskipun garis aspal
masih menjadi warna yang dijumpai
sebelum pagi


(Purwodadi, 30-31 Januari 2016)


Panen

Beberapa saat yang lalu
angin mengeringkan langit
dan jam menjadi sibuk, ketika
kita menemukan lumpur
pada jejak kaki yang akan kembali.

Semuanya dipikul. Batang demi batang tercerabut.
pada kuncup-kuncup tua itu
gurauan menjadi berarti, karena matahari
akan melapangkan pagi kita, sekali lagi
dan pada jalan berbatu itu masih terlihat
bayangan tubuh kita yang tipis

seperti sorak sorai
yang membekas pada celah jerami


(Purwodadi, 31 Januari 2016)


Dialog

Ada sesuatu yang kecil di bibirku, bergerak
tak teratur seperti musim, seseorang yang menyajikan
parade terus-menerus itu selalu ingin mengejutkanku,
dengan rahang yang berhasil membunuh waktu

Tapi ada hal-hal lain selain kata, yang keluar
menuju celah pintu, yang tak sempat tercatat
pada sinopsis ini. Sementara itu, lewat kata,
akan terhimpun garis yang mempertemukanmu
dengan sejumlah titik, yang kau lewati itu.

“Tak ada cahaya yang tertulis di pertemuan ini”, ujarku


(1 Februari 2016)


Sajak Tengah Malam

Ada tabu dalam kepalaku
hingga udara yang tak terdengar
masuk ke ruangan ini
dan senyap berjajar, berjalan
menyeret kabut, berulang kali


(1 Februari 2016)


Rel

Siapakah yang akan kutemui
di sepanjang sempadan ini ?
dan setelah terbit angin, bukit-bukit kosong
akan menjulangkan cahaya
dari hutan, yang cukup jauh, kabut membentuk kepergian
menjadi samar, kota pun menjauh
dalam gaung nyanyian. Aku tanya sekali lagi,
Siapa yang akan kutemui
di sepanjang sempadan ini ?

Sesuatu akan selalu pergi,
menggiring batu-batu terjal
naik turun, dan sepasang palang besi tua
masih terlihat, di antara gerak asap

Mungkin hewan gembala itu, juga
persawahan itu
akan kembali menawarkan sepi
saat hari-hari melambat
di kejauhan


(Grobogan, 1 Februari 2016)


Di Dalam Bus

Pada kilometer ketujuh kau lihat pohon-pohon menari
di balik tikungan, atau siapapun yang bersedia terlepas
dari gairah, dari jendela yang bergerak itu.

Dan kau hanya melihat aspal yang tak mendekat, seakan
menunggu cahaya di balik bukit itu. Kemudian, dan seterusnya,
hanya angin di kiri-kanan kita yang tak menyentuhmu

Kulihat kau sedikit gugup, saat menunjuk sesuatu yang panjang
dan bergegas, dari sisa perjalanan ini
aku mencium sesuatu yang berbeda
di setiap tapal batas, seperti sebuah isyarat
untuk mendatangkan kata

Lalu, beberapa menit sebelum berhenti,
aku mulai terbiasa dengan dengung mesin
yang diulang, suara kursi yang gemetar di tanjakan,
dan ilusi yang kembali memintas, tak mendekat


(3/2/2016)


Pancaroba

Suara hujan yang nyaring
membasahi langit, aku masih mendengarnya
saat udara menyusun elegi hari ini

Aroma tanah yang berayun, semerbak
dari kuncup bunga-bunga, aku masih menciumnya
saat para petani belum menanggalkan jejaknya

Kita tak bisa lagi mempercakapkan iklim
atau membayangkan arah angin
dan badai yang turun
akan membentuk pucat yang melekat
pada horison, di wajah langit

Dan ramalan berita mengatakan,
 besok akan selalu sama
dengan rintik dan warna gelap yang biasa,
karena cuaca akan terus beralih
dari atap ke atap, di setiap detak jam


(3/2/2016)


20

Terkadang aku mendengar desah sesuatu yang terlewat
dari pintu-pintu yang sedikit terbuka
saat pagi beranjak dari kursi
melampiaskan jejak, warna-warni
yang asing di persinggahan

Terkadang aku melihat gerak matahari yang meloncat
dari kerumunan pohon, seakan memberi pesan dan petuah
dari dengung serangga, yang tumpah ruah
ke langit putih

Ini bukan lelucon, mungkin
umur adalah paras yang terlepas dari wajah
seperti waktu yang berjalan, berhimpitan
keluar dari warna pagi


(3-4 Februari 2016)


1 komentar:

  1. Tran-hui-bets.com: Tran-hui-bets.com.ng 1xbet 1xbet william hill william hill 188bet 188bet dafabet dafabet 카지노 가입 쿠폰 카지노 가입 쿠폰 happyluke happyluke 527 Casino Games - Bokta Casino - Thakasino

    BalasHapus