BAB III
SEPERTI JUM'AT PAGI
Seperti Jum’at Pagi
SEPERTI JUM'AT PAGI
Seperti Jum’at Pagi
Seperti jum’at pagi
yang terlindung dari luka
dan suara
Barangkali masasilam itu
masih mengucap peta dan lambaian
dari butir waktu
serta arus parit
yang mendarat di sudut kamar
Sebuah dingin, sebuah
depresi
telah mengangkat tafsir
dari kegaduhan yang datang
setelah lelah
(Semarang, 18/3/2016)
Cuaca
Sebentar lagi kita akan mengenal
senyap yang membentang
di ketinggian, adalah
burung-burung
yang melebur dalam gema, sebelum
langit nampak terbuka
Sebentar lagi kita akan mengenal
berita yang lenyap usai
diterjemahkan
oleh hujan, sekelebat kabar
muncul
di perbincangan, kemudian,
mendung pun hinggap
di sela musim, dan suhu
mematahkan kata
yang terakhir diingat sebelum
gelap
(Semarang, 18/3/2016)
Meditasi
Di ruas ini aku menerbitkan
metafora
dimulai dari rasa getir yang
gemetar
mengendap ke ratap, ke tubuh
yang mengangakan wajah
Adalah sebuah kesalahan,
ataukah kebetulan
ketika gaung menyusul
ke buku catatan, seperti sisa
isyarat pada raut dan bunyi malam
Kudengar angin menunduk
udara terlepas ke sudut, namun
tak ada ketakjuban lain sebelum
jam
membunyikan bel tidur
tapi sekarang aku tak ingin tidur
(Semarang, 19/3/2016)
Bola
Plastik
Hari mulai landai. Pohon
turun-temurun
menaungi rumput yang membebaskan
dari lembab dan basah. Mereka
mendengarkan
ketika jerit dan kemelut
mengembalikan debu
dari kesepian
“Gol...!!”
“1-0....!!”
Di bawah kepak panjang burung-burung
senja
tak terdengar peluh menikam,
ataupun utas keluhan
Mereka kembali mendengar gemuruh
perang yang meletus
bersamaan. Saat kaki dan nafsu
melintas. Kesana-kemari,
saat sore mengendap, di setengah
jam permainan
Seperti detik dan bunyi
walet
yang tak diingat lagi,
seperti dongeng yang terkoyak.
Semua berhenti.
“Gol...!!”
“1-1....!!”
Pada setengah jam terakhir
siluet merah memantul di kedap
tanah
dan perang menjadi
potongan-potongan gerak
yang menyilaukan
Panas dan serak
berhimitan
dalam paras empat belas orang,
sebentang lapangan
akan memberikan ruang
untuk selalu diceritakan
Dan tendangan terakhir terhempas,
teriakan terlepas
“Gol...!!”
“1-2....!!”
Semua langkah berpamitan
namun tak ada tangis, tak ada
pesta-pora
yang ranum, seperti warna senja
yang menembus sumsum.
Tak ada kekalahan
di wajah-wajah mereka
(20-21 Maret 2016)
Kepada
Wanita Pengemis Itu
Kepada wanita pengemis
itu
siang berangkat ke masa depan
lewat perangai dan raut, yang
mengenal
suara berisik dari perut
Lalu ia mendengar riuh
setiap langkah kaki lain, yang
jauh
hampir membentuk kehidupan
Tapi kehidupan, baginya,
adalah seperti
kilap kaca-kaca mobil, emperan
yang lembab
dan etalase yang tak menjawab
Karena ia yakin
langit tak menanggalkan lazuardi
dari karamaian, siang yang telah
berangkat
akan menjemput setiap ratap
dan kalimat yang berharap
(Semarang, 21-22 Maret 2016)
Para
Pengepul Sampah
Malam berpeluk di
lintasan waktu
dingin menyisir kelopak, pelan,
seperti sebuah prosesi, semua
raut tertutup
pada semak belukar, di dekat
jalan
Hidup adalah deret
kosakata yang berkemas
dalam tanda tanya, dari ruang
dengan selembar tikar tua itu,
tak ada ingatan yang tak mati,
dan tak ada yang bisa menyanyi
Hidup adalah jengkal
demi jengkal jam
yang melupakan refleksi, hanya
kata,
plastik-plastik tua, sebuntal
kardus,
dan bayangan-bayangan tubuh
dengan ritual yang samar itu
yang hampir bisa memberikan
jawaban
Tak ada waktu untuk
selesai
“Tapi
hidup bukanlah hari ini,
Bukan
juga bungkusan sisa sarapan kemarin”,
lalu pada formasi bintang-bintang
di mimpi langit
Ia benar-benar
meninggalkan sepucuk kalimat
yang tak terdengar :
“Besok
mungkin aku akan kembali lagi,
jam
2 dini hari”.
(Semarang, 25/3/2016)
Lembah
Kreo (1)
Setapak nyanyian
singgah dari ujung-ujung
kampung
Mereka melihat
apa yang ingin kita lihat
sebagai bercak sejarah
dari lereng selatan
Ketika ketakjuban itu
datang pertama kali
bersama arus sungai
yang berkerumun
Tapi, dari apa yang kita
saksikan
pada seutas gema
yang terdengar sebentar
Akan selalu terlontar
pertanyaan
tentang asap dan kecemasan
oleh baris pepohonan, yang memucat,
yang tak bergerak
(Semarang, 31 Maret 2016)
Di
Pasar Johar
“Akan
kukirimkan pesananmu,
sekarang
duduklah”
Siang pun jadi panjang
membentuk semua paras
yang menunjukkan ruang
dimana bau lumpur dan wangi
parfum
saling bersahutan
Dan bayangan-bayangan
bergerak
dari celah waktu di bait pertama,
menuju hidup
yang mengguyur paving jalanan
Kau akan melihat, mencerna
semua yang tercatat dalam
percakapan yang berserakan
seperti semula, sebelum kau
datang,
sebelum kita datang
Tak ada yang menawarkan
akhir
ataupun mencoba mengusir
“Jangan
Khawatir, akan kukirimkan pesananmu,
Sekarang
duduklah”
(Semarang, 31 Maret 2016)
Berangkat
Ke Sawah
Sebuah pagi yang panas.
Seseorang berlengan panjang
memberikan isyarat ketidaktahuan
yang enggan menyelinap
ke dalam pertanyaan. Ke dalam
cemas yang membenturkan dirinya
pada bebatuan
Tak ada yang sengaja
menghantui
dari cuaca yang tak terjamah
meski tak ada lagi yang
mengharapkan
Tapi kita tak pernah
berfikir, seperti waktu
yang hanya berjalan di tepian
pematang
dengan bayangannya yang lebat
Ya, seperti dulu
kita hanya mencoba menyukai
kehidupan, dan sebuah pagi
yang terlepas dari hujan
(3/4/2016)
Upacara
Bendera
Ia membayangkan sebuah pertempuran
di bawah matahari, ketika para
prajurit gerilya
muncul di tengah-tengah asap
dan wangi mesiu, ketika
peluru-peluru dilontarkan
ke delapan penjuru
Ia mendengar suara detak sepatu
dari semua arah,
saat warna langit mendekat,
ketika tak ada yang dibicarakan
dari masa depan
Ia melihat semua api
dinyalakan, di sudut itu
semua seperti bergerak, seperti
menitipkan
sejarah sebagai jejak yang
mendebarkan
Tapi ia ingin segera
melupakan, menyelesaikan
apa yang disimpulkan di lapangan
luas itu, sebelum
debu kembali memecah bisik dan
hening yang saling bergantian
Namun, di barisan
pertama, ia merasa
fantasi tak bisa dikalahkan, dan
panas
bukan lagi menjadi sesuatu yang
menakutkan
(3/4/2016)
Hari
Ini Aku Menulis Puisi
Hari ini aku menulis
puisi
saat panas tumbuh di lantai
kamar, dengan sisa sebuah tempat,
sebuah titik, dimana aku adalah kehendak
yang tak dibaca
Malam meronta, diluar cahaya,
ketika ronda menutup memori
dengan engsel besi dan sedikit
langkah kaki, seseorang pernah berkata
bahwa langit akan kembali ke
depan pintu, saat semua kalimat selesai
Aku tahu dingin membaur di antara
sisa makanan yang tumpah tadi petang,
sebelum mimpi muncul dalam
percakapan yang lain, namun tak ada celah
di kolong meja yang memaksa
kecemasan menyergapku keluar
hari ini aku telah menulis puisi
(14/4/2016)
Daun
Pintu
Tak ada yang sengaja mendatangkan
hujan
seperti suara bel yang muncul
di awal kemarau, dari deret
pohon-pohon usang
pada sebuah masa silam
“Jangan
berdiri disana..”
Aku bertanya, apakah ada
tamu
dari luar sana ? adakah sambutan
lain
pada ruang yang terpencil ini ?
saat pengalaman-pengalaman
membujuk
kegembiraan yang busuk
“Jangan
berdiri saja disana, keluarlah”
Tapi sudahlah, tak ada
lagi perayaan
dalam nyanyian kanak-kanak yang
berpercikan
atau mungkin ini mitos terakhir
tentang ingatan yang
mengembalikan pagi
dan hujan di balik serambi
Dan disana, tubuhku
adalah petunjuk tak dikenal
di sebuah ruang, dimana dongeng
pun
tak ada yang memperkenalkan
“Jangan
berdiri saja disana, keluar dan bermainlah..”
(14/4/2016)
Sarapan
Maaf, aku tak sedang tak
berlindung sekarang
dari lipatan pertama koran pagi
dimana mimpi takluk, oleh
opini-opini
yang membangunkan
Apa yang dapat dijawab, apa yang
dapat dibenamkan,
dari riuh jeritan yang pucat ?
dari suara berita
yang bergerak lambat ? terkadang
aku
mencoba menemukan lupa dari korden
jendela
yang segan memperlihatkan luka
Di atas meja, bisakah
kantuk mendaratkan
mimpi ke tempat asalnya ? karena
tak ada yang terlihat
selain paras kerangka, pada tubuh
yang tak bersuara
(Semarang, 15/4/2016)
Sepercik
Kota Lama
Aku akan merasa sunyi
kali ini begitu terperinci
ada suara yang membangun hal lain
di luar benteng dan barisan
gedung-gedung. Adakah yang menyampaikannya
pelan-pelan ?
Aku tak terbiasa. Dengan bangunan
terbuka, udara melumur
sisa waktu pada bagian tembok
luar, terlihat seperti
warna nasib yang bergoyang. Aku
tak terbiasa
dengan dongeng-dongeng laut yang
berusaha menenteramkan
Jalan dan malam begitu
berlainan, dan ini terjadi
sebelum semua berlindung dari
mimpi
(Semarang, 19/4/2016)
Potret
Seorang Bocah SD
Pada lembar pigura itu,
di meja ruang tamu, masih
terlihat
pucuk-pucuk cuaca menyeberang
pada gurat yang lain,
lewat bekas sebuah wajah
Namun tak seperti hantu
yang berkelebat
di pintu malam, tak hanya suhu
yang
begitu membekukan, tak ada
rahasia
yang menggenang di kubangan, dan
kenangan pun tak pernah mencekam
Aku menemukan warna
kulit yang sedikit asing
dan bayangan jendela yang
setengah terbuka
dan di ujung bawah bingkai, di
dekat dinding
tersemat angka “2003”
(19/4/2016)
Di
Sudut Kota Ini
Di sudut kota ini, gelap
bukanlah apa-apa
rumput bertiup, tak tentu arah
dan tak ada lagi perintah. Sama
seperti
bulu wajahmu yang berdiri
menunggu seseorang, memberikan
ekspresi yang sama
di jam yang sama, hening yang
sama
Maka keluh kesah ini pun
kembali ke telinga
setelah hujan, suara air, dan
dengung badai
tak pernah lagi mengingatkan
Di sudut kota ini, ada
sajak yang bersandar
pada sebuah bangku taman, ada
alamat tersisa
dan ingatan yang tak dihilangkan,
atau..
mungkin sebaiknya, gelap tak
pernah hinggap di sini
(19/4/2016)
Sebuah
Kunjungan Ziarah
Dimana
aku..... ?
Tak sedikitpun kata yang
bisa lenyap
sebelum fatamorgana, di atas
seakan
gerak daun dan nafas membaur
perlahan-lahan, dalam cengkrama
yang ditahan
Papan kayu, bentuk tanah,
persilahkan sepucuk kenangan
menggugat
warna langit yang lebih pucat
Lalu dengarkan
ketika doa-doa panjang mereka
membuka sukma, seperti suara
kelelawar
yang menangis
Papan kayu, bentuk tanah,
(atau seutas bayangan berjubah)
persilahkan wajahku mengingat
magma dan kantung mata yang habis
setelah membidik arah bertempat
tinggal
dengan tanda tanya sepenggal
Tapi,
dimana aku.. ?
Kemanakah
Wajahku.. ?
(21/4/2016)
Sebelum
Tamasya
Kau tahu, kita akan
pergi jauh
lupakan pintu itu, kita tak akan
mencantumkannya
pada narasi yang berbeda
Sejak kudengar keluhan
itu, aku mengetahui
setiap hitungan mundur yang
menyebalkan,
dan metafor yang tengah menikam
Lambat laun, ada yang
membujukku
untuk tak bertanya, untuk apa
kota-kota itu tergetar
saat aku kembali menyebutnya di
tempat kedua
Sebelumnya, jangan kau
perkenalkan lagi
gusar yang ingin kau sampaikan
di awal perbincangan, hanya
nampak aspal berdiri di kejauhan
Sebelum kita berangkat,
tak ada yang menanyakan
sejauh mana kegaduhan itu pergi,
atau kemana lagi
kita akan berhenti
(Semarang, 23/4/2016)
Di
Ujung Gang
Seseorang menatap
layang-layang
yang berserakan di langit
dengan riuh-rendah bahasa tubuh
Dan seringkali
tak ada jarak yang menuntun
untuk menawarkan celah
ataupun pintu keluar
Lalu,
apakah ini sebenarnya ?
hanya kelebat anak-anak yang
bermain
di jalanan buntu
sebelum angin menggusur suntuk
ke arah beranda yang mabuk
Memang, sunyi yang tak
begitu menyekat
akan selalu menyembunyikan
riwayat
(23/4/2016)
Tidur
Siang
Semuanya begitu singkat
saat kubuat bentuk waktu apa
adanya
dari sisa lekuk nasib, tak ada
pesan
yang mengejutkan
Di ornamen cuaca, terasa
gerak awan mengepung
jendela, dan di arah belakang
deret alfabet yang mengambang
sesaat memberhentikan mimpi
yang usang
(Semarang, 23/4/2016)
Menanam
Palawija
Tak semua suara menjadi
nyaring
di kebun belakang
begitu juga degup
dan baris taksonomi, yang baru
terbuka
Maka, pagar selesai
dihimpun
saat sebuah janji menyahut
dalam do’a subuh
untuk menyalami benih dan tubuh
Tapi tak ada air
melintas
di antara lubang
tapi siapa peduli dengan iklim
dengan arah yang menggelisahkan ?
Hari akan habis
tanpa sisa tandan
dan bagian yang tersiram
Adakah berkas rerumputan
itu
terus membiarkan gusar mengapung
dalam trenyuh, saat langit
menjadi gugusan
yang tak terduga
Di segmen awal penantian
tak semua suara menjadi nyaring
di kebun belakang
(30/4/2016)
May
Day
Orang-orang keluar
dari
gedung pertemuan
dari ruang rapat umum
dengan membopong sungkan
Hanya selapis, baris
jalan raya
dirasuk, kehidupan tak masuk
tanpa bau dahak, ataupun
tengadah langkah berdiri
seperti serak
Sepertinya, hanya kita
yang menyisakan khawatir
pada benang topi, namun
tempat ini tetap akan membuka
tirai
Siang hari, mimpi-mimpi
kering dan terbentur
di kedap kota. Kita tak terlupa :
jangan lagi membaca
(mereka melihat tuntutan rangkap
yang tak terbayar, di ujung
barisan
yang buyar)
Siapa pula yang berbalik
setelah terik
saat seseorang lari membawakan
minuman
ke arah teriakan
Ada sudut yang
dimusnahkan
pada melodi dan kalimat berita
pesuruh dengan penutup kepala itu
kembali memperingatkan : Hari ini
tetap milik kita
Kemudian semakin
terdengar bunyi berseru
seperti bersatu
seperti bisik yang klise
di dasar sepatu
Kita akan mulai melelang
pertemuan, tanpa penggalan
berharga
kata-kata yang mabuk, ataupun
diskusi suntuk
Dan hari mulai
menghitung
langkah tubuh yang ke-200
saat spanduk-spanduk merah
naik dari tanah
(karena tak akan ada yang dijual
dari mesin pemintal, cerobong
pabrik,
dan proyek yang menyedot malam)
Kita ingat, ketika lupa
menggusur
pesan kosong yang muntah
dan siluet makna yang
dipekerjakan, oleh sumpah
Akan terbentuk luka yang
meleleh
di kedalaman, dan sejak pagi tak
terdengar
janji-janji dibacakan
Di setitik tanggal,
tahun akan berputar
pada poros yang sama
dan mungkin masih ada teka-teki
memanggil
dari kerumunan
Kota masih tergambar
dengan garis bengis, ketika siang
nampak
seperti debu panjang, yang
terkikis
(1/5/2016)
Korban
Masih ada letih disimpan
di pintu gang, dan
halaman-halaman rumah
berhenti menukar dingin
dengan pucuk cahaya yang
membangunkan
Seperti paras kaku
tubuh seorang perempuan
seperti senyap pagi
di awal bulan
Pada celah selokan itu
tak ada yang ingat
malam-malam berwajah rapi, masih
begitu segan
menyembunyikan mayat
(1/5/2016)
Radio
Terdapat sinopsis yang
mengelupas
dari kabar. Dimana aku ingin
duduk,
dimana aku berusaha percaya,
setiap yang terdengar
dan hilang di pergantian
frekuensi, adalah gesekan peristiwa
yang bertukar ejaan, di meja
ruangan
Selalu ada risalah yang
menggemparkan
saat selokan itu memperlihatkan
topan yang terapung, disusul
keluhan-keluhan
di bawah mendung
Seakan-akan kematian
tersimpan
dalam lumut, bulan yang raib di
tiap akhir malam
tak bisa mengundang suara kembali
ke antara jalinan kabel, parade
musim panas mengisahkan kembali
imajinasi yang tandas
(7/5/2016)
Pasar
Malam (1)
Beberapa tahun yang lalu
aku pernah merasa disini
sebagai bagian kecil lalu lintas
yang tak terkejut oleh kerlip
warna-warni keramik, saat warung
yang baru terbuka
memberikan nyala
Pada hari ini malam tak
menciptakan lelucon
tapi sebenarnya, tak ada jarak
tersisa
dari hangat dan parade, permainan
adalah
narasi yang memperlihatkan
patung-patung replika
kincir angin berputar dan riuh
mengendap
di antara kilau lampu reklame
Kau tahu, dik, tempat
ini tak mengusir remang
yang gagah menemani, hingga
putaran terakhir
anak-anak dan orang tua
membiarkan
raut waktu terpasang pada lekuk
diorama
yang tak terjangkau, di sisa
festival itu
Beberapa tahun yang lalu
kita pernah merasa disini
(7/5/2016)
Menonton
Televisi
Sudahlah, hal terakhir
yang bisa dimengerti
dari kecamuk, adalah
semacam warna
pada diafragma, dan benarkah
harap dan wangi
masih bertanya-tanya akan cemas
di makan malam selanjutnya
Tak ada lagi perkenalan. Segmen
yang menyingsing
membuka paras yang tak dinamai.
Tapi marilah bersulang,
untuk nyanyian sepintas yang
terlihat seperti rintih
di pedalaman
Dan hasrat yang tetap, muncul
beriringan dengan
gambar-gambar berita, kemiskinan,
pembunuhan, pemerkosaan,
drama, iklan, lelucon, atau jerit
yang tak disampaikan
Di ruang keluarga, tinggal sisa
genangan
pada riuh yang pergi
seperti rentang cerita yang sibuk
merubah pintu, sendiri-sendiri
(9/6/2016)
Obor
Aku tiba-tiba menyelipkan kenang
dan perasaan saat tanda yang terlewat
membuat perjalanan mengumpulkan
paham
yang serupa
Sejarah adalah beku yang
terbentuk
setelah percakapan, setelah kita
lelah mengingat
jarak tahun-tahun yang mengepul
dalam ampas dan manifestasi
Kulihat sisa tubuhmu, sebagai
bongkahan
yang menirukan nyala, ke arah
belulang,
ada bagian masa silam yang pergi
Bukan untuk membersihkan diri
(Mrapen, Grobogan, Juni 2016)
Lembur
Aku menyusun kata sebelum tengah
malam
di atas lantai, tak ada yang
mirip dengan takdir
yang merapatkan pikiran,
sebentang jingga, masih mengalir
dalam regang ketika tetesan air
di sukmaku
masih terguncang, serupa festival
kamar
yang menghimpun bunyi-bunyian
Catatan dan ingatan berserakan,
buku dan hymne berserakan
pada meja kerja, begitulah
tak ada yang bisa dihilangkan
dari temaram, tangan-tangan
yang bergadang sedemikian pelan,
memahat
kikisan waktu yang terjulur
pada sisa pekerjaan
Biarkan pagi meneguk sisa kopi
yang tersisih di samping
kegusaran
(13/6/2016)
Halte
Alir, alur, atau jalan air
ataukah hal lain
yang senantiasa membiarkanku
terperangkap, oleh aroma
angka-angka
yang mati rasa
menuju cemas pada
ujung lidah yang renyah
Kau tak lagi memperkenalkan,
tempat duduk dan seikat pertemuan
dingin yang menjulur ke bawah
menukar semua keluh kesah
Dan di pundakmu, kudengar gelisah
dalam rajutan kain, juga riwayat
yang basah, masih mengitari
dingin
Di bawah atap ini
cuaca semakin aneh
seperti klimaks novel
yang kacau
Dan terkadang seperti
rasa canggung yang menipu
dari celah bangku
(Semarang, 17 Juni 2016)
Reuni
(1)
Semua yang pernah kutemui
telah mengingatkan, bahwa apapun
yang tersisa pada tempat ini
tak akan merubah rahasia
pada ujung cerita, yang sama-sama
meruncing
di punggung kita
Setelah kita duduk lama
ada bait nyanyian yang tak
berhenti
bahkan ketika waktu tergesa
menawarkan skenario yang belum
dinamai
kawan,
maukah kau menukar tempat duduk itu
dengan
tawa yang terbungkus
dengan
warna salju, di belakangku ?
(17 Juni 2016)
Dinding
Sampai kapankah
kita berdiri tanpa sebab dan
muasal
seperti dinding yang percaya akan
tanda
dan sayup langkah kaki, dingin,
berribu kali
memaksa malam mengembalikan pagi
Hanya terlihat
batu-batu menyamar
di dalam gelap, juga takdir
yang sementara mengikat
Disini, kita mengeja sesuatu yang
begitu sama
ketika hidup meletakkan sisa
riwayat
di antara pilar-pilar kenihilan
(Semarang, 22 Juni 2016)
Tas
Pinggang
Aku melihatmu dengan pupil
dan metafor yang sedikit terbuka
:
sebuah tas pinggang, dan tak ada
lagi
catatan terpapar di dalamnya
Tapi aku paham, aku ingat
dalam piknik dan sibuk yang biasa
huruf-huruf bergerak pelan
di buku catatan dan
menerjemahkannya sendirian
Tak ada sejarah di wajahmu
dan sebuah resleting, beberapa
jahitan
adalah tempat beberapa ingatan
disemayamkan
Tapi hal yang tak berarti lagi
ini
pernah membawa pengalaman
kepada ilusi, yang menenteramkan
selagi kutemui
(23/6/2016)
Untuk
Sebuah Judul
Akan ada sebuah sajak yang
terlempar
dari tangan, yang melambai
ke akhir suara
Akan ada yang pelan-pelan
mengintip resah
pada rautmu, atau angan
yang sengaja mendengar langkah
seperti yang biasa kau jumpai
Akan ada suatu hal yang terpencil
dari hingar bingar
di ujung kertas ini
dimana aku sama sekali belum
mengenalnya
(24/6/2016)
Di
Perempatan Jalan
Di perempatan jalan itu semua
lampu tertunduk
pada secerah senja yang
memanjangkan bayangan
seperti hujan lalu lintas yang
runyam
Seakan banyak yang akan disisakan
oleh artefak dan kobar yang
menyibak bangunan
di tiap perbincangan
Dan pada semua tiupan nafas, tak
ada semerbak sama
yang datang, situasi tetap
berjalan
dalam warna, gerak, kecepatan,
dan gemuruh
jalan raya
Di perempatan jalan itu semua
menampung beban dan rasa bosan
seperti ketika senja belum
sempurna diciptakan
(25 Juni 2016)
Lupa
Kini hanya sekedar ikatan yang
mengantarmu pada senyap
sebelum malam menampakkan gerimis
dari dalam cuaca
Doa-doa berujar dan menyendiri
meminta penutup malam yang asing,
menyisipkan lupa
Selain semua itu, aku hanya
pernah melihat angan yang lewat
dan menyusun lipatan-lipatan bekas
di dalamnya
(27 Juni 2016)
Lapangan
(1)
Ia membawaku pada sinopsis itu,
sebuah lanskap, yang mengubur
wajahnya
pada hari-hari kemarau
Setiap tahun. Sebelum musim
menyiapkan angin
ada suara yang redup setelah
menemui rumputan
dengan laju yang memenuhi asap
pedesaan. Ada rumah-rumah yang
lelah
saat senja memberangkatkan birahi
ke urat nadinya
Mungkin hanya cerita anak
yang sekedar mengingatkan, pada
semua ihwal itu
Atau mungkin hanya angan
yang sedikit dipaksakan
(28 Juni 2016)
Kolam
Musim panas berlayar di permukaan
mengusir jejak daun yang menyeka
kering
pada sandal. Kita sama-sama
membayangkan
sebentar saja tentang suara
lumpur
dan sunyi yang melepaskannya ke
tengah
Kita menambatkan ikan-ikan di
tiap kunjungan
selagi tak ada khayal yang meluap
ataupun disamarkan
Akankan hal ini dapat kembali
lagi ?
kapankah hal ini dapat kembali
lagi ?
saat aku melihat awan terpantul
di air dan
nama seseorang berjemur di bawah
bayangan
Karena terkadang gersang dapat
juga menenangkan
(1 Juli 2016)
Hari
Untuk Seorang Petani
Telah ditandai sebagian besar
riwayat
potongan-potongan rumput
Dan hidup akan menjauh
dari kristal yang meleleh
di kantung mata
Disini tak ada badai yang
mengigau
dan menemui seseorang
dengan karung jerami di
pinggangnya
Ada tahun-tahun terakhir
dimana suluk tak dinyanyikan
bersama parade musim
Abu silih berganti
mendekat, emprit dan camar
bertukar bahasa, seperti desah
suara seorang tua yang dalam
Tapi, ia tak menunggu malam
menuntaskan pekerjaan
pada siklus dan arus sungai
yang redam
Pada bongkahan tanah itu
semua berjalin, sesuai dugaan
ada tali-temali yang tergeletak
dan air yang mendekap
Ia tak ingin mengerti tentang hal
lain
di bawahnya
(2 Juli 2016)
Petasan
Ketika kabar beranjak dari
pintu-pintu bangunan yang tertutup
banyak sekali yang bisa ditemukan
sebelum gelap selesai,
sebelum surya mengejar dari arah
sungai
Kita temukan gema tadarus yang
melengkung, dari gang kampung
saat mulai tercium asap yang
kemudian musnah di lubang hidung
mari
kita berlari, ya, lari saja. Mulailah suka dengan lembab nafasmu sendiri
Sebenarnya, bulan yang khidmat
pun kemudian terbakar, di ujung sumbu
dan tangan algojo yang gugup.
Tapi bukan malaikat dengan seikat bunga di pergelangannya
yang akan muncul dari jalan desa
itu, hanya teriakan yang kerdil untuk perayaan
awal hari ini, seperti jasad
transparan yang berayun kesana-kemari
Degup mengejutkan rahang. Langit
seperti terpal yang ingin menyembunyikan dingin
pelan-pelan. Tapi, siapa tahu aku
masih akan disini dengan anomali, yang memahat
mimpi tentang serbuk udara dan
kertas koran.
Ledakan ke-20 menggumpal di
depanku
setelah itu, kita bersama
melupakan suhu
Ya,
memang ini menyenangkan
(3 Juli 2016)
Sebelum
Sore, Di Sebuah Hari Di Bulan Juli
Kucium angin pasat yang berubah
di batas sebuah dusun, ada doa
yang telungkup tadi malam,
setelah menjemput hujan
yang tak dibayar
Kucium wangi sawah, dan beberapa
titik matahari
yang berjalan, ke bongkahan tanah
hingga jejak daun yang tersimpan
dalam tidur, membuatku menyadari
tak ada musim panas disini
(4 Juli 2016)
Ruko
Pagi kembali bekerja
seperti falsafah, yang tak
berhenti
membuka pintu dan membersihkan
meja
dari senyap yang sebenarnya tiba
Ada suasana lain di sekitar sini,
kota seperti jalinan paralel
dan cakrawala masih terbungkus
dalam mantel besi
Dan pelanggan pertama datang
saat kalimat tersusun di rak
dan tanda masuk, mengikuti lekuk
abstrak matahari dan bau kopi
Dan pelanggan kedua datang
(12 Juli 2016)
Langgam
Resapi kembali
bagian-bagian nada
yang luruh menuruni
punggung batu
Sudah sepantasnya
kuharapkan refleksi
juga kepak merpati
dari paras bukit, di sebuah
dimensi
Lalu kubawa tanganku
pada tanda jeda
yang saling bertemu
pada instrumen biru
(Purwodadi-Kuwu, Juli 2016)
Pengecor
Jalan
Mereka berujar bahwa di bawah
panas, para pekerja itu
menyimpan pelupuk remang di balik
maskernya
Debu menyusul. Ada gemuruh yang
lekang
dalam adukan beton. Tapi ada yang
menyimak
kilap tangan dan keringat dari
kejauhan,
seperti rehat yang tersisa.
Seperti manusia
Mari mengukur luas dan rasa getar
pada cekungan baja. Meskipun
nantinya
hanya malam yang melepaskan diri
dari laju pasir dan koral. Coba
dengar,
semua ini perihal mimpi dan
isyarat harapan
yang tergantung di antara langit
dan gumam
Lalu seseorang menawarkan
senandung
dan bayangan asing pelintas
pada lelehan batas yang tumpas
(Juli 2016)
Senin
Pagi
Sementara ini, kupegang pipa besi
dalam sukmaku, darah memekatkan
mimpi
dan lumut memberat pada hijau
nafsu
Jam 7 pagi. Dunia akan terdampar
oleh embun dan simfoni yang kasar
(Juli 2016)
Car Free Day
Simbol-simbol berujar,
mencari tempat pada hangat aspal
Lanskap dan permainan terserak
seperti kertas-kertas eksemplar
Kabut beranjak, trotoar lebam
setelah suara knalpot padam
Lalu siapa menyapa siapa ?
siapa menggerakkan siapa ?
Gedung tak terdengar
dari taman kota. Meskipun kita
siaga
Dalam jam yang tak lama. Ada
bentuk yang kekal
seperti terompet karnaval
Banyak yang menceritakan, tentang
lebar jalan
yang tak dirumuskan
Dan di sisi lain, ada kota yang
berlindung
di bawah menara
Setelah sarapan pagi, kita belum
menghitung
apa yang benar-benar tergambar
dalam ihwal dan kepala kita
(17 Juli 2016)
Bersepeda
Di sini tak ada distrik yang
terpejam
sebelum mimpi
menghirup legam pada udara
Di sini tak ada aspal yang
menyesatkan
saat asap hinggap
di jalur lambat, roda hanyalah
tambahan
yang jatuh dari arah berlawanan
Di sini tak ada yang menghitung
jumlah pintu
setelah bangunan menyajikan
cahaya
dan sisa pengunjung
Di sini tak ada yang mengingat
semua itu
(23 Juli 2016)
Riwayat
Pada jam itu juga, malam berbuih
menyebarkan rintih
hanya sisa jeram
yang menggores batuan
Mungkin ada yang mengubur riak
di kedalaman
sementara wujud cemas, pada
sungai
baru sebatas kemungkinan
Hanya bendungan, di selatan, yang
jauh
yang menunggu
langit membawakan kemarau
yang fiksi
Sebelumnya, hanya daun teratai
yang membentuk gigil
pada warna hijau
pada aliran yang terlambat
Dan yang lewat selanjutnya
tak akan diindahkan, seperti pertanyaan-pertanyaan
tentang cuaca, dari bawah pusaran
Pada jam itu juga, tak ada
jawaban
dari permukiman
(25 Juli 2016)
Akhir
Liburan
Biar kusimpan sebagian gemetar
dalam ritus
tanpa jalinan atau seremonial,
juga gairah
yang berhimpit dalam gugusan
camar
dalam perjalanan utara
Dan mungkin desau panjang, yang
membiarkan
ruas rangka terlihat dari bentuk
tubuh
yang hampir samar, seperti
gemertak tulang
pada ranjang, sebelum mimpi malam
Sebuah tempat, atau titik, yang
membangunkan
masih enggan menyingkirkan penat
dari kebermulaan
(30 Juli 2016)
Suasana
Kutakutkan, malam adalah
benang-benang yang meringkik
di balik semak, mengupas gelap
pada dinding luar,
menghitung luas kabut, dimana
bunyi jangkrik yang runcing
menyajikan sisa getah dan pucat
ruh
Kurasakan, limbah adalah nafas
yang tak diceritakan
seperti selokan yang mengalir ke
akhir kutipan
tapi ini bukan saat bicara, bukan
saat menjemput luka
pada dini hari yang raib ke arah
embun
(Semarang, 30 Juli 2016)
Sementara
ini
Untuk sementara ini
sepertinya siang masih menjadi
satuan
yang bertebar, di luar gatal
Begitu juga dengan syair,
saat jalan setapak, dikepung
dedaunan
masih menyumbang melankoli
ke wajah terakhir, di sudut ini
Ada awan terbit dari bukit
dengan kering yang fasih
mengikuti
teka-teki, dan terus menghafal
letak keluh-kesah yang berdiri
untuk sementara ini
(30 Juli 2016)
Puisi tingkat tinggi Gar, aku mah remehannya doang. Tetap berkarya Gar, teruskan perjuangan pujangga Chairil Anwar, Sapardi, dkk
BalasHapus