Selasa, 20 Desember 2016

BAB IV
DI KILOMETER NOL


Penjual Sayur

Antara jembatan dan rumah pertama
di bawah langit, mendung
tak terbawa ke kampung

Dengung jadi liar
terjerembab
ke atap

Lalu seseorang terpukau
mendengar langkah pagi
dari kakinya sendiri
yang berangkat, dari serambi

Seseorang yang lain
membawa wangi kopi
dan nurani, bayang yang bergerak pelan
di selokan

Seperti lembing yang terlempar ke lapangan,
seperti jalan batu yang sibuk

Akan ada bunyi memanggil dari teras
seperti terbatuk

Namun juga kulihat sarapan
yang belum usai

Mungkin ada hal lain
yang ingin mempertemukan
dengan hari besok, dengan paras nurani
yang lain lagi

Hanya tikar panjang, plastik, karung
atau semua kecemasan, atau transaksi,
atau gelap yang terhapus dari subuh
yang terbawa ke sini

Lalu dapatkah ?
lalu bahagiakah raut yang tak membaca koran pagi itu
memberikan ekspresi perempuan, seperti kabut yang tumpah
dan seolah ramah ?

Kutinggalkan tanda tanya itu
tanpa ada teguran, atau pertemuan

“mungkin tak ada yang menyelesaikan senyum di kamusmu, bu”


(3/8/2016)


Karena Aku Takut Bermimpi

Tak kudengar ruang yang jadi es,
dingin seperti berjubah, menembus darah
bersama sepi yang menikam ke tanah

Hanya kuingat tubuh dan cahaya
saling terjaga, menghalau petang pada daun
di hari yang tipis, dalam rupa
dan hipotermia

Saat kemunculanmu yang tak tersentuh,
yang sementara, seperti getar lembayung
pada gelap dan liang, masih tak terbayang
narasimu tentang bulan dan liar yang mendekat
di suatu malam yang tak tercatat

“Kukira ini mimpi”, terlihat kelelawar melintang
pada pelupuk dan mata yang setengah terpejam

“Karena aku takut bermimpi”, gumamku
pada penat dan lampu


(6/8/2016)


Kepada Sebuah Malam Terang di Alun-Alun Purwodadi, Grobogan

Deru yang pelan menjemputmu di jalan, melihat warna hitam
pada sukma, dan aku tak akan bertanya, sebelum kau tunjukkan
perangai yang lenyap dari rautmu
atau wangi yang kekal pada kerahmu

Aku seperti melihat warna yang berkeliaran di langit
pada lukisan starry night, meskipun hanya marka dan neon
yang hendak menjauhkan kita dari lupa

Namun Van Gogh juga akan merasakan gigil yang sama, dan kenihilan yang sama
pada cahaya. Dan orang-orang akan menyimpan gurun dan mantera
pada saku celana

“Tidak, bukan kita”

Taman-taman memberikan kejut
sebelum larut, saat aku enggan mengalihkan mata
dari remah gedung dan kaca

“Sudahkah kau tenggelam dalam perjamuan, di antara kios
dan lampu-lampu motor, dan prolog pada kesimpulan
yang sedang kau sisipkan ?”

Angin memusat ke utara, terlihat Ki Ageng Selo, pertapa tua itu,
meletakkan ingatan pada do’a dan petilasan, di sebuah abad

Sementara itu, di rongga yang lain, Jaka Linglung sibuk menyusur puing
dengan membawa kobar dan pesan, ke selatan, pada tahun yang tak dikenal


(Purwodadi, 7 Agustus 2016)


Imaji

Aku melihatmu : lambang yang kemudian raib
di bimasakti
pada dini hari ke-7
minggu ini

Aku melihatmu : sebagai detak
yang merumuskan kehendak
dan akankah aku berangkat
dari kesementaraan ini ?

Bukan ajal, yang hakiki
yang melecutkan kilau
ke arahmu. Saat aku mulai tak setuju
dengan waktu

Ada lorong yang tersentak
pada batas. Seperti saat aku membawamu
pada apapun yang terhimpun
dalam uap dan jarak


(10/8/2016)


Misalkan

Misalkan kau adalah peribahasa
yang tumbuh ke bumi
dapatkah kau mengiyakan
saat kutandai malam dengan renung
dan diksi ?

Misalkan kau adalah bisik
yang enggan menopang jam
di ruang yang tak tembus pandang
dapatkah kutemukan nalar yang memekik
pada panca indera, seperti sediakala ?

Misalkan kau adalah elegi
yang mengutarakan adegan
dengan kalimat yang pincang, juga raung
yang tak masuk akal
dapatkah kusimak lagi sisa unggun
yang terbakar, antara nadi dan kelenjar ?


(10/8/2016)


Surat Kecil Untukmu

Bolehkah aku menyebut namamu yang dingin ini
di kamar mandi ?
jika boleh, kelak kau akan menemukannya lagi
pada saluran air yang menuju rumahmu, malam nanti


(Agustus 2016)


Di Kilometer Nol

Di kilometer nol aku tak bisa menemukan definisi terbaik
pada rongga yang majemuk, di awal kalimat percakapan kita.
karena kupikir kau masuk ke ruang yang tak dipersiapkan,
dan yang tak membutuhkan persetujuan..

Kemudian, awan malang-melintang
seperti kapas yang tertinggal di rambutmu,
seperti kota yang ingin kau hilangkan
di sisa mimpimu

Angin yang menggerus jazirah
akan membekas pada daun murbei
di taman itu

“semua ini tak mutlak diperlukan”, katamu, dan aku bertanya :
“meskipun kita tak akan kembali lagi ?”

Kau tak menyahut, meski pada bayang jembatan
dan arus pada kanal itu, kau telah mengembalikan namamu

Kita tak sedang menunggu Godot
kita tak sedang memerankan dialog Vladimir dan Estragon
kita tak kenal Samuel Beckett
lantas apakah yang menyandarkan cemas
pada bahumu selagi tak ada bagian yang diperbincangkan
di sela hiruk pikuk itu ?

Tak ada matahari
dalam bentuk lain
hanya terik yang menjadi penanda terakhir
di tubuh ini

Kecuali relasi di garis ini
tak ada keganjilan lain
di luar sana

Nyatanya orang-orang pasar masih berkerumun
dan menyebut gurau serta abjad yang mudah,
mungkin di hari selanjutnya
akan ada kamus yang tersusun dari
hiruk pikuk dan bangunan

Dan di kota ini
ranting dapat mengubah hingar-bingar
menjadi sepasang musafir
yang berjalan, ke arah malam

“kau punya ingatan yang bagus..”
“tidak, untuk saat ini”

Seperti bau kampas
yang hangus

Tak ada ajal
yang tersimpan
dalam tempurung kepala

Aku tahu itu

Meski semalam masih kau jaga jari-jarimu
untuk menyimpan semuanya :
nyanyian latin, hikayat, dan beberapa sajak yang pengap

Di kilometer nol kita masih mengunci wajah masing-masing
pada jalan yang tak ditutup, menuju gapura
yang kita bayangkan ada

2 menit sebelum fajar
kau pernah bercerita tentang sinar-sinar yang berhembus
dan terlipat, ke sebuah tempat

Aku setengah percaya

Namun melankoli yang pernah pergi
dari lanskap pagi
mungkin tak akan pernah kembali lagi

Pernah juga kulibatkan anasir
pada teratai, untuk membawamu pada
epos alam, dan bunyi hutan

Tapi sepertinya itu tak masuk ke perbincangan kita
termasuk pada argumen pertama

Dan begitulah, aku mendengar kabar yang tersendat
serta guruh yang mencemaskan, selama tak ada ikhtisar
tentang nama tempat, atau kata-kata sepakat

Aku mulai berfikir bahwa tak ada tujuan
yang ingin menyusup
ke horizon, dan pada fragmen tugu dan situasi
tak ada yang bisa dilihat lagi

“tak adakah ?”

Mungkin benar. Kita tak memiliki prolog
yang leluasa
mengaitkan bayang-bayang kita
pada udara

“tidak, jangan berharap lagi”

Adakah perjalanan ini menyaksikan yang sebenarnya
dari jarak dan langit
yang mendesak

Namun, dahan dan pepohonan seperti tak pernah tua
untuk perlu bertanya : dimana sebenarnya kita, dan untuk apa ?

Di kilometer nol kita bayangkan saja ujud senja
yang terus menampik waktu dan jadwal,
seperti makna yang skeptis dari pertemuan kecil ini

Tak ada yang menahanmu. Kau mungkin terkucil
dari kesementaraan yang membentuk basa-basi
di batas ini. Tapi sejauh ini kau masih memberikan asumsi
untuk membiarkan huruf-huruf tua ini pergi

Di bangku ini seolah belum ada yang menempuh bahasamu

Detik berlumut, menunggu, seseorang menitipkan fantasi
kepada malam, yang belum singgah
ke penunjuk arah

Mungkin para pejalan itu yang akan melakukannya
atau pekerja yang keluar di pintu terminal itu
atau seseorang yang menampik bising di kedai kopi itu
atau justru kita sendiri ?

Di bangku ini masih belum ada yang menempuh bahasamu

Pada titik ini, di kota ini
tak ada koordinat
yang terlewat
dan tak ada kesimpulan
yang diterjemahkan


(Semarang, Agustus 2016)


Rak Sepatu

Di rak sepatu ini kudapati senja yang dihimpun
dari kicau burung-burung camar

Goresan pintu, warna usang di keramik,
dan lubang pada dinding, sebenarnya hanya
mengingatkan pada desau waktu
selama mungkin

Mungkin gadis kecil berpiyama itu
yang menginginkannya
yang juga merangkum tarian pada selendang
di ruang tengah

Lagipula, sebenarnya telah kutemukan juga
hiasan cermin dan mainan kembar
dalam kardus di depan kamar
meski bekas kaki pada caravan
masih tercium sejak pagi

Pada karpet itu tak ada lagi
jejak lumpur dan umur. Di atasnya,
dingin merapat pada pola-pola rumbai
yang seolah menegur

Siapapun yang disini, yang meminta, atau diminta,
jauhkan ingatan tentang hujan yang lenyap
sebelum becek dan jalanan di sekolah lama
yang tak lagi menyeberang ke arah lain

Dan juga lagu piknik
pada sisa lumut yang tercecer
di sebuah wadah

Di rak sepatu


(Agustus 2016)


Ngrombo

Sebab hanya ini yang tersisa
pada peron dan selusur : sebuah pagi
yang megah, yang memahat dirinya
di ruang tunggu. Sepasang sinyal berhenti
ketika lokomotif pertama
membuka hari

Jadwal selanjutnya hanya kabut
yang berangkat dari atas rel,
baut pada bantalan besi itu masih disana
dengan warna tua. Mungkin ada bunyi lain
dari perpisahan yang menyelinap
pada jas penumpang, andaikan ada
garis lurus ke palang-pintu itu

Detik seperti berjalan mundur
ke loket antrian


(28/8/2016)


Rasanya Baru Kemarin

Rasanya baru kemarin kulihat tangkai waktu yang gugur
ketika luka terbaca dan bulan mulai memburu,
kubiarkan huruf-huruf pada selaput itu membekas
pada alinea yang hidup

Biarkan lupa itu menyendiri
karena barangkali sudah tak ada yang bergeming
soal lugut pada bambu, ataupun dongeng yang buntu

Juga bagian yang pupus
dari sekam. Seperti dulu, setiap malam
aku membaca tulisan Hemingway
serta lukisan Picasso pada suatu sketsa
untuk menawarkan bentuk yang asing
pada trotoar dan lampu kedai

Untuk terakhir kali, kurindukan safari, yang terhimpun
dalam teks dan bunyi mimpi

Rasanya baru kemarin kudengar kalimat menampik lembab
tanpa sebab
seperti yang lenyap
pada pelupuk yang kedap


(Semarang, 30/8/2016)


Repetisi Mimpi

Di ranjang ini acapkali maut bersitegang
dengan khayal. Akan kubangunkan tanganku
dari kabut meski semalam telah terkirim prolog itu
dalam nyiur pasir dan dahan-dahan pantai :
gelap, atau debur yang membawakan buih kembali
pada estuari

Dan kaki-tak-bersepatu ini masih fasih
memilih arah, ke semenanjung, dengan
bekas karang yang tak terlihat
di telapak

Aku tak mencatat ketika bulan berkemas
dan dingin mengecil di tengah punggung

Di bawah selimut ini
laut seperti sembunyi

Walaupun noktah itu masih tersisa
pada bantal, akan ada bentuk tubuh yang gaib
dan desir yang ramai di titik beku : entah apapun itu


(Semarang, 6/9/2016)


Sebenarnya

Sebenarnya dingin terhimpun ke tepi
ketika aku tak ingin di sini
seperti serenade yang terseret ke malam
seperti warna pada huruf makam

Sebenarnya hujan tengah terguncang
dalam epos yang linear
dan hanya ada cermin menerawang
 nafas yang tak ingin bertebar


(Semarang, 7/9/2016)


Utopian Mind
: Di Depan Stasiun Tawang

Kulihat kanal, terbujur
tanpa suhu yang terukur
pada gelombang tak berwarna
angin beberapa kali melintasinya

Dan pada tiang jembatan disana,
ada alasan yang hilang dari cerita
semenjak terbentuk warna tua pada gurat
yang menyebabkan pekat

Tak ada perlindungan
oleh malam, sebelum gerimis
memainkan orkestra, yang apatis

Riak yang bernyanyi di polder
persis seperti bentuk pahatan
dinding katedral dan museum

Tak ada trauma
pada kota
dengan ingatan
yang absolut

Juga abad-abad yang berjalan kekal
tak lagi menawarkan replika ruang
dan fantasi yang sempit

Pada sisa bangunan de spaarbank
ada seseorang yang memanggil laut
dari menara pengawas

Dimana ditemukan besi-besi lawas pada gerigi
juga bekas lori
atau navigasi ?

Di dalam lorong itu,
bahkan sejak kedatangan Cheng Ho yang pertama
tak pernah ada kenyataan yang meyakinkan

Dan suatu kali aku pernah bermimpi
di tahun 2050
kerak pada batubata itu belum juga kembali


(Semarang, 8/9/2016)


Aku Keluar

Aku keluar
menuju desas-desus jalan
ketika frasa pada matahari menyimak kembali
janji musim semi

Hari akan gatal
di lenganmu, seperti saat taufan berhenti
pada pucuk-pucuk pinus. Sementara ilalang
terus melecutkan watak yang tandus

Kembali kau temukan
harum pada tanjung, entah darimana
dapat kuterka bentuk semu
dalam ingin dan sayup kata-katamu :
angin belum melepaskan jatidirimu

Hampir semua telah tertulis
di batu padas, yang menanjak
pada ujud dan gerutu

Aku keluar
dari ketetapan ini :
kerikil akan bebas dari basin alam
yang meninggalkan sejuk pada pualam


(9/9/2016)


Fatamorgana

Kubiarkan jejakmu menghapus lembab
di lingkup ini. Akan kubayangkan panjang awan
yang lenyap dari gairah dan kendali

Dan sampailah engkau di taraf ini, ketika kau bertanya
mengapa rembulan seperti tersiram gerimis
dalam bentuk yang tak simetris ?

Hujan meninggalkan majas,
menjadi semacam kota dimana risalah tak berhenti
dan orang-orang saling bersimfoni

Malam terlihat tak masuk akal
saat langit memasang tubuhnya yang keruh
pada senggang dan rasi bintang subuh

Kubiarkan jejakmu merangkum gerak dahan
serta semadi. Setidaknya angin telah menghantar pasir
yang berjalan dalam muasal, yang dingin,

sedingin mimpi


(11/9/2016)


23:59

Sudahi dinginmu disini.., dekatkan telapak kakimu
pada bentuk lantai yang tergambar persis
oleh gerimis yang baru saja berpamitan

Di ruang ini. Keadaan menunggu. Jam menjadi mungkin
dan asumsi-asumsi tak akan sebegitu penting

Jika batas selalu rubuh dan bayangan ganjil terus hadir
dalam koreo panjang, akankan kuhitung warna besi pada rembulan
dimana kau pernah meminta sebagian arti

Datanglah kesini. Debu telah merawat sudut setelah kau terbangun
dan tak mendapati lagi tulisan tanganmu pada tembok malam

Sudahi dinginmu disini..


(19-20/9/2016)


Sebelum Tengah Hari

Sebelum tengah hari, udara memintas kota
ketika bayangan gugur di pertemuan
dan kita tak pernah ada
dalam zig-zag jalan

Kita saksikan ketika matahari menorehkan rumitnya
padacelah dan bunyi
karena di plafon-rumah itu
hanya sinar yang tak sampai

Kita biarkan ketika manuskrip tersimpan
di sebuah liang
dan ketika orang-orang mempertahankan dialog
di ruang-ruang kaca

Seperti naskah yang luput di sebuah roman
apakah kau paham hal-hal imajiner ini ?
dan saat panas bergegas ke sebuah jawaban
apakah kita akan terus menerus disini ?

Sebelum tengah hari
kita kemudian ada
dalam nisbi
yang tak lama


(Semarang, 20-22/9/2016)


Rumah

Dari ruang tengah itu
ada gerak lain yang mengarapkan
dongeng menyasar ke arah pintu
tanpa tanda waktu

Seakan masih ada yang tak terbawa
oleh remang. Kucari bentuk kumbang
juga harum ventilasi dapur
yang larut pada pantulan jendela

Kucari masa lalu
dengan kecemasan singkat

Maka lewat gorden ini
semua kembali ke warna tiang
dan asbes yang gemetar

Lemari dapur, noktah dinding,
juga remah roti di meja makan
membentuk situasi yang pucat pasi
dimana bunyi jam tak lagi mengelabuhi

Bukan prasasti
yang terpasung di antara balok dan kaca
namun selalu ada keberangkatan (atau kepergian)
yang membungkus trauma

Mimpi tak terlihat sungkan
dari halaman depan
dan kamar yang menggigil
saat hari berubah dalam interval yang ganjil

Seperti balairung
demikian juga kita, yang terkurung
dalam hegemoni yang tipis
tanpa rupa, ataupun gerimis

Kudengar kita mengeluh
pada mukjizat dan tubuh
setelah itu kita bawa ruh ini
masuk kembali

Kita telah banyak mengenal rangka
dari bentuk cahaya dan geometri yang mungkin tak biasa


(September 2016)


Siranda

Hanya sore ini yang, kurasa, agak berdebu

Dalam risau, akan tertera
catatan ulang tentang kehilangan,
atau kenyataan, pada sebuah awang-awang
yang bersikeras

yang dalam beberapa dekade belum lepas

Semoga tak ada lekang
pada sejarah dan persoalan
yang terus mengepung bangsal
dengan bekas tandon yang tak lagi mengawal

Dan hiruplah senyawa di sekitar kita : seperti ada mesiu
dan asap yang muncul dari truk militer
di area pertama ketika mortir meledak
sebelum udara dan peluru saling menggertak

Kita seperti menunduk
pada rasa cemas yang baru
bahkan saat semua jasad dan hitungan itu
tak lagi ada dalam ingatan buntu

Semua ditulis
dalam bentuk luka yang usang
lalu hanya arti yang tak mampir
pada kubah berlapis yang menyembunyikan angka :
sebuah tulisan tahun 1912

Kisah yang raib dari percakapan
akan turut menaklukan tahun
walau jalanan masih menyiratkan warna yang uzur
seperti senja yang gugur
pada 1945 di bulan oktober ?

Hanya sore ini yang, kurasa, agak berdebu

Kita memang akan memberikan rona ini
pada hal-hal tabu yang menentang,
juga yang enggan terbiasa pada bising

Seperti paragraf yang tak selesai terbaca
dalam buku-buku lama
akan tersusun partikel yang membentuk berlembar arti
yang akan lama kita pahami

Saat kaki kita seolah tak menempuh titik manapun
yang tersedia

Ketahuilah jika di kota pun mungkin
tak ada goresan seperti bekas padam
atau kenang-kenangan
pada pilar bangunan

Dimana seolah tak ada yang menyambut
ketika jasad yang tertembak mati, perang sipil,
dan sisa hangus
hanya menawarkan maksud yang tak tertebus

Tak ada tawar-menawar
antara janji dan sepi
yang membiarkan pesan lelap
dalam panji gelap

Atau jika perlu, biarkan corak berubah
pada pagar itu, dan dengarkan juga
suara angin yang bergetar
pada kawat berduri itu

Seperti ada hasrat lain. kulihat bak penampungan itu
menyindir dengan mengirimkan umur
dan semacam angka lainnya
kepada saluran pipa

Mungkin aku terkejut
mungkin juga tidak

Adakah isyarat lain
yang dibawakan selongsong dan senapan
untuk masa lalu yang tak yakin ?

Di gudang belakang ini
dengan hari kunjungan yang pendek
kita bukan lagi saksi terakhir
meski kita selalu ingin berfikir


(Semarang, September 2016)


Di Meja Sempit Ini

Di meja sempit ini kita tak pernah siap
melihat pagi berbenturan dengan sekat
yang memisahkan cahaya dan bayang-bayang

Coba saja, tabir adalah sesuatu yang tetap
di saat kau tandai banyak hal pada cuaca
dengan rumus yang hidup dan juga kata-kata

Saat dingin merapat, senantiasa kau resapi
tiupan angin yang intim di rambutmu

Lalu seberapa mudah
mengutip namamu di sebuah kumparan ?
meski awan tengah lelah
dan menyingkapkan putihnya di ketinggian

Aku masih tak mengenal rautmu
saat dialog yang kau pesan itu
semakin riuh meletakkan bunyinya
di antara ranting dan telinga kita


(Semarang, 25/9/2016)


Pot Kembang

Hanya pada halaman itu
ada irisan yang tak kau sampaikan
perihal nyanyian acuh pada sebuah pagi
yang difermentasi

Seperti nada lebat di sebuah dahan
dan warna yang mengendap pada aluvial
kusandarkan tanganku
ketika serbuk berguguran di kelopak itu

Tanpa rasa ingin tahu


(7/10/2016)


Nisan Tanpa Nama

Ada saatnya
seseorang menampik lupa
dalam tanda tanya yang terbenam
pada parsial malam

Lalu kau rasakan plasma yang membeku
di sebuah negeri dingin, yang mengamati
rintihan di belantara itu

Semua kalimat mesti menemu titik
yang pergi
tak terkendali

Walau kita sadar
kesedihan (dan keanehan) di belakang kita
adalah hal biasa

“Pesan bisu, adakah yang ingin kau
gulirkan pada pesan bisu lainnya” ?

Aku bertanya
tanpa suara

Pada nisan tanpa nama itu
ada hari yang berkedip
di ambang maghrib
sebagai sebuah pelarian yang wajib

Ketika seolah malaikat tak melihat
maut yang berhembus ke pintu makam
entah duka
atau warna kamboja

Rongga puspa telah tersiram
sejak tadi, sejak angin memasang wajah kusam

Kita terus mendekam dalam aksen yang hitam
dan tahayul pada jejak lebam

Ada saatnya
kita kembali lupa


(7/10/2016)


Kemukus

Bola api telah terkirim padamu
oleh mimpi dan wajah-wajah peri
dan langit lapar, mengusik beku
yang bersandar di sebuah rasi

Tertulis maklumat pada daun-daunan :
akan dirindukan sebuah perang dan pesan
selusin bintang terlontar sepi
ke belakang galaksi

Bising angin yang ritmis
berlari di rumput amis

Gejolak akan tiba
saat bulan terapung
menirukan gerak waktu
yang timbul tenggelam

Lihatlah kabut pada sebuah sumur
lihat, kunang-kunang bercampur baur

Seberkas bayangan yang tenang
menempelkan bisu pada malam

Dan tak akan kutemui lagi
cahaya yang menetap di antara lambai


(8/10/2016)


Di Pos Polisi

Hari ini, jam 1 pagi, harmoni sejak tadi
merangkum beberapa jilid sunyi
di ruang 4 meter persegi

Dingin mungkin tak akan habis
tidak, tanpa gerimis
sinar merkuri seperti lumpuh
terasa kecil. Terasa jauh

Ada banyak angka yang tak dimengerti :
“Akan ada berapa orang hari ini” ?

Tak ada yang tahu apa-apa
malam masih segan pada tanda tanya
ingatan telah mabuk dan bahkan di pintu masuk
kabut telah menorehkan suntuk

Udara dan cuaca menoleh
dan mengusap-usap gelas teh
sabuk dan topi yang tersemat di pintu besi
membuka sekelebat infanteri

Ada pertanyaan cemas yang menyendiri :
“Akan ada berapa orang hari ini” ?


(8/10/2016)


Seperti Bermain Puzzle

Hanya doa-doa purba
yang menyala pada jam dinding
dan kita mesti menebak, mencari
jejak yang bertengger
pada sebuah masehi

Apakah itu basa basi, atau semacam frasa ?
sebelum kita lihat malam memutih
di tengah jendela

Seperti bermain puzzle
musim mulai merancang dirinya
dari potongan-potongan senja

Dan kita masih menebak, mencari
bekas riwayat yang pucat pasi


(8/10/2016)


Tanggul Itu

Sungai telah membagi batas
yang tak rupawan
kepada hilir

Hujan membawakan kembali
kalimat-kalimat akrobat,
suara datang melompat-lompat

Dan siapa yang menyempatkan diri
hadir mengusik sawah
saat cemas terpapar pada gerah
seperti degup musim

Sebuah rumah terpencil
dan memanggil

Banyak warna yang mengapung
saat arus mulai susut
ke arah kampung

Mungkin hanya tanggul itu
yang menyiapkan keruh
pada bah yang menyelinap
di sebuah minggu

Sunyi akan selesai
ketika malam telah beralih
dari lembah


(Semarang - Gubug, Oktober 2016)


Semarang - Ambarawa

Aku telah melipat kaku pada kerongkongan
dan melihat tubuh kayu yang bergumul
hujan akan 1-2 jam tersimpan
tanpa jarak dan sebuah simpul

Musim semi adalah serumpun pagi
yang terselip di pegunungan
seperti kita, yang mencari-cari
tanda marka pada sebuah tikungan

Bakal kita saksikan juga
pasar yang menimbun malam
kita tetap berangkat di jalur pertama
dalam fragmen cuaca yang kusam


(19/10/2016)


Seremoni

Seorang pria kurus berumur 30-35 tahunan keluar dari sebuah warung,
tangan kanannya memegang gitar kecil dan tangan kirinya menggenggam kaleng,
wajahnya seperti menangkap asap yang terbang rendah

Jalan raya belum menitipkan gundah
pada lampu yang baru berdiri
di sini, persis 2 meter sebelum sungai

Lalu setengah jam yang lalu
kudengar riak yang mendirikan huruf
ketika udara tak tertembus waktu
bulan menjadi miniatur yang beku

Malam berayun dari sebuah jembatan
saat gurat baru saja terhimpun
dan pada serambi-serambi yang terjulur itu
tak akan ada pesan apapun

Seorang wanita paruh baya terus mengikuti laki-laki itu,
ia menggendong bayi dengan bulu mata yang kedap,
ia tetap berjalan kemanapun laki-laki itu pergi

Dan jangan lagi memperdebat sunyi
saat wasiat seolah menghampiri : “ulangi lirik itu... ulangi lagi...”


(21/10/2016)


Di Ruang Tunggu

Aku tak akan begitu yakin dengan tempat ini :
wajah-wajah yang bergumul dengan sebuah ruh
pada sebuah arloji, yang hampir mati

Mungkin aku ingat beberapa rangkuman
yang tak berharga. Biarkan lantai yang anyir itu
menjabarkan jejak yang tak lagi biru
(dan banyak yang tak bersepatu)

Masih ada panggilan-panggilan lain
yang menahan waktu ke balkon itu :
udara yang waswas,
suara angin yang ingkar kepada kipas,
suara batuk yang kesana-kemari,
hingga semua sebab tentang lengang
di sekelebat memori

Dan seorang ibu yang meringis di kursi roda itu berkata :
“Oktober akan selesai.. oktober akan selesai..”


(Semarang, 28/10/2016)


Klimaks

“Demi sebuah tujuan”, ujarku,
“kubiarkan luka terpahat pada sebuah dekrit”
maka sebuah pohon pun berbisik dalam sakral
untuk kenyataan yang tak masuk akal

Meskipun pada awalnya
tak ada lagi remang yang menggelepar
di depan sebuah malam

Seperti Chaplin yang bermain di rumput
dengan sebuah kostum tipis dan sihir yang salah ?
tapi biarkan saja akar-akar lunglai
dan menyembunyikan detail dari sukacita
yang pernah ingin kau lenyapkan

Dan pada terakhir kalinya
kulihat sepasang muslihat di rautmu :
bentukan garis yang kosmis
di antara ranting-ranting itu


(Semarang, 28/10/2016)


Loper

Setiap hari selalu ia bawakan setengah anggur pada cangkir
dan gerak-gerik kenari, kota yang berterus terang pada kabut
yang menerpa gedung. Ia lihat pagi yang tak sewarna
dengan bait-bait ganjil manusia.

Dan bagaimana desas-desus itu terlontar ?
ia tak terlalu tahu bahwa waktu akan bekerja pada musim
dan susunan gang yang kembali bermukim

Sementara ingatan belum menyematkan jenuh
pada lalu-lintas yang macet
seperti jejak applaus panjang pada sebuah orkes
dan sorot hujan di sebuah kabar
ketika matahari terlihat seperti rezim yang samar

Pada akhirnya, ia hanya melihat seorang pegawai kantor yang terkesima
dengan sebuah majas di halaman depan


(Semarang, 29/10/2016)


Pigura

Dari celah seng terlihat bulan terbenam
seperti warna potret yang pudar
di sebuah bingkai. Dengung jam
telah membelah mimpi dalam lumpur pagi

Rambut yang menanamkan celoteh
di timbunan waktu juga tersungkur
ke arahmu : Sebuah momen yang membujur
pada rinai ilusi dan lipatan wajahmu


(29/10/2016)


Rebah

Hari ini, aku tak ingin pergi

Bulan akan menginap di langit-langit kamar
yang seperti bekas cakar
dan konon, malam telah melindungi detik yang pupus, dan aus
jantung yang mengecap arus

Berjam-jam ufuk menyerbu
kebetulan yang tersimpan
dalam keabsahan yang kekal
 “dan masuklah”, kataku

Masuklah, ke pelupuk, ihwal
yang tak terlalu buruk

Aku akan berbaring sebentar lagi
dan akan menggarisbawahi hal ini :
“Masuklah lebih dalam lagi, sebuah hari
yang menyisipkan dengkur di sebuah mimpi”


(Semarang, 6/11/2016)


Pentas

Manganjur lakuning angin, guntur agraning arga ,
gora gurnita kagiri-giri, horeg bumi prakempita.....

Dan malam berbenah di permukaan panggung
saat suluk diucapkan
dengan ikrar petuah yang terkabul
pada siluet kain

Gerabah-gerabah persegi
mengepung awam,
ruas kasturi di luar,
dan inisial pada hiasan tirai

Perkara demi perkara
menuju titimangsa
dengan utusan praja

Selalu ada isyarat yang gaib
setelah adegan raib
dalam sayembara,
pukulan-pukulan ganjil
di sesi pembuka

Dan jika ajal pun rubuh
pada tubuh dan peluh
mungkin tak ada lakon yang berfikir
untuk menghapus darah dari pisau sejarah

Selebihnya hanya potongan paras
batin yang menakar layar
babak pertama belum akan tuntas
tanpa klimaks yang sebentar

Gelagat warna-warni
di bawah dongeng yang lama selesai
menawarkan perang, atau kematian
yang sengaja diselenggarakan

Seperti akal yang luhur
malam bercampur di dalam naskah
sebelum Duryodana gugur
pada akhir baratayudha
di dataran kurukshetra


(Semarang, 6/11/2016)


Galeri

Rupanya itulah yang sedikit menunda keluhmu,
bayangan telah terhimpun di barat
dan kabut menggelar tubuhnya
yang membungkus jam

Rupanya itulah yang agak menahan bekumu,
nokturnal telah terhapus dari gelas
dan fajar menyekap suara parit yang mengecil
pada bisikanmu yang selanjutnya

Tapi sudahlah.. bersihkan saja wajahmu disana


(Semarang, 12/11/2016)


Mengunjungi Sekolah Lama

Mungkin akan kuingat alarm yang memasangkan pucat
pada pintu-pintu kayu. Dan akan kudengar sesumbar yang tertanam
di dekat ruangan, di depan gurauan yang tak selesai

Telah kulihat jejak air yang sembunyi di sini. Kolong-kolong
lembab yang pernah meramalkan warna senja di atas lapangan

Daun yang pernah mengaduh di sebuah loteng, masih tak bergerak
ketika pagi menghafal bunyi lonceng

Dan jam akan menulisnya kembali, cakrawala yang surut
di sebuah parit setelah menghimpun orang-orang bertopi

Fatamorgana yang hinggap di kemudian hari
akan menyuguhkan tirai di sebuah kedai

Aku menemukanmu, liku yang mengambil alih
jalan lurus di bawah ranting-ranting berlubang itu


(16/11/2016)


Hujan Yang Menepis Jembatan

Hujan yang menepis jembatan
akan ikut serta
membereskan nama
bangsal-bangsal putih
dalam perjamuan

Untuk ini mari simak kembali
altar yang memadamkan lampu
sebelum jam malam

Sabda yang terpatri
pada beton-beton jalan
akan berangkat dari lidahmu
ke sebuah museum

Seperti relief-relief barok
Firenze abad ke-16
gerimis menegakkan beku
di kota yang tanpa penjaga

Bila lembah digerus dan wabah bercampur
masih adakah yang kau lihat
dari sebuah ornamen bersama
sisa-sisa katedral bertingkat ?

Sementara hujan yang menepis jembatan
akan ikut serta
menyamarkan dataran


(Kaligawe, Semarang, November 2016)


Sebelum Kembali Ke Meja

Sebelum kembali ke meja, kauingatkan lagi
perangai yang tiba kepada malam
dengan 2 gelas minuman
yang tak direncanakan

Sebelum kembali ke meja, kausarankan lagi
gerak yang dominan dalam kata-kata
mungkin itu akan berguna
pada gurau yang tak seberapa

Dimana fantasi adalah seberkas pena
yang menuliskan narasi pertama
tentang lelucon akhir tahun, dan baris-baris melankolia
pada sisa udara di sekitar kita


(Semarang, November 2016)


Ronda

Jam telah menitahkan hujan
yang berkelebat di luar

Kita telusuri jejak anjing yang panjang
ke sebuah ingatan, yang mengendus bau makam

Kita rangkum keluh yang terkunci
pada bangku-bangku besi

Selagi atap masih menahan waktu
yang singgah di antara pion-pion catur

Dan uap akan habis
di atas gelas ketiga

Senyap yang terlentang di sebuah beranda
tak akan terbaca, saat kelelawar tak mengudara

Tapi sudahlah, barangkali tak ada angka pasti
dalam sinyal dan perintah yang tak berhenti


(20/11/2016)


Tawa

Dan kita bertemu lagi disini,
saat burung-burung bermain cahaya di puncak pohon
kita bicara saat waktu bergerak mendekat
kita bicara dengan batas-batas yang tak terlihat

Kita menemukan sebab, kita yang menerima
kata-kata yang datang sederhana
di musim lain. Tapi seperti ada panggung
yang menampung sirkus
dan warna-warni lotus
di percakapan yang tengah berhembus

Sejatinya, memang tinggal takjub
yang menyelinap di antara kita
tanpa perlu tercatat. Senja melepaskan
makna dari huruf yang tak disengaja

Namun kita akan berusaha untuk disini,
untuk 5 menit yang didaulat
dalam teater Shakespare

Dan kita hanya menerima,
kita hanya tertawa


(Semarang, 20/11/2016)


Narasi Akhir Tahun

Sore telah pergi
dalam dingin yang drastis
ketika ilalang tampak
seperti tamasya yang nihil

Dengan demikian
menit akan mendarah-daging
dalam warna sekam

Jadi, mungkin ada yang sementara
dari kedatanganmu, oleh tubir
yang lebih dangkal kali ini

Kendati embun telah tersulam
dalam halusinasi

Aku hanya mulai bernyanyi
untuk anasir malam yang belum pasti


(Semarang, 26/11/2016)


Kubawa ke Pelupukmu

Kubawa ke pelupukmu, ingatan yang janggal
tentang ranting-ranting pekat
sebelum angin mengendap
ke muara yang gelap

Dan akan kubawa ikhtiar
kepada mesin waktu
juga bunyi arus yang menghantam batu
dari sebuah ruang yang longgar
ketika sebongkah salju
terbersit di ingatan paling panjang
orang-orang buritan
yang diacuhkan

Hingga tinggal tubuhmu,
yang membawa topi turis
 ke sebuah tandan
yang trenyuh

Dan sebilah nasib tak akan kembali lagi
ke pelabuhan itu, barangkali


(Semarang, 26/11/2016)


Maklumat

Di musim gugur kau lukiskan tangis
yang akan terkelupas dari kabut
dan kesedihan menipis
seperti bunyi semak yang takut

Dan kau yakin dengan bekas ranting
yang takluk oleh angin keras
tapi hanya tersisa suara yang runcing :
huruf-huruf kapital yang pernah kau lepas

Saat tak ada guruh yang padam
kemana lagi gusar itu kau singgahkan ?


(Semarang, 26/11/2016)


Untuk Laki-Laki yang Sedang Mengemis di Persimpangan

Ia melihat tanda hujan di atas daratan
dengan alamat yang dipesan
pada sebuah nalar yang jauh

Saat itu juga
senja telah membawa sihir ketakutan
seperti sorak sorai
yang timbul tenggelam

“Beri aku wadah”, katanya,
“atau apapun yang membuat cuaca
tak membius tangan kananku..”

Ketika cahaya berpencar :
lampu iklan urban
membentuk ornamen
dan warna trotoar

Dan pergilah sebelum desau terjalin
di antara kedai, dan kau lihat
gerak jam yang mulai dilupakan

Tiap-tiap doa akan berubah
di setiap sudut besi
yang sangsi

Ia pernah mendengar
mimpi berteriak pada seutas ajal
yang tak sampai

Mungkin seperti minggu lalu
retika razia datang mencopot bajunya
dan menempelkan bekas biru
di pinggangnya

Ia hanya merasakan
sepasang kelopak yang terpejam
kota yang mati rasa
telah menyembunyikan pesannya

Hanya terlihat ruang angkasa yang hangus
dan lalu lintas yang terputus-putus

Kenyataan akan berlalu
dalam orbit yang berputar
seperti dongeng yang memar


(Semarang, November 2016)


Tugu

Lalu pada siluet tapal
dan cahaya terjal
kau gambarkan lagi
guruh yang menghindar ke aspal

Lalu pada gerigi yang berputar,
lihatlah percikan itu berulang-kali,
suara sakral yang masih kau pancang
seorang diri

Lalu pada bayang-bayang yang menangis
di perbatasan
seketika kau kenali lagi
debu yang bertengger di lenganmu

Maka biarkan jejak pagi yang panjang
menjemputmu, klimaks yang tunduk
pada warna kelabu
di sebuah waktu


(7/12/2016)


Insomnia

Ada banyak ingatan
yang ditertawakan
untuk masa lalu yang tak nampak
dari paruh burung-burung malam

Kudengar huruf-huruf menggigil
dalam manifesto yang mustahil

Barangkali mimpi terlipat
pada lindungan birahi
ketika dingin singgah
ke dalam geraham

Kehendak akan sampai
pada bentuk bulan, yang sederhana,
yang mungkin membebaskanku
dari warna baka


(Semarang, 7/12/2016)


Perjalanan

Sebelum malam memekik
kita lihat lalu-lintas asing
surrealis yang menyasar
ke jendela samping

Sajak-sajak yang lenyap
ke depan terminal
akan mulai kau teruskan
pada gerak hujan yang hitam
yang menabrakkan dirinya
ke bahu jalan

Aku mengantarmu, sebelum sisa musim
terkirim pada kabar yang akan datang pagi


(Semarang, Desember 2016)


Epilog

Kau ucapkan bait-bait itu
pada ruang hujan yang penuh
dan aku menegurmu
di sebuah batas yang jenuh

Mungkin disini hanya ada lengan
yang terpotret pada suatu tangkai
di bawah embun yang tertahan
kita coba membersihkan pagi

Seperti sunyi yang datang kembali
pada cermin yang keruh
kau disini tanpa wangi yang pasti
untuk merangkum kelopak yang jauh


(Semarang, 20/12/2016)


Epos Unggun

Kucantumkan tubuhmu
dengan aroma hutan yang samar
ketika terdengar ladang yang lenyap
ke sebuah lanskap

Tak ada yang tahu-menahu
tentang salju. Termasuk kau
yang tunduk pada mimpi pagi
dan ketakutan musim semi

Setidaknya dingin belum berakhir
dan pohon-pohon masih menyembunyikan diri
begitu kita catat adegan-adegan
di sebuah dongeng

Barangkali akan ada angin yang panjang
yang bersandar pada sebuah kayu bakar
ketika gelap mulai tersimpan di sini
tak ada yang akan dilakukan lagi


(Semarang, 21/12/2016)


Transaksi

Saya ingat corak yang tertempel
di sebuah los. Hanya ada ruang mendesak
dan takdir yang tak pernah kosong

Saya ingat suara-suara yang ditawarkan
dari dalam. sebuah pertemuan, isyarat sejenak
tentang asas dan jejak yang ditinggalkan

Mungkin ada kenangan yang terseret
ke sebuah pagi. Ketika penjual itu tertawa
dan mulai melepaskan perangai

Dan saya datang bukan dengan bahasa
yang diam. Pasar telah dihuni warna-warni
yang singgah dalam rak-rak besi

dan tawar-menawar sejak tadi


(Johar, Semarang, Desember 2016)



1 komentar:

  1. Mantap puisinya gar, lanjutin isi blognya. Sayang banget karya yang kaya gini gak terpublish..

    BalasHapus